Saturday 29 September 2007

HEROISME SESAAT


Aktivis memang sebuah kata yang bombastis bila kita mengatakannya pada zaman pergerakan. Entah itu aktivis prodemokrasi, aktivis perempuan, aktivis HAM, aktivis lingkungan hidup maupun aktivis mahasiswa yang tergabung dalam aliansi-aliansi yang berjuang demi rakyat. Tapi apa kata dunia, ketika peran mahasiswa digantikan sosok rohaniwan yang turun ke jalan untuk melawan rezim yang menindas rakyat ? Hal ini mendapat momentumnya ketika terjadi represi besar-besaran yang dilakukan rezim junta militer di Myanmar. Para bhiksu turun ke jalan, karena mereka sudah merasa bahwa keadaan semakin memburuk ketika BBM dinaikkan 500 %. Lha terus kemana para mahasiswanya? Pada tahun 1988, ketika terjadi gerakan untuk perubahan sosial di Myanmar, mahasiswalah yang menjadi motor pergerakan dan memobilisasi massa dan akhirnya melahirkan tragedi yang menewaskan sekitar 3.000 orang karena bentrok dengan aparat militer. Tahun 2007, ketika terjadi ketidakadilan sosial di Myanmar, justru para Bhiksu yang menjadi motor pergerakan. Aksi ini adalah aksi damai tanpa kekerasan, dan sampai hari ini telah menelan korban 9 orang, termasuk satu orang wartawan dari Jepang.

Mahasiswa sebagai agent of social change semakin meredup keberadaannya, ketika mereka dihadapkan pada kenyamanan - kenyamanan teknologi multimedia seperti MTV, Friendster, Shopping ke Mall dan Dugem. Tapi di sini saya tidak gebyah uyah dan menyatakan mahasiswa masa kini seperti itu. Dua puluh tahun lalu, sekitar tahun 1980an sampai awal 1990an, banyak artikel yang meromantisir gerakan mahasiswa. Waktu itu banyak mahasiswa yang digebuki tentara dan dijebloskan ke penjara karena menggelar aksi demonstrasi. Gerakan mahasiswa menjadi primadona di ruang publik Orde Baru. Mereka menjadi sosok tunggal yang boleh dan mau menyuarakan kritik sosial dan keresahan masyarakat.

Dalam situasi ini, mahasiswa menjadi semacam pemadam kebakaran. Mereka bersemangat sekali dalam memadamkan api. Kadang mereka menjalankan fungsi parlemen untuk melakukan debat politik. Mereka juga bisa menjalankan peran partai politik, dengan berorganisasi, memobilisir massa, dan mengatasnamakan kepentingan rakyat. Mereka juga bisa mengambilalih peran media massa dengan membuat selebaran, menerbitkan buletin. Menurut saya, aksi itu tanggung dan kadang sia-sia? Rakyat sekarang sudah cukup pandai dan tidak mau namanya disebut-sebut sebagai pembenaran atas aksi-aksi yang anarkis. Lha wong rakyat sendiri bisa turun ke jalan secara langsung tanpa minta tolong mahasiswa. Iya to ?

Anehnya, walaupun peran yang dijalankan mahasiswa itu cenderung reaksioner, dan hanya aksi sejenak tetapi kok penuh romantisme ya ? Mungkin karena mereka sering dikejar tentara, dipukuli pakai tongkat, ditahan dan sering dijadikan sosok pahlawan dalam berita-berita media massa. Pemberitaan ini kadang membuat ego mereka melambung kebablasan. Sekarang, negeri ini telah berubah, walau tidak semua menguntungkan publik. Memang negara yang ideal itu selalu jauh dari capaian kita, setidaknya kita bisa menikmati perubahan karena jerih payah mahasiswa. Kalau dahulu pada tahun 1998, mereka berdemo di jalan, sekarang mereka sudah menikmati semilir angin perubahan. Jika ada pertanyaan : Apa kabar mahasiswa masa kini ? Saya akan menjawab, karena saya menjadi bagian dari mahasiswa masakini : ”Ngapain repot-repot turun ke jalan? Mending nulis di blog aja..., i’ll do it with my stlye!

Ketika kepuasaan Pembaca menjadi Credo


"Trends, situation, condition, and interpretations are news." (Neal, 1968)


Teman-teman, sebagai pembaca media massa kita ini menjadi pasar. Pembaca mempunyai arti yang sangat penting bagi sebuah koran dan majalah. Di samping menentukan pemasukan penjualan, ia juga mempengaruhi pemasukan iklan. Sebuah perusahaan tidak akan mau memasang iklannya di majalah atau surat kabar yang memiliki pembaca yang sedikit. Semua berita adalah informasi, tetapi tidak semua informasi adalah berita. Berita adalah informasi yang mengandung nilai berita yang telah diolah sesuai dengan kaidah - kaidah pada ilmu jurnalistik dan yang sudah disajikan kepada khalayak melalui media massa periodik baik cetak maupun elektronik. Realitas dalam masyarakat seperti peristiwa, pendapat, masalah hangat dan masalah unik akan menghasilkan fakta. Fakta tersebut disebut sebagai berita jika sudah disajikan kepada khalayak melalui media massa. Sumber informasi karya jurnalistik adalah peristiwa,pendapat yang mengandung nilai berita, masalah hangat ( current affairs ) dan masalah atau hal yang unik dan menarik yang ada dalam masyarakat. Berita adalah uraian fakta atau pendapat yang mengandung nilai berita. Sedangkan masalah hangat ( current affairs ) adalah penjelasan dari narasumber yang relevan tentang suatu masalah hangat yang muncul di tengah masyarakat. Disebut current affairs karena masalah yang menjadi topik pembicaraan tersebut diambil sebagai akibat adanya isu yang belum pasti baik sumber atau kebenarannya.
Berita hanya menyajikan fakta/pendapat yang mengandung nilai berita secara informatif faktual. Perbedaan sifat medium/sarana cetak,film, radio dan Televisi merupakan perbedaan mendasr yang membentuk cirikhas pada karya jurnalistik. Khusus untuk berita radio dan televisi harus diusahakan agar narasumber yang relevan dapat tersaji secara langsung dan orisinal agar tidak dijadikan uraian dalam bentuk pendapat.
Uraian fakta yang nilai beritanya kuat, yaitu yang nilai beritanya penting, sangat menarik, dan penting sekaligus menarik harus disajikan secepatnya kepada khalayak. Berita kuat dan berita mendalam bersifat timeconcern, yaitu penyajiannya sangat terikat pada waktu, dalam arti makin cepat disajikan makin baik, Sumber beritanya berasal dari peristiwa yang terjadi hari ini (news of the day) dan mengandung nilai berita. Berita, baik berita kuat, mendalam maupun berkala hanya menyajikan fakta atau pendapat secara informatif, faktual dan aktual. Apakah berita itu tersaji cepat atau lambat kepada khalayak,sangat terkandung nilai berita yang dikandungnya.

Berita radio jauh lebih praktis dan sederhana dalam penyajian secepatnya kepada khalayak karena hanya menyajikan suara saja. Tetapi untuk berita Televisi, selain menyajikan suara juga menyajikan gambar sehingga jauh lebih rumit. Akan tetapi, jaringan televisi CNN telah membuktikan bahwa hambatan kerumitan itu ternyata dapat diatasi dengan sarana pendukung elektronik ( kabel/serat optik, microwave/terestrial, uplink mini, field pick up dan SDM yang memiliki jiwa profesionalitas tinggi). Sejak 1 Juni 1980, jaringan Televisi CNN menyiarkan karya jurnalistik TV selama 24 jam setiap hari, baik berita maupun penjelasan masalah hangat ( current affairs), dengan sasaran khalayak seluruh dunia dengan motto " We're gonna on the air June 1, and we're gonna stay on until the end of the world. When that time comes, we'll cover it, play nearer my God to Thee, and sign off"( Whittemore,1990)

Motto itu telah memacu semangat kerja crew CNN sehingga hanya dalam waktu sepuluh tahun, CNN telah mampu menguasai masyarakat dunia. Secar eksklusif, CNN selalu menyajikan karya jurnalistik yang menarik dan relevan bagi khalayak dunia dalam format siaran berita televisi secara live. Peristiwa - peristiwa dan pendapat - pendapat yang terjadi di dunia, bahkan di ruang angkasa. Terhadap berita, CNN ( Ted Turner ) memperlakukannya " to do news like the world has never seen news before."
Teman-teman, Inilah informasi tentang berita yang berhasil aku dapat di perpus tadi siang. Mudah-mudahan dapat sampeyan jadikan referensi untuk menelaah berita dengan cermat. Semoga pemahaman saya tentang segi "menarik dan relevan dalam berita" ini tidak menjadi keengganan sampeyan untuk membaca koran.he.he.he keep your spirit for wake up and learn. Angkat gelas dan bersulang.

daftar pustaka
Wahyudi, JB. Dasar - Dasar Jurnalistik Radio dan Televisi, PT Gramedia Pustaka
Utama,Jakarta. 1992.

Thursday 27 September 2007

AHIMSA for Social Change


"The weak can never forgive. Forgiveness is attribute of the strong"

-Mohandas K. Gandhi-

Akhir-akhir ini di Myanmar terjadi pergolakan menentang junta militer. Ribuan bhiksu turun ke jalan melakukan longmarch dan berdoa menentang pemerintahan junta militer yang menetapkan kebijakan kenaikan harga minyak 500 persen Agustus lalu. Para bhiksu bersepakat menolak derma dari orang-orang yang berhubungan dengan pejabat junta militer. Pada 19 Agustus, demonstrasi damai dimulai oleh beberapa aktivis namun hasilnya malah tindakan kelewat tegas dari aparat keamanan, bahkan 100 orang lebih ditahan. Aksi tidak berhenti , justru semakin menguat dengan dukungan dari ribuan bhiksu dan pemimpin oposisi Aung San Suu Kyi . Masyarakatpun mendukung para bhiksu yang dianggap masih mampu menyuarakan nasib mereka akibat pemerintahan junta militer yang menindas. Aksi-aksi yang digelar selama 10 hari terakhir melibatkan ribuan masyarakat yang turun ke jalan untuk melakukan longmarch dan berdoa di beberapa pagoda. Aksi protes itu juga telah meluas di tujuh provinsi di Myanmar.


Namun padai Rabu, 26 September kemarin represi dari aparat militer semakin meningkat pula. Setelah mengeluarkan larangan protes , aparat mulai melakukan tindakan-tindakan represif dengan menangkap, melepaskan gas air mata dan menembaki para demonstran dan bhiksu yang berdoa di pagoda Shwedagon dan Sule. Empat orang tewas dan lebih dari 100 orang cedera. Peristiwa ini mengingatkan banyak orang pada kejadian tahun 1988 di Myanmar , dimana militer menembaki para demonstran (mahasiswa dan bhiksu) secara membabi buta hingga menewaskan lebih dari 3000 orang.


Peristiwa ini mungkin baik sebagai sarana pembelajaran kita tentang gerakan aktif tanpa kekerasan. Bagi saya , peristiwa ini semakin menegaskan kenyataan bahwasanya kekerasan adalah SATU-SATUNYA cara rejim yang menindas melanggengkan kekuasaannya. Dengan kekerasan diharapkan mereka yang menentang menjadi takut dan diam. Dengan kekerasan diharapakan mereka setiap orang menjadi jera.Memang sedemikian sederhana logika kekerasan . Yang ditindas tidak akan melawan atau justru melawan dengan cara yang sama. Yang dengan begitu akan menjadi pembenaran bagi rezim penindas untuk melakukan kekerasan yang skalanya lebih besar. Di sinilah daya juang penggerak aktif tanpa kekerasan mendapatkan tempatnya.

Maka , sembari memprihatinkan dan berjuang memperbaiki situasi di negeri kita yang masih berlepotan dengan tindakan kekerasan,mari berdoa juga untuk saudara-saudara kita di Myanmar.

Salam


Wednesday 26 September 2007

Utopia Sebuah Kultur Perlawanan


Kultur perlawanan adalah sesuatu yang menjadi sangat hip, karena ia percaya bahwa inilah alat terakhir bagi revolusi dalam sebuah masyarakat konsumer. Inilah ‘ideologi resmi’ yang menggerakkan banyak kultur perlawanan dimana-mana. Tapi sesungguhnya, ideologi semacam ini hanya menyembunyikan masalah yang demikian kompleks yang tak akan dapat selesai hanya dengan satu sapuan saja. Tak peduli seberapa besar semangat perlawanan terhadap status-quo yang dimiliki oleh kultur ini, ia masih menyembunyikan fakta bagaimana para pelakunya tak mampu menciptakan sebuah kondisi bagi mereka sendiri yang dapat mentransformasikan bentuk eksploitasi tradisional dalam masyarakat kapitalisme lanjut. Tidak jarang, para pelakunyalah yang berbalik mengkomodifikasikan kultur tersebut sendiri.

Problem terbesar dari industri kultur alternatif adalah ketiadaan ‘kriteria politis’ dimana kita dapat membedakannya dengan industri kultur lainnya. Dalam tataran paling dasar, semuanya memiliki satu agenda yang jelas: menghasilkan uang. Tapi ini juga bukan bermaksud mengabaikan tujuan-tujuan politis yang dimiliki oleh beberapa pihak seperti membangun sebuah kultur kontra-hegemoni yang dimunculkan dalam beberapa genre musik, yang menempatkan otoritas politik dan norma-norma kultural sebagai sesuatu yang patut dipertanyakan, yang apabila mungkin pada saatnya akan mendelegitimasikan status-quo. Dalam industri kultur, apapun kontradiksi yang terjadi, ia hanya akan menjadi sebuah dentingan ide segar, terlebih lagi di dalam sebuah masyarakat yang didominasi oleh prinsip jual-beli, dimana semakin individu terpisah dari komunitas sekitarnya menjadi sesuatu yang semakin baik. Masalahnya, misalnya dalam kultur perlawanan punk, walaupun pesan yang dibawa oleh musik tersebut sangatlah revolusioner, basis ekonominya sama sekali tidak. Untuk membuatnya lebih jelas, politik ekonomi yang dimiliki oleh banyak label rekaman—termasuk yang mengaku alternatif—sama sekali tidak berkaitan dengan ide yang dihasilkan oleh para artistnya. Ini adalah sesuatu yang selalu terjadi berulang kali dan menjadi perdebatan panjang di kalangan label, band, ataupun individu yang bergerak dalam kultur ini. Label-label rekaman independen yang kecil, menjual revolusi, tapi hanya hingga batas-batas tertentu, karena apabila mereka melangkah lebih jauh, ini masih menjadi sesuatu yang sulit untuk dilakukan.

Kebanyakan label-label independen masih bergantung pada kemauan baik para pengelolanya, yang jelas hanya mendapatkan uang jauh di bawah standar dan nyaris selalu bekerja overtime, yang memiliki kemauan untuk terus berkecimpung di dalamnya karena mereka memiliki visi politis yang besar, yang tampil secara implisit dalam tiap ‘produk’ rekaman yang mereka hasilkan. Hal ini masih menjadi sebuah langkah yang dapat dipahami, karena di Indonesia memang masih sangat sedikit ruang-ruang bagi mereka untuk berbagi perspektif ideologis dan politis. Yang membuat kultur perlawanan menjadi sebuah komoditi yang sangat berharga dimana para pengelola industri kultur alternatifnya bersedia mengorbankan waktu dan uangnya demi menghasilkan produk, adalah karena sangat sedikit kesempatan di tengah masyarakat Indonesia untuk mengekspresikan hasrat pemberontakan mereka serta memiliki audiens yang benar-benar memperhatikan mereka saat mereka melakukan hal tersebut. Banyak orang-orang radikal yang beraktifitas dalam label-label rekaman independen melakukan hal-hal di atas tadi karena mereka berpikir bagaimana caranya agar pesan mereka dapat diperdengarkan, karena mereka juga tahu benar bahwa tak ada orang lain lagi yang akan memperdengarkannya apabila bukan mereka sendiri yang melakukannya. Apa yang membuat mereka terus ada disana? Apakah hal ini adalah sekedar tentang bisnis yang membuat remaja, artist dua puluh hingga tigapuluhan, musisi dan pelaku kultur perlawanan terlibat dalam eksploitasi kerja yang tak pernah berakhir?

Aku Beli I-Pod, Maka Aku Ada


Sampeyan yang tinggal di kota besar di Indonesia, pasti sudah tidak asing lagi dengan institusi bisnis bernama Mall. Bangunan teatrikal itu seolah menjelma menjadi fasilitator bagi para konsumen untuk merealisasikan dirinya untuk memenuhi hasrat pemenuhan gaya hidup, bukan kebutuhan hidup lagi. Pada masyarakat urban kontemporer, dimana budaya pop yang kian tak terbendung memenuhi relung – relung kehidupan mereka, Mall hadir dengan kemolekannya, menawarkan berhala-berhala baru bernama Nike,Nokia, I-Pod, Georgio Armani, Victoria’s Secret,Levi’s dan bermacam-macam barang global lainnya.

Perlahan-lahan Mall menjelma menjadi sebuah agen difusi, menjadi sebuah ruang kelas, yang di dalamnya manusia abad ke-21(termasuk saya dan sampeyan), bebas mempelajari seni dan keterampilan untuk menghadapi peran baru mereka yang sentral sebagai konsumer masa depan. Mall tidak lagi menjadi sekedar tempat untuk transaksi berang dan jasa. Mall mempunyai fungsi sebagai cermin citra sebuah masyarakat. Maka belakangan ini, banyak bermunculan anak-anak Mall(termasuk saya dan sampeyan lagi.he.he), yang dulunya mereka dibesarkan dengan kesumpekan pola pendidikan nilai ala Soeharto melalui P4 dan Pendidikan Moral Pancasila untuk menyeragamkan identitas bangsa timur yang ramah tamah. Mereka kini tumbuh untuk mencari sebuah konformitas, di tengah-tengah tekanan dan tatanan identitas tertentu yang dihasilkan oleh konteks hidup sosial budaya publik. Mall menjadi tempat dimana setiap orang bisa mengaktualisasikan gaya hidupnya, tempat setiap orang mencari identitasnya.

Melalui Mall, seorang Anak Baru Gede bisa mendapatkan eksistensi berlebih dibandingkan teman sebayanya dengan membeli sebuah I-Pod. Pola semacam ini tidak muncul serta merta karena hidup kita sehari-hari sudah sangat diatur oleh sistem konsumsi. Apa yang kita beli, kita konsumsi sehari–hari, menjadi identitas untuk menyatakan pada orang lain siapakah kita ini. Semakin tinggi kemampuan konsumsi seseorang, semakin terhormatlah ia di depan orang lain. Konsumsi atas barang dan jasa serta penguasaan materi tertentu sudah tidak mempertimbangkan unsur utilitarian lagi. Konsumsi akan sebuah produk (katakanlah I-Pod) bisa menimbulkan citra dan makna tertertu, misalnya lebih gaul, lebih funky, lebih melek teknologi, lebih cool, lebih terhormat dan lain sebagainya. Pada tahap ini, nilai – nilai yang terkandung dalam diri manusia menjadi kosong. Nilai – nilai itu tergantikan seiring barang yang dibelinya itu.

Mall bisa juga menjadi tempat orang belajar demokratisasi gaya hidup. Orang bebas memilih barang-barang yang akan dibelinya. Tentu saja barang-barang yang bisa mencitrakan gaya hidup, sementara barang-barang itu didesain sedemikian rupa oleh produsen melalui credo kapitalisme global, sehingga seolah-olah bisa berteriak : ”Beli...Beli...Beli....agar kamu bisa berpartisipasi...” Disinilah letak demokrasi dalam sebuah konteks antidemokrasi. Mall merenggut objek dari dunia orisinalitas objek itu sendiri. Objek-objek yang terpampang manis di etalase seolah menjadi objek virtual dengan hadirnya pemaknaan akan sebuah gaya hidup modern-kosmopolit. Mall tidak hanya menciptakan produk dan kebutuhan, ia juga mengelompokkan masyarakat ke dalam identitas-identitas berdasarkan gaya hidupnya, seperti eksekutif muda, cewek modis, pria metroseksual, dan tentu saja anak-anak mall. Maka ungkapan Rene Descartes tentang eksistensi/keberadaan menjadi agak melenceng menjadi : Aku Beli I-Pod, Maka Aku Ada. Inilah eksistensi simulakrum, melebihi eksistensi yang sebenarnya.

Tuesday 18 September 2007

Pendidikan Kekerasan Ala Monitor 14 inch

George Gerbner, pencetus teori Kultivasi, melihat pengaruh kekerasan yang ditayangkan televisi bagi khalayaknya. Hasil penelitiannya menunjukkan efek kultivasi, atau penanaman realitas, pada penonton heavy viewers. Penonton yang tergolong pecandu berat televisi ini menganggap bahwa realitas televisi tak berbeda dengan realitas di dunia nyata. Artinya, mereka menganggap bahwa pemberitaan perang, kriminalitas, dan konflik para pesohor di televisi ialah realitas dunia yang sesungguhnya. Televisi tidak sekadar memberikan pengetahuan, atau melaporkan realitas peristiwa. Lebih dari itu, televisi berhasil menanamkan realitas bentukannya ke benak penonton. Mungkinkah efek media dibesar-besarkan Gerbner dengan Teori Kultivasinya? Sah-sah saja jika praktisi dan pemilik media massa mempertanyakan ini. Namun, dari sekian banyak teori tentang efek media, sedikit sekali yang mengabsahkan tayangan bertema kekerasan di media.
Bagaimana dengan pengaruh "kekerasan" dalam program televisi terhadap anak-anak di Indonesia? Media massa beberapa kali memunculkan pemberitaan seputar kriminalitas yang dilakukan oleh anak-anak di bawah umur. Pihak media memang bisa berkilah bahwa apa yang mereka tampilkan dalam tayangan kriminalitas berbeda jauh dengan VCD -televisi sebagai medium berita bukan VCD player atau VCD rental. Tapi, bukankah tidak sedikit pula adegan percintaan remeh temeh sejenis yang juga ditampilkan di media lewat program hiburan, informasi, atau film-film yang luput dari sensor media? Jika agresivitas seksual bisa diinspirasi oleh adegan yang tampak di layar kaca --dari manapun sumbernya-- bukan tidak mungkin jika tayangan informasi kriminalitas di televisi juga menginspirasi modus operandi untuk bertindak serupa!
Kecemasan yang berlebihankah ini? Boleh jadi. Asumsi yang mengambinghitamkan media massa sebagai sumber perilaku agresif kerap dikritik pula karena terlampau menyederhanakan atau menafikkan faktor-faktor lain yang tidak kalah potensial dalam memicu perilaku agresif. Misalnya faktor depresi dan pengalaman traumatik. Tapi, kalaupun peniruan modus operandi kriminalitas dianggap berlebihan, toh efek kriminalitas di televisi tetap saja perlu diwaspadai ketika muncul dalam bentuk desensitisasi kekerasan.
Desensitisasi kekerasan, atau penumpulan kepekaan terhadap kekerasan merupakan gejala yang umum terjadi ketika kekerasan tak lagi dianggap sebagai hal yang luar biasa. Maka, tatkala masyarakat diterpa oleh informasi kekerasan, dan menganggap realitas media tak beda dengan realitas nyata, perilaku kekerasan pun disahkan dalam kehidupan sehari-hari. Seperti itulah kiranya yang terjadi, ketika masyarakat ramai-ramai menghakimi pelaku kriminalitas. Memukuli maling sampai mati, membakar hidup-hidup orang yang dicurigai sebagai perampas ojek (yang ternyata bukan pelaku sesungguhnya!), mengarak dan menggunduli (belum termasuk penyiksaan fisik) anggota masyarakat yang dicurigai melakukan perselingkuhan, dan sebagainya.
Kalau dahulu banyak yang takut melihat pertumpahan darah, dengan adanya gejala desensitisasi kekerasan, maka darah dan kekerasan menjadi hal yang biasa. Anak-anak ramai-ramai menonton pertunjukan kekerasan ini, kadang malah turut berpartisipasi. Kita patut bertanya, pelajaran berharga apa kiranya yang bisa diperoleh dari pertunjukan kekerasan semacam itu?

(Bukan) Dosa Arsitek

Hmmm...tulisan ini tampaknya seperti sebuah pelimpahan kesalahan atas fenomena yang sanagat ngetrend saat ini : pemanasan global. Arsitek adalah salah satu profesi yang menjadi cita – cita sejak kecil, disamping menjadi pilot dan dokter ( he.he. sangat mainstream ya...). Melalui tangan dan pemikiran para arsitek itulah, berbagai macam bangunan tercipta. Ato kalo kita pengen melihat bentuk mini dari sebuah bangunan yang akan dirancang, mereka akan membuat maketnya. Arsitek bukan hanya berkutat dalam bidang rancang-bangun bangunan fisik semata, arsitek juga bisa merancang kota, mengukir permukaan wajah kota dan akhirnya bisa mengubah wajah kota itu. Nah, arsitek semacam ini biasanya kuliah di jurusan planologi ato sistem rancang-bangun kota. Jika sebuah kota tidak disediakan fasilitas khusus bagi pejalan kaki dan pengendara sepeda, itu kesalahan siapa ? apakah kesalahan arsitek ?
Kota yang sangat polusif akan membuat warga tidak nyaman. Pekerjaan yang dilakukannya pun menjadi tidak optimal. Sayangnya, ini merupakan cermin dari kota– kota besar yang ada di Indonesia. Sejumlah warga yang ingin mereduksi emisi karbon dioksida mencoba melakukan terobosan dengan mencoba naik sepeda sebagai sarana transportasi. Akan tetapi niatan baik komunitas Bike To Work yang berbasis di Jakarta ini belum mendapat tanggapan maksimal dari masyarakat. Mereka bahkan harus menghirup udara kotor ketika mengayuh sepeda menyusuri jalan-jalan Jakarta. Gebrakan mereka yang cukup revolusioner ini baru akan berpengaruh ketika mendapat tanggapan secara massif dan ada fasilitas pendukung berupa areal khusus bagi pengguna sepeda.
Kembali ke arsitek lagi. Cukupkah dengan menyalahkan arsitek, kita bisa merasa tak bersalah atas pemanasan global ini ? Memang benar, arsitek dan birokrat yang menyebabkan warga kota menggunakan kendaraan bermotor untuk menempuh jarak pendek karena tidak ada trotoar ato jalur khusus untuk sepeda. Arsiteklah yang membuat orang malas berjalan kaki ato naik sepeda. Tangan arsitek jugalah yang membuat kota besar seperti Jakarta kehilangan ruang terbuka. Taman – taman kota tidak lagi optimal menyerap polutan. Tangan arsitek memanaskan kota karena menggunakan beton dan aspal untuk perkerasan jalan, panas tidak terserap dengan baik dan memantul lagi ke udara. Kenaikan suhu kota menyebabkan orang memakai AC yang juga merupakan kontrinutor emisi karbon di udara bebas. Arsitek, mau tidak mau memang ikut berpartisipasi dalam memanaskan bumi.
Ah...cukup sudah kita menyalahkan arsitek saja. Kita juga terlibat dan wajib berpikir kritis, bagaimana caranya mengurangi emisi karbon di udara. Karena bumi rumah kita bersama. Bumi kita sama – sama panas. Isu global warming memang benar – benar mengglobal. Ketika saya baca KOMPAS ( Jumat, 14 september 2007 ), saya tertarik dengan sebuah artikel yang menyebutkan bahwa pemenang Nobel Ekonomi, Profesor Joseph Stiglitz pernah menantang para arsitek untuk menyikapi isu pemanasan global dengan mendesain gedung hemat energi, dengan memanfaatkan sinar matahari sebagai peneranagan, tanpa listrik. Selain itu, rumah carbon-sink juga pantas untuk dipopulerkan. Rumah carbon-sink adalah rumah yang menahan karbon agar seminimal mungkin dilepaskan ke udara. Ide kembali ke alam, seperti mendirikan rumah dari bambu. Carbon sink merupakan terobosan baru yang harus dikembangkan oleh arsitek dan pebisnis properti untuk mengurangi suhu bumi yang terus meningkat ini. Jadi Arsitek tidak benar – benar bersalah kok..he.he..

(Kenapa)Pemulung Dilarang Masuk

Sampeyan pasti pernah membaca tulisan ”Pemulung Dilarang Masuk” di depan gang – gang perumahan di sekitar tempat tinggal sampeyan. Apa yang terlintas di benak sampeyan ketika anda menemui seorang pemulung? Saya sering menganggap bahwa pemulung itu adalah orang yang kotor. Baik kotor pekerjaannya bahkan kotor tingkah lakunya. Saya sebut kotor pekerjaannya karena berhubungan dengan sampah. Sisa–sisa barang yang kita konsumsi, termasuk plastik dan kertas, tentu akan kita buang dalam tempat sampah. Bagi pemulung sampah ini memiliki nilai jual. Mereka rela mengaisnya dari tempat sampah lalu dikumpulkan untuk dijual kembali kepada pengepul. Alasan kedua, saya menyebut pemulung kotor tingkah lakunya, karena pakaian mereka compang camping, bergelut dengan sampah bahkan kadang mereka sering mengambil barang yang tidak seharusnya mereka ambil, dikarenakan barang tersebut belum berada dalam tempat sampah. Maka wajar saja, kalo ada beberapa pemulung yang tertimpa bogem mentah dari satpam perumahan elit karena dianggap mengambil barang yang bukan menjadi haknya, karena barang tersebut belum berada dalam tempat sampah. Tindakan preventif terhadap gangguan pemulung, biasanya diekspresikan dalam plang atau papan yang berada di mulut – mulut gang.
Kalo kita cermati bersama, dulu zaman orde baru, pernah ada gerakan yang bernama gerakan bersih lingkungan. Bahkan beberapa kota mempunyai julukan yang menunjukkan eksistensi kota tersebut dalam gerakan bersih lingkungan. Misalnya : Solo Berseri, Yogya Berhati Nyaman, Klaten Bersinar, Sukoharjo Makmur, Boyolali Tersenyum, Wonogiri Sukses dan lain sebagainya. Yang paling saya ingat adalah slogan kota Solo : Solo Berseri (Bersih,Sehat,Rapi,Indah). Konsep bersih lalu dipakai pemerintah untuk mengorganisasi kampanye dan memperindah lingkungan. Salah satu momentumnya adalah ketika sebuah kota sudah mendapatkan penghargaan berupa Adipura, maka kota itu dianggap berhasil dalam mengorganisir kebersihan lingkungannya.
Konsep bersih tidak hanya mengubah penampilan fisik saja, tetapi juga menciptakan satu penampilan baru yang terlihat seragam dan tertata rapi. Segala sesuatu yang tidak cocok akan segera dieleminasi. Tindakan itu dapat kita lihat melalui : penertiban PKL, penggusuran daerah kumuh, pemulung dilarang memasuki lingkungan perumahan. Dalam kasus tersebut orang miskin dijadikan sasaran pembersihan karena lingkungan yang kotor, dianggap masih bodoh dan belum maju. Oleh karena itu, layak dibersihkan agar bisa menjadi bagian dari negara Indonesia Modern. Pemulung seringkali ”dituduh” sebagai pembuat ketidaknyamanan lingkungan sosial. ”Tuduhan” itu termanifestasikan dalam plang bertuliskan PEMULUNG DILARANG MASUK.
Ironis memang, ketika kita berbicara mengenai pencurian, kadang orang-orang yang mempunyai masalah dengan pencurian uang negara (baca : koruptor) bebas melenggang ke luar negeri. Apalagi yang terkait masalah BLBI, kini menjadi konglomerat di negara tetangga kita dan seolah kebal terhadap hukum. Mengapa plang di mulut – mulut gang itu tulisannya tidak diganti dengan KORUPTOR DILARANG MASUK? Hmmm saya rasa lebih pantas demikian, karena tingkah laku para koruptor memang jauh menjijikkan daripada pemulung yang setiap hari bergelut dengan sampah. Seharusnya ada semacam penyadaran publik, bahwa yang menjadi sampah masyarakat itu bukanlah pemulung, melainkan para koruptor itu.....Bagaimanapun juga, profesi sebagi pemulung jauh lebih bermartabat daripada koruptor.

Dor..Dor..Dor..Tar..Tar..Tar..

Kira – kira begitu kalo bunyi petasan dituliskan dalam kata–kata.he.he. Ramadhan memang identik dengan petasan dan kembang api. Ramadhan tanpa petasan kayaknya kurang afdol. Tetapi, belakangan ini penjual petasan dan kembang api sering kena razia dari aparat keamanan. Alasannya, membunyikan petasan dapat mengganggu keamanan dan membahayakan. Sering terjadi kasus kecelakaan yang konyol gara-gara membunyikan petasan. Petasan bukan hanya soal bahaya dan kegiatan merugikan masyarakat. Bagi sebagian orang, petasan bisa menjadi sumber rejeki untuk mempersiapkan kebutuhan-kebutuhan menjelang lebaran. Apalagi saat ini, perekonomian negara kita sedang labil. Labilnya perekonomian ditandai dengan kenaikan harga-harga kebutuhan pokok selama bulan puasa ini. Berjualan petasan dianggap sebagai lahan yang menjanjikan. Selalu ada alternatif untuk bertahan hidup walaupun psikologis kita sering ditimpa kepanikan, terutama di bulan puasa seperti ini. Walaupun para pedagang petasan dilarang berjualan, tetap saja ada yang nekat. Alasan yang klasik dan bakal kita dengar sepanjang masa adalah : demi mencukupi kebutuhan hidup.
Keadaan ini kayaknya menjadi perulangan dari tahun ke tahun. Perasaan panik karena tidak bisa mencukupi kebutuhan hidup sehari – hari manjadi semacam lirik mendayu – dayu lagu melayu atau musik pop ala Betharia Sonata. He.he. kepanikan ini dipicu oleh ulah spekulan yang seringkali melakukan penimbunan stok barang. Dalam kasus ini, orang yang kaya semakin tertawa sedangkan orang miskin semakin menjerit. Persis seperti vokalis band – band Screamo seperti Alexis On Fire, Underoath dan Emery.he.he. Meskipun ada anjuran dan pernyataan jangan main borong sendiri dan ungkapan “jangan khawatir, stok masih ada” tidak cukup menghibur. Dalam peristiwa kelangkaan barang – barang kebutuhan pokok ini, hukum pasar berlaku : kalo permintaan konsumen tinggi sedangkan stok barang sedikit, maka secara otomatis harga akan melambung tinggi.
Disinilah letak kekejaman pasar bebas. Mungkin melebihi kekejaman kapten Raymond Westerling ( penasaran khan, cari aja profile – nya di search engine. He.he ). Pasar bebas menyerahkan harga pada mekanisme pasar. Pasar bebas tidak pernah mau berkompromi dengan orang – orang yang berdaya beli rendah, sebuah istilah untuk memperhalus kemiskinan. Pasar Bebas, sebagai anak kandung Globalisasi memang menuntut kita untuk berlari cepat. Seringkali kita tersandung dengan dampak globalisasi dengan sentimen pasarnya. Pasar bebas dalam tataran global memang cenderung meminggirkan kelompok marjinal ( sudah kelompok tersingkir, eh makin tersingkir juga...reality is suck ). Pasar bebas adalah dampak paling signifikan dalam globalisasi. Maka, untuk menangkalnya, kita punya ahli – ahli ekonomi dan birokrat – birokrat yang seharusnya terjun ke lapangan dan mengamati pasar secara langsung. Operasi pasar kadang hanya sebatas ritualisme belaka. Hal ini tidak pernah ditindaklanjuti secara serius. Kita tidak mau dong, pasar terus menerus sentimen kepada kita..makanya, harus ada regulasi yang mengatur soal harga. Tindakan tegas memang pantas ditujukan kepada para spekulan yang mempermainkan harga seenak udel-nya sendiri. (udel=pusar) Buktinya masih banyak juga para penguasa pasar yang enggan bertoleransi alias urat sosialnya sudah putus. Mereka inilah yang perlu ditindak tegas, bukan cuma para penjual petasan saja. Jangan sampai penjual petasan marah, jangan - jangan bahan baku petasan diimpor diam - diam dari Iran berupa bubuk Uranium.he.he.he.

Cukup Seribu Rupiah Saja

Bagi saya dan sampeyan, uang sebesar seribu rupiah mungkin tak seberapa. Misalnya saja, ketika hendak buang air kecil, kita mengeluarkan uang seribu rupiah. Membayar parkir, kita kehilangan seribu rupiah. Bahkan kadang – kadang kita rela memberi seribu rupiah kepada pengamen dengan skill pas – pasan yang sedang membawakan lagunya Matta Band, yang kira – kira liriknya begini :
o...o....aku ketauan...
pacaran lagi....
dengan dirinya....
teman baikku....
and so called ”suck” he.he. Sudah tiga bulan terakhir ini, ketika saya menginjakkan kaki di kampus, saya selalu tergoda untuk mengeluarkan uang seribu rupiah untuk membeli koran. Wah, murah sekali….dengan seribu rupiah saja saya bisa mengetahui informasi aktual yang terjadi di berbagai dunia. Memang, konsep global village - nya pak Marshall McLuhan sangat relevan dalam peristiwa koran seribuan ini. Kita bisa menghadirkan realitas yang ada di dunia dalam genggaman kita. Koran yang ada di genggaman sayapun bukan koran ecek – ecek ato koran harian sore yang memang dijual murah pada keesokan harinya. Dengan seribu rupiah koran sekelas KOMPAS sudah berada di tangan. Namun, apa sensasi koran seribuan ini bagi pembacanya ?
Selama 14 tahun, saya besar dalam sebuah orde. Biar keren saya sebut The New Order sajalah.he.he. Saya juga menyaksikan ketika terjadi gerakan revolusioner bernama reformasi yang mengakibatkan orde itu tumbang. Saat ini saya dan sampeyan sudah berada dalam derasnya arus teknologi informasi yang kadang – kadang kebablasan. Arus informasi dari media massa setiap saat membanjiri otak kita. Padahal, perbincangan mengenai media massa, ketakanlah koran, pasti tidak pernah luput dari kepentingan ekonomis dan politis. Koran tidak benar – benar independen dalam menyampaikan informasi. Kita sebagai pembaca seringkali bersifat pasif dan menerima begitu saja informasi yang diberitakan dalam koran itu. Secara tidak kita sadari, kita menjadi sebuah komunitas silent majority.
Dalam masa orde baru dulu, pemberitaan dalam media massa tampak seragam. Beritanya juga itu – itu saja. Pokoknya sebagian besar media massa memberitakan tentang keadaan Indonesia yang aman – aman saja, sedang memasuki era tinggal landas bersama Repelita dan menjunjung tinggi nilai – nilai P4. Apalagi perpanjangan kekuatan ekonomi dan politik Orde Baru didukung sepenuhnya oleh Militer dan TVRI sebagi satu – satunya TV nasional. Pemberitaan yang dianggap Subversif langsung dipukul mundur. Dengan kekuatan itulah mengapa komunitas pembaca koran selalu bungkam melihat keadaan yang seolah – olah memang benar karena fakta tidak ditampilkan secara terang – terangan. Padahal kalo buka – bukaan khan lebih seksi.he.he.
Kini, setelah orde baru tumbang, kita bisa melihat berita dengan lebih seksi karena segala fakta diungkapkan secara terang – terangan. Ada sesuatu yang membuat saya tertarik. Dulu ketika dalam masa orde baru, orang muda bisa bangkit melawan otoritas dengan informasi yang serba tertutup. Kini dengan fakta yang terang – terangan kenapa orang muda ( termasuk saya ) tampak adem ayem saja ya ? Apakah kursi hiburan membuat kita lupa akan realitas yang kita hadapi ? Ah, tak taulah...yang penting bagi saya, membaca koran seribuan adalah sebuah bentuk perlawanan yang radikal terhadap sikap nyaman dan malas berpikir yang saya miliki akibat derasnya hiburan.

Yang Nebang Pohon = Katro

Sampeyan pasti bertanya – tanya, apa maksud judul tulisan ndak penting ini. Tulisan ini saya lihat terpampang di salah spanduk yang dipasang di taman kota di bilangan Pondok Indah, Jakarta Selatan, tentu saja melalui berita sore di TV(Suara Anda, Metro TV, jam 18.30, Selasa 18 September 2007 ) Yup, kadang saya benci TV tetapi ngga bisa benar – benar benci. He.he. Yang nebang pohon = Katro. Tulisan di spanduk ini merupakan bentuk perlawanan warga atas kebijakan pemerintah kota Jakarta yang akan membangun jalur busway di jalur hijau. Bayangkan saja, butuh berapa tahun untuk melihat pohon yang menjadi filter udara kota Jakarta itu jika ditebang. Lha wong pohon itu umurnya mungkin sama dengan umur saya. Alasan yang kadang tidak logis menurut saya, bahwa dengan adanya jalur busway akan mengurangi kemacetan lalu lintas di Jakarta. Sampeyan coba cermati iklan – iklan sepeda motor dan mobil di media massa yang merayu kita agar membeli produk kendaraan tersebut. Apakah hal ini tidak akan memicu masyarakat untruk terus – menerus menggunakan kendaraan pribadi untuk bepergian dan melakukan mobilitas ? Berapapun koridor busway yang akan dibangun, tetap tidak bisa mengurangi kemacetan lalu lintas di Jakarta. Lha wong konsumsi mobil pribadi aja terus meningkat, bukannya berkurang. Sama saja to ?
Ungkapan katro sebenarnya kalo kita tujukan buat diri kita tampaknya relevan. Bukan cuma kepada pejabat pemerintah yang membuat kebijakan. Bumi kita ini semakin panas saja. Setiap jantung kehidupan dimulai, di situ ada mobilitas, yang tentu saja akan ada residu dari mobilitas itu berupa CO2. Bayangkan, berapa banyak orang di dunia ini bernafas dan mengeluarkan residu berupa korbon dioksida. Belum lagi, sampeyan lihat berapa puluh kendaraan bermotor yang berada di daerah jangkauan mata anda setiap harinya yang menghasilkan karbon monoksida. Residu atau polutan itu akan terakumulasi di awan yang menyebabkan panas matahari terjebak. Inilah yang disebut efek rumah kaca ato istilah kerennya glass house effect, trus mengakibatkan global warming. Nah, kalo pohon – pohon di jalur hijau itu ditebang maka sampeyan sudah tau konsekuensi yang akan kita rasakan bersama – sama. Hal ini semakin memperparah kondisi paru – paru dunia yang semakin keropos karena ulah manusia. Lha wong setiap menit aja jumlah pohon yang hilang dari muka bumi ini hampir sama dengan lapangan golf kok… Huah, panasnya minta ampun. Dengan begini, kosmetik yang mengandung tabir surya akan laris manis seperti kacang goreng. Begitu juga dengan dokter spesialis kulit dan kelamin (SpKK), yang akan kebanjiran pasien karena kulitnya terkena radiasi sinar UV.
Industri sebenarnya memberikian kontribusi positif dalam kehidupan manusia, tetapi kalau kata industri ditambahi embel – embes isasi menjadi industrialisasi maka akan lain lagi ceritanya. Industrialisasi memang tidak memanusiakan manusia, apalagi terhadap alam. Bayangkan saja, demo buruh hampir menjadi berita wajib di media massa. Hal ini menunjukkan bahwa bukan alam saja yang dieksploitasi secara besar – besaran. Di mata kaum industrialis, semua barang dan benda menjadi komoditas, baik teknologi, gaya hidup, musik, fashion, bahkan rasa takut dan kekerasan pun menjadi barang dagangan yang layak dijual. Lha wong manusia yang punya rasa sakit dan akal pikiran saja tereksploitasi apalagi alam ? Sekali lagi, selamat datang ke ranah katrokologi. Saya, Sampeyan, Para Pejabat, Industrialis sudah patut menyandang predikat Katro dalam menyikapi alam yang semakin rusak ini. Hidup Mas Thukul.he.he.

Tuesday 11 September 2007

Enough!


After six years...
Yup, hari ini kita memperingati
6 tahun serangan teroris yang
menumbangkan menara kembar WTC,
simbol kapitalisme mutakhir
serta kegagahan Amerika di
kancah perekonomian global.
Serangan itu telah memporak -
porandakan Amerika sebagai watch
dog dan polisi dunia. Setelah
peristiwa itu, jargon terorisme
kembali memperoleh momentumnya
dan dideklarasikan menjadi
common enemy dalam berbagai
sendi kehidupan masyarakat
dunia. Bertolak dari peristiwa
itu, Amerika seolah memperoleh
pembenaran untuk melakukan
invasi milter besar - besaran ke
Afghanistan yang disinyalir
menjadi sarang teroris. Pasca
tragedi 9/11, muncul 2 tokoh
yang merepresentasikan
kepentingan masing - masing
pihak, boleh saya sebut, Islam
vs baRAT, yang direpresentasikan
oleh Bush bin Laden.he.he.he
dengan alasan apapun, tindakan
arogansi militer AS itu, tidak
dapat dibenarkan dari kacamata
apapun. Yang jelas, dari dua
pertentangan itu telah
mencederai kesucian kemanusiaan.
Hak hidup manusia yang berasal
dari Tuhan, seolah - olah
dirampas dengan paksa. Ah, kita
terlalu pusing dengan isme -
isme yang muncul dari peristiwa
monumental bagi tragedi
kemanusiaan itu. Kini, selain
Afghanistan, AS juga mengklaim
bahwa tindakannya sebagai polisi
dunia tidak boleh diganggu
gugat. Irak telah luluh lantak
dengan artileri dan peluru
kendali AS atas nama perebutan
minyak dunia. Oh,
no....selanjutnya siapa lagi
yang menjadi sasaran,
Ahmadinedjad-kah ? Hugo
Chaves-kah? Evo Morales- kah ?
atau negeri tirai bambu yang
sedang menggeliat dengan mantap,
China. Ah, kita bisa apa, berdoa
? aktif dalam gerakan anti
perang ? ato mengisi kemerdekaan
dengan belajar ? Ah, boro -
boro, memikirkan masalah
internal di negara kita saja,
sudah pusing tujuh keliling,
apalagi memikirkan "kejahatan"
AS. Akhirnya, ungkapan Gus Pur
di republik mimpi menjadi
relevan, Gitu Aja Kok Repot....