Tuesday 30 October 2007

Apa yang anda pelajari dari ILMU KOMUNIKASI?


Dedicated to : Doni Putra Daerah & Joell Gunemanku

Dear my friends,
Belakangan ini saya kok sempat risih mendengar gosip bahwa jurusan yang kita ambil di kampus kita tercinta ini tidak memenuhi kualifikasi lapangan pekerjaan. Sumpah, saya benar - benar risih mendengarnya. Bagaimana dengan sampeyan ? Apakah risih juga seperti saya ? Lama - kelamaan, saya sempat meng-under estimate institusi tempat kita bernaung sekarang ini. Visi dan misinya kok menuju ke arah kapitalisme pendidikan, perkuliahan dijadikan barang dagangan tanpa mau ber-emansipasi dengan peserta didik dalam hal perbaikan kualitas dan mutu pengajaran. Seolah-olah mahasiswa menjadi manusia kelas dua di kampus. Strata sosial mahasiswa selalu di bawah dosen untuk ukuran intelektual. Ini cara berpikir zaman Orde Baru dulu, ketika orang yang lebih pintar(dosen) selalu benar. Kapan mahasiswa kedudukannya bisa equal dengan dosen dalam hal transfer pengetahuan? Orientasi saya untuk mendapatkan ilmu komunikasi massa yang handal akhir-akhir ini melempem, kayak krupuk yang toplesnya lupa ditutup. Huh..sebenarnya saya mau menyalahkan pihak-pihak yang menurut hemat saya, harus bertanggung jawab. Tapi apakah dengan sekedar menyalahkan, akan menyelesaikan masalah? Akhirnya saya berpikir, sekuat apapun argumen saya untuk minta pertanggungjawaban, saya ini cuma “manusia kelas dua” di kampus yang jurusannya tidak memenuhi kualifikasi.ha.ha.. Cukup sudah saya ngomel tentang keadaan kampus kita. Capek, ngga ada yang dengerin. Teman-teman, selama proses perkuliahan, apa yang teman2 dapatkan mengenai komunikasi ? Doktrin - doktrin dari dosen-dosen konvensional di kampus kita sudah sangat uzur dan tidak up to date. Lha wong mahasiswa itu khan bisa baca buku,bisa browsing di internet, bisa beli KOMPAS seribuan,bisa berinteraksi di blog, eeee… lha kok didikte tentang teori2 yang njlimet dan kadang belum tentu benar menurut para praktisi yang sudah mengalaminya di lapangan pekerjaan. Sangat lucu dan ironis. Kapan sistem pendidikan kita mulai melibatkan praktisi, jika tujuan akhirnya mau mencetak sarjana-sarjana yang handal dibidangnya. Ah, sudahlah…daripada kita budrek dan mumet, mari kita ngomongin dimensi-dimensi yang ada dalam ranah komunikasi itu sendiri. Hitung-hitung buat belajar. Hmm, kita memperbincangkan Handphone sajalah..sebagai salah satu gadget wajib dalam era teknologi dan informasi saat ini. Ketika saya membaca blognya mas Joell yang unik dan khas dengan identitas kelokalannya, saya tertarik dengan HP yang nampang di sana. Saking cintanya, mas joell ndak mau untuk mengganti HP-nya yang udah ngga up to date lagi menurut saya. Eh, tanpa saya sadari, sekarang-pun saya juga menggunakan HP yang ndak kalah ndeso-nya dengan HP milik mas Joell.he.he. Memang sih, sekarang ini kita sedang memasuki “zaman informasi” yang serba online dan bisa sangat sulit untuk berkomunikasi, jika kita tidak memegang HP. Hingga saat ini, lambang atau simbol zaman informasi adalah teknologi multimedia yang berkembang dengan pesat sejak ditemukannya internet. Dengan riset dan inovasi yang simultan, telepon genggam siap mengambil alih dan memasukkan Internet ke dalam imperium komunikasinya. Barangkali aspek yang paling berpengaruh dari mobilisasi adalah kemampuannya mengubah definisi zaman komunikasi, dan karenanya juga mengubah bayangan tentang masa depan yang dimulai sejak saat ini. Saya kok kepikiran, jangan-jangan, komunikasi melalui HP adalah komunikasi antara HP satu dan HP lainnya, bukan orang satu kepada orang lainnya. Alat yang saling “berkomunikasi” itu melakukan hubungan. Sekali lagi, alat-alat itulah yang mampu berkomunikasi dengan bahasa baru. Manusia sebagai pelaku komunikasi menjadi terasing ketika menggunakan HP sebagai alat komunikasi. Tampaknya HP masa depan bukanlah merupakan alat yang benar-benar berpengaruh dan menarik, tidak ada satupun dari hal-hal itu yang perlu diperdebatkan. Namun, karena HP akan menjadi alat yang begitu penting, maka bagaimana ide tentang berbagai fitur tambahan dalam sebuah HP akan menjadi hal yang penting untuk memudahkan manusia. Sekarang ngga perlu susah-susah ke warnet ato bawa2 laptop ke area hotspot, dengan E90, seri communicator terbaru keluaran NOKIA, kita bisa ngacak-ngacak dan berselancar ke berbagai jaringan favorit kita. Pada awalnya HP dihadirkan sebagai alat yang berfungsi memudahkan komunikasi antar individu, pada akhirnya revolusi teknologi informasi tanpa kabel ini justru menciptakan pergeseran-pergeseran bentuk dan makna dari aktivitas komunikasi itu sendiri. Pergeseran ini tidak hanya melampaui teknologi saja, tetapi juga memasuki pergeseran kultural. Sekarang ini kita memasuki masa dimana HP telah menjadi bagian dari gaya hidup. Gaya hidup bisa dilihat hanya dengan melihat HP apa yang digunakan seseorang, karena melalui HP seseorang bisa mengekspresikan dirinya. Berkomunikasi tidak hanya menjadi aktivitas yang menyenangkan, tetapi juga menguntungkan. Dengan modal dan tenaga yang terbatas, didukung oleh revolusi teknologi, sampeyan dapat melakukan komunikasi dimana saja, kapan saja dengan siapa saja dan untuk kepentingan apa saja. Ruang dan waktu menjadi sesuatu yang begitu lentur untuk ditembus, sekat - sekatnya dulu yang kokoh, kini hanya dengan memasukkan password, kita sudah bisa memasuki sebuah dunia dengan interaksi tanpa batas ruang dan waktu. Begitulah persepsi saya tentang HP dalam ranah komunikasi modern. Saya minta tanggapan dari sampeyan. Jangan lupa, walaupun kita termasuk mahasiswa yang tidak memenuhi kualifikasi, setidaknya kita cukup berkualitas dalam hal bikin posting. Ha.ha.ha. Hidup blogger

Sunday 28 October 2007

Didikte Pasar



Di Indonesia, Nokia seri Communicator digemari pria dan wanita dan dijadikan status simbol oleh siapa saja, termasuk para lurah di berbagai daerah di Indonesia. Padahal, di pasaran Indonesia mulai banyak ponsel cerdas yang dijajakan dari berbagai merek ternama dengan fitur, teknologi, maupun desain yang tidak kalah menarik.

Komputer genggam yang dikenal dengan sebutan PDA phone, yang masuk ke Indonesia dengan berbagai macam merek pun masih sulit untuk bisa menyaingi seri Communicator ciptaan orang-orang Finlandia tersebut. Semua penggemar Communicator terpaku dan tergiur begitu Nokia mengumumkan seri E90-nya yang terbaru.

Perkembangan ponsel cerdas belakangan ini memang menjadi semakin menarik, di luar fenomena Nokia Communicator tentunya. Sudah lama merek-merek ternama dunia seperti Motorola dan Sony Ericsson memperkenalkan ponsel cerdas dengan berbagai kemampuan, rancang desain yang menarik, serta harga jual yang masuk dalam kategori ponsel high-end.

Kehadiran ponsel cerdas oleh berbagai perusahaan manufaktur ternama dunia selalu ditunggu oleh para penggemar gagdet. Entah karena hobi untuk setiap kali mengganti ponsel yang digunakannya atau untuk keperluan lain, semua orang antusias menantikannya.

Ketika Nokia memperkenalkan penerus produk seri Communicator-nya, misalnya, pekan lalu, semua orang pun memusatkan perhatiannya karena acara tersebut memperkenalkan ponsel cerdas terbarunya, seri E90. Semua perhatian tertuju, menantikan dan menyimak dengan benar apa yang dijadikan andalan pada produk terbaru yang akan dijual pertengahan bulan depan tersebut.

Yang menarik, pada acara perkenalan E90 kepada komunitas pengguna Nokia Communicator Indonesia, produk E90 ketika dilelang berhasil mencapai angka penjualan yang fantastis sampai Rp 45 juta. Ini adalah harga ponsel cerdas termahal di dunia dan lebih mahal dibanding iPhone buatan Apple yang juga dinantikan banyak orang.

Ponsel cerdas memang menjadi fenomena menarik. Banyak faktor yang ikut menentukan. Fitur dan teknologi merupakan satu faktor. Dan menjadi ciri alamiah, kita memang condong untuk mengagumi kemajuan teknologi, terutama miniaturisasi yang memungkinkan sebuah gadget menjadi lebih ringkas.

Di Indonesia ada faktor lain. Namanya gaya hidup. Hanya di Indonesia ponsel cerdas seri Communicator buatan Nokia yang memiliki penggemar paling besar di dunia. Sehingga tidak mengherankan, Nokia kemudian memutuskan untuk menjual Nokia E90 pertama kali di Indonesia sebelum masuk ke pasaran negara lain.

Gaya hidup memang bukan ciri khusus pengguna ponsel cerdas di Indonesia. Sampai sekarang memang tidak ada penjelasan yang memuaskan kenapa seri Communicator sejak pertama kali menarik animo banyak orang dan diperkirakan sudah ada sekitar 500.000 unit Communicator yang dijual di Indonesia sejak seri 9000.


Thursday 25 October 2007

Kecemasan dari sebuah dialog pagi di TV



Krisis Membayang. Begitulah judul sebuah bedah editorial Media Indonesia yang saya saksikan tadi pagi ( 24 Oktober 2007 ) di Metro TV. Dalam acara itu ada mas Tommy Cokro yang guanteng dan Bung Laurens Tatu anggota dewan redaksi Media Indonesia. Masalah yang dibahas dalam dialog ini adalah sebuah kecemasan akan sebuah momok bernama krisis ekonomi. Saya dan sampeyan pasti masih ingat betul akan krisis moneter yang menghantam Indonesia pada tahun 1997-1998. Kayaknya, ketakutan – ketakutan itu akan muncul lagi. Tapi lucunya, menteri ekonomi kita, pak Budiono mengatakan bahwa keadaan ekonomi Indonesia tetap pada level yang stabil dan aman. Hmmm…kayaknya beliau terus menerus menghibur rakyat dengan ungkapan tersebut.

Tak bisa kita pungkiri, bahwa perekonomian kita terlibat dalam perekonomian global. Apa yang terjadi dalam perekonomian global tentu saja akan berdampak pada kondisi perekonomian nasional kita. Alasan klasik muncul lagi dalam perekonomian global : kenaikan harga minyak mentah dunia yang diprediksi akan mencapai 100 USD per barel. Walah – walah, lha wong harga minyak mentah yang sekarang saja sudah membuat rupiah rontok, apalagi mencapai 100 USD per barel. Tentu saja kenaikan harga minyak dunia ini akan membawa konsekuensi berupa meningkatnya laju inflasi dan melemahnya pertumbuhan ekonomi.

Karena sifatnya interaktif, acara dialog pagi itu melibatkan beberapa penelfon. Para penelfon itu rata-rata mengungkapkan kecemasan yang sama terhadap kemungkinan terulangnya krisis ekonomi. Ngga usah jauh-jauh, kemaren waktu BBM naik pada tahun 2005, banyak terjadi kasus yang sangat khas…mulai dari perusahaan yang gulung tikar, pemutusan hubungan kerja, penganguran bertambah, sulitnya lapangan pekerjaan, banyak sarjana menganggur, barang kebutuhan pokok melambung tinggi, kemiskinan bertambah, angka kriminalitas meningkat, dan bla.bla.bla..kayaknya dari dulu sampe sekarangpun kita masih saja dekat dengan masalah – masalah itu..ya beginilah nasib negara berkembang yang terlibat dalam Globalisasi yang katanya memakmurkan…non sense! yang ada hanya : negara yang kaya akan semakin dikayakan(semakin dibuat kaya) dan negara yang miskin akan dimiskinkan (semakin dibuat miskin).

Inilah persoalan besar yang sedang kita hadapi. Kita ngga mungkin bisa sembunyi dari krisis, kalo itu benar-benar terjadi. Kita hanya bisa menghindar dengan melakukan antisipasi dini dengan memperkuat ekonomi rakyat. Wah, lucu juga kalo masih saja memperbincangkan ekonomi rakyat di tengah terpaan sistem ekonomi kapitalis neo liberal, dimana terjadi persaingan sempurna dan mekanisme pasar menjadi kredo. Ngga bakalan ada toleransi bagi yang ketinggalan. Dari situasi inilah, World Bank dan IMF tampil menjadi penolong yang baik hati dengan bantuan ekonominya..he.he..

Gimana mau jadi penolong, lha wong Amerika Serikat yang anggota IMF ngurusi masalah kredit rumah saja masih kelimpungan. IMF tidak bisa berbicara banyak tentang akar krisis yang sedang mengancam ini. IMF hanya sekedar memberi rekomendasi tentang perlunya kehati-hatian menghadapi krisis yang tak terbayangkan sebelumnya. IMF tak mempunyai kemampuan yang memadai. Ini menjadi pelajaran bagi para ahli ekonomi kita ( yang kebanyakan lulusan University of California Berkeley ) untuk segera bertindak, bukan sekedar ngeyem-yemi/menghibur rakyat terus. Rakyat sekarang sudah pinter dan ngga bisa untuk sekedar dihibur saja.

Tuesday 23 October 2007

Your Revolution Is A Joke


Sekarang ini saya coba menuangkan uneg-uneg, dengan ditemani playlist andalan yang terpampang rapi di software pemutar mp3 klasik. Hmm..Tadi saya menonton “Saksi Mata” di Global TV yang kira-kira tayang jam 19.30 ( Kamis, . Berita utamanya tentang bentrokan antar sesama anggota Pemuda Pancasila di Makassar. Bentrokan tersebut dipicu oleh perbedaan pendapat mengenao pembangunan Mall di lapangan Karebosi yang merupakan landmark kota Makassar. Kebetulan, saya mendapatkan suguhan visual yang menampilkan pengeroyokan seorang anggota Pemuda Pancasila oleh rekannya sendiri, karena menolak pembangunan Mall di lapangan yang menjadi ikon kota Makassar tersebut. Hampir tiap sore, tayangan-tayangan kekerasan kok semakin membanjiri stasiun TV kita. Tidak usah disebutkan dampaknya, sampeyan pasti juga langsung akan tau. Memang, bisnis pertelevisian kita kadang mengesampingkan kode etiknya, tapi apa boleh buat, Komisi Penyiaran Indonesia yang menjadi regulator-pun, dibuat mati kutu. TV seolah-olah membawa kekuatan magis yang bisa menghantarkan peristiwa kekerasan itu ke tengah-tengah ruang keluarga ketika kita, dan melebihi realitas sesungguhnya.

Kekerasan demi kekerasan dapat kita amati setiap hari melalui media massa. Kalo sampeyan memperhatikan, dalam sebuah perstiwa kekerasan pasti terdapat unsur-unsur yang membentuknya. Saya coba membuat sebuah skema kekrasan menurut versi saya. Kira -kira begini : sebab/motivasi --- pelaku --- tindakan fisik/non-fisik --- korban --- dampak fisik/non-fisik --- sebab/motivasi. Yup, seperti itu penggambarannya. Saya melihat bahwa setiap peristiwa kekerasan itu sebagai sebuah siklus dan akan terus memproduksi kekerasan-kekerasan berikutnya. Dalam hal ini, kita tidak akan bisa menghentikan sebuah kekerasan tanpa memotong siklusnya.Itu baru dari kasus kekerasan yang melibatkan dua pihak yang saling bertentangan. Ternyata, dimensi kekerasan itu sangat luas, apalagi kalau kita coba melihatnya dari perspektif negara ketiga, khusunya Amerika Latin. Banyak gerakan-gerakan revolusioner yang bersumber dari sini. Mulai dari Che, Paulo Freire, Dom Helder Camara, Hugo Chaves dll. Menurut Dom Helder, ketidakadilan adalah kemiskinan dan itulah kekerasan yang paling mendasar. Situsi inilah yang menyebabkan manusia jatuh ke dalam lembah sub-human yang melahirkan gerakan - gerakan pembangkangan dan pemberontakan.

Pembangkangan itu didorong oleh berbagai motif. Bagi kaum ekstrim kiri, perjuangan menggelar pemberontakan itu didorong oleh keinginan membebaskan kaum tertindas yang hanya bisa dilakukan dengan gerakan bersenjata, seperti yang dilakukan mas Che Guevara yang menjadi ikon popular di kalangan aktifis mahasiswa yang baru hangat-hangatnya belajar demo.( he.he.saya dulu juga seperti itu deng…) Gerakan ini mendewakan aksi-aksi agitasi yang tanpa itu, rakyat tertindas tidak akan terbebaskan.Ada juga yang tergerak oleh perasaan religius. Dengan semangat keagamaan yang menggebu-gebu kaum ekstrem kanan ini menggelar aksi turun ke jalan. Maka mengalirlah narasi pemberontakan dan raungan protes di jalan-jalan untuk kehendak revolusi yang ditafsirkan sebagai perang tanding melawan tentara bersenjata lengkap dengan atribut2 militernya. Ketika jalan-jalan yang umumnya hanya dipakai untuk mengangkut upeti ekonomi kepada kekuasaan dihalang-halangi, maka penguasa pun merasa berkewajiban mengambil tindakan tegas, dan itusudah pasti lewat kekerasan dan represi yang ngga ketulungan ganasnya. Sperti yang dilakukan pemerinta Junta Militer Myanmar terhadap para bhiksu yang turun ke jalan. Hmm..sebuah pembelajaran menarik bagi saya. Tampaknya sebuah track dari Funeral For A Friend yang berjudul “Your Revolution Is A Joke” menusuk telinga saya dan sangat tepat jika saya sandang, karena saya seolah sia-sia menulis posting yang sok revolusioner ini tanpa tahu siapa yang akan membacanya..he.he..

Hukuman Mati, Masih Relevankah?


Saya tertarik dengan posting mas Joell di gunemanku.blobspot.com yang membahas tentang hukuman mati bagi pelaku kriminal. Hmm..saya sempat berpikir, apakah kematian itu selalu vis a vis dengan kematian, dalam hal ini, tindakan yang menyebabkan kematian seseorang atau sekelompok orang ( pembunuhan, pembantaian, terorisme ) akan mengakibatkan pelaku tersebut dihukum mati. Ini berarti konsep hukum retribusi di abad pertengahan masing berlangsung sampai sekarang. Sudah menjadi adagium bersama bahwa kematian dibalas dengan kematian, kekerasan dibalas dengan kekerasan, seperti hukum rimba saja kedengarannya. Dan kita pun menganggap hukuman itu adil. Sudah umum diketahui bahwa hukuman gantung, guillotine (potong leher), dan hukuman cambuk di pusat kota menjadi pemandangan umum sampai akhir abad ke-19, termasuk di Eropa. Tidak hanya kalangan anak-anak miskin dan marginal yang bersorak-sorai menyaksikan pemandangan kematian tersebut. Thomas Cook & Co justru mengorganisasi sebuah tur di Paris pada akhir abad ke-19 yang menjadikan hukuman guillotine sebagai salah satu atraksi menarik. Hmm, kalo Pak Bondan Winarno ngetrend dengan Wisata Kuliner-nya maka Thomas Cook & Co ngetrend dengan “wisata proses membunuh manusia dengan menebas kepala sehingga terpisah dengan badan” hua.ha.ha, cukup ngeri bukan?

Setelah itu, banyak negara Eropa yang maju selangkah dengan melarang eksekusi publik serta hukuman mati. Sayangnya, hukuman mati terus berlanjut dipraktikkan di banyak negara sampai saat ini. Itu bukanlah hukuman mati seakan-akan dilarang karena rakyat biasa di negara-negara ini dipenuhi rasa antipati terhadap hukuman mati. Di Inggris, hukuman tersebut dilarang, terutama karena adanya kampanye antihukuman mati yang dilakukan Charles Dicken melalui harian The Times yang berakibat pada pelarangan eksekusi negara. Saat ini, telah umum diketahui bahwa teori keadilan retribusi "darah dibalas dengan darah" tidak berfungsi efektif. Namun, opini massa tetap mempercayai efektivitas sistem tersebut. Opini massa mencoba mencari metode hukuman yang lebih beradab dengan cara memberlakukan eksekusi yang tidak begitu menyiksa. Hal itu berujung pada penggunaan guillotine pada abad ke-18. Korban pertama guillotine adalah Nicolas-Jacques Pelletier yang dieksekusi pada 1792. Eksekusi tersebut dipuji berbagai media massa saat itu karena merupakan eksekusi yang cepat dan bersih. Ketika kepala Charles I dipancung, Andrew Marvell mengungkapkannya dalam bentuk puisi. Bahkan, mereka mungkin juga mendukung hukuman yang relatif tidak menyakitkan pada pelaku pembunuhan. Yang terlepas dari perhatian opini massa yang pro-hukuman mati adalah baik teori retribusi maupun rasa takut saat dieksekusi sama-sama tidak akan melemahkan hati dan determinasi sang pembunuh.

Yang lebih buruk, opini massa tidak peduli sama sekali terhadap kemungkinan nasib seseorang yang secara salah telah dihukum mati.
Dewasa ini, mayoritas orang akan cenderung memilih suntikan mati atau kursi listrik, serta ditembak dengan senapan daripada digantung atau dilempari batu. Mereka semakin takut melihat ceceran darah segar dan kental yang mengalir saat eksekusi berlangsung. Menutut saya, aparatus negara hendaknya memberikan penerangan pada masyarakat bahwa hukuman mati tidak akan memperkecil angka kriminalitas dan mendorong publik untuk berkontemplasi pada tragedi terburuk ketika seseorang yang ternyata tidak bersalah dihukum mati. Negara-negara yang tidak memberlakukan hukuman mati dan melarang hukuman itu sejak beberapa dekade (misalnya, di Kanada) ternyata memiliki angka kriminal pembunuhan yang jauh lebih rendah dibandingkan Amerika.

Sekali lagi, saya mengajak teman-teman untuk mengingat kembali peristiwa “penghukuman mati” ratusan ribu umat manusia di Indonesia. Dalam peristiwa tersebut,opini massa mendukung tidak hanya terjadinya hukuman mati, tetapi juga pembunuhan masal seperti yang terjadi pada masa G30S/PKI dan pembunuhan misterius (petrus) pada masa Orba.
Karakter simplistik dari opini massa jelas sangat berbahaya. Pola pikir simplistik itulah yang Seorang demokrat, di mana pun, hendaknya menyadari bahwa hukuman mati sering dimanfaatkan untuk menumpas lawan-lawan politik di bawah kondisi yang sangat tidak demokratis. Hal itu menunjukkan bahwa opini massa memiliki sejumlah keterbatasan dan perbedaan dengan opini publik. Opini publik merupakan usaha yang disengaja yang tidak sama dengan opini massa. Opini publik diciptakan di bawah kondisi spesifik, di mana informasi tersedia secara luas dan berbagai keputusan diambil secara transparan dengan memperhatikan permasalahan yang paling rentan di masyarakat.Karena itu, sudah waktunya opini publik mengoreksi opini massa dalam hal hukuman mati dengan cara debat terbuka serta transparan, di mana setiap warga negara dilindungi seandainya pengadilan bertindak salah.

Thursday 4 October 2007

The Dandy Society


Teman-teman, kalo judul tulisan diatas diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia kira-kira akan berbunyi : masyarakat pesolek. Hal ini membuat saya tertarik, karena saat ini masyarakat kita mulai tumbuh menjadi masyarakat pesolek di tengah-tengah kesulitan memenuhi kebutuhan hidup. Ha.ha. kok bisa ya ? Apa sih yang nggak bisa dilakukan masyarakat kita ?
Masyarakat konsumen Indonesia mutakhir tampaknya tumbuh beriringan dengan sejarah globalisasi ekonomi dan transformasi kapitalisme konsumsi yang ditandai dengan menjamurnya pusat perbelanjaan bergaya yang disebut shopping mall, industri waktu luang, industri mode, industri kuliner, industri kecantikan bahkan sampai gosip pun jadi industri. Serbuan gaya hidup melalui iklan dan TV memang sangat cepat merubah perilaku masyarakat kita. Serbuan itu tanpa kita sadari telah sampai pada ruang-ruang kita yang paling pribadi sekalipun.
Globalisasi industri media dari luar negeri dengan modal besar mulai marak masuk ke tanah air sejak akhir 1990an. Serbuan majalah-majalah mode dan gaya hidup transnasional menawarkan gaya hidup yang sulit terjangkau bagi masyarakat dunia ketiga seperti masyarakat Indonesia kita ini. Majalah yang mempunyai segmen pembaca dari kalangan menengah atas ini menanamkan nilai, cita rasa dan gaya hidup yang glamour. Begitu pula dengan berkembangnya industri penerbitan yang diperuntukkan bagi orang muda. Majalah-majalah yang menjadi tuntunan mode kawula muda itu menjadi lahan yang sangat subur untuk persemaian gaya hidup. Target utama majalah-majalah itu adalah para ABG (Anak Baru Gede) yang identik dengan kegelisahan mencari identitas dan citra diri. Isi majalah itu tentu saja penampilan ikon-ikon yang mewakili gaya hidup kaum muda seperti perkembangan fashion, problema gaul, tips dan trik pacaran, referensi tempat untuk shopping, review band-band yang membawakan musik populer dan tentu saja gadge-gadget yang pantas dimiliki agar terkesan remaja hi-tech. Tapi yang pasti, penampilan ikon-ikon ini ikut membentuk budaya kawula muda (youth culture) yang berorientasi pada gaya hidup fun!
Dalam abad gaya hidup ini, penampilan adalah segalanya. Erving Goffman dalam The Presentation Of Self In Everyday Life (1959) mengemukakan bahwa kehidupan sosial terutama terdiri dari penampilan teatrikal yang diritualkan, yang kemudian lebih dikenal dengan pendekatan dramaturgi (dramaturgical approach). Kita bertindak seolah-olah di atas sebuah panggung. Bagi Goffman,berbagai penggunaan ruang, barang-barang, bahasa tubuh ditampilkan sebagai ritual interaksi sosial dan tampil untuk memfasilitasi kehidupan sehari-hari. Ketika gaya menjadi segala-galanya dan segala-galanya adalah gaya, maka perburuan penampilan dan citra diri juga akan masuk dalam permainan konsumsi. Itulah sebabnya mungkin orang sekarang perlu bersolek atau berias diri.
Tak usah dijelaskan lagi mengapa tidak sedikit pria dan wanita modern yang perlu tampil beda, modis, necis, perlente dan dandy. Kini gaya hidup demikian bukan lagi menjadi monopoli artis, selebritis dan model yang sengaja mempercantik diri untuk tampil di panggung hiburan. Tampaknya urusan bersolek tidak lagi menjadi milik wanita, tetapi kaum pria pun merasa perlu tampil dandy. Urusan tampang atau wajah kini menjadi persoalan serius dalam perbururuan kecantikan dan untuk selalu tampil menjadi yang tercantik atau tertampan, tidak hanya di panggung hiburan, tapi juga dalam hidup sehari-hari. Jadilah kita menjadi masyarakat pesolek (dandy society).

The Greatest Villain, ever…


Bagi sampeyan yang gemar baca komik, nonton film action, menggandrungi super hero, pasti di situ ada tokoh antagonis untuk memperkuat konflik agar alur cerita jadi menegangkan. Sebut saja Venom, villain dalam Spider-Man 3. Jason dalam serial Friday the 13th atau Si Mata Malaikat dalam komik lokal, yang menjadi musuh bebuyutan mas Barda Mandrawata dalam Si Buta Dari Gua Hantu. Sampeyan pasti sangat kesal dengan ulah villain-villain itu yang sering membuat jagoan kita kewalahan menghadapinya. Ada saja tipu muslihat, intrik, kelicikan, konspirasi dan hal-hal yang bersifat destruktif lainnya. Sampeyan pasti sangat kesal ketika Lex Luthor tahu kelemahan Superman. Dengan menggenggam batu Kryptonite, mas Superman bisa langsung lemes. Penjahat dalam film-film action juga sering menorehkan memori yang kuat agar kita membencinya. Sebut saja tokoh Sylar dalam serial Heroes yang sedang booming saat ini. Selain mempunyai superhero favorit, sampeyan pasti juga mempunyai seorang villain favorit. Villain favorit saya adalah George W. Bush dan Soeharto. Ngga usah saya sebutkan alasannya, sampeyan pasti bisa menafsirkan sendiri. He.he

Beberapa waktu yang lalu, saya nongkrong di wedangan milik teman saya yang hobi baca buku. Walaupun dia menjadi penjual wedang, eksistensinya di “kultur perlawanan” Solo sudah tak diragukan lagi. Tanpa angin, tanpa petir, dia lalu bertanya kepada saya, apakah saya mempunyai buku Confessions of An Economic Hit Man terbitan tahun 2004. Dalam buku itu ternyata ada tokoh yang bakal menjadi kandidat “the Greatest Villain, ever..tentu saja versi saya.

Nama tokoh itu adalah John Perkins, warga Amerika Serikat yang mengungkapkan jaringan corporatocracy. Inilah ilmu tentang mencari untung sebanyak- banyaknya dengan memeras habis negara yang mudah dikelabui, seperti Indonesia. Lewat bukunya, Confessions of An Economic Hit Man (2004), ia mengaku salah dan menyesali mengapa para pemimpin negaranya belum berubah. Ah, tak apa-apa karena di sini juga belum ada perubahan kok. Perkins adalah economic hit man (EHM) untuk sebuah perusahaan konsultan MAIN di Boston, AS. Cara kerja mereka mirip dengan mafia karena menggunakan segala cara (termasuk membunuh atau mempekerjakan) untuk mencapai tujuan politik dan ekonomi.

Ia menulis bahwa EHM bertanggung jawab atas terbunuhnya Presiden Panama Omar Torrijos dan Presiden Ekuador Jaime Roldos. Dua kepala negara di Amerika Latin ini mesti dilenyapkan karena menentang ilmu cari untung itu, yang dijalani Gedung Putih dan para eksekutif eksklusif. Tugas pertama Perkins membuat laporan fiktif agar lembaga- lembaga bantuan (Perkins menyebut IMF, Bank Dunia, dan USAID) mau mengeluarkan utang. Dana itu disalurkan ke proyek-proyek infrastruktur yang dikerjakan berbagai perusahaan top AS, seperti Bechtel dan Halliburton. Tugas kedua, Perkins harus membangkrutkan negeri penerima utang. Setelah tersandera utang setinggi gunung, barulah si negara penerima dijadikan kuda yang dikendalikan sang kusir.

Presiden negara pengutang akan ditekan supaya, misalnya, memberikan voting pro-AS di Dewan Keamanan PBB atau memberikan lokasi untuk pangkalan militer AS. Bisa juga Washington menekan agar negeri pengutang menjual ladang minyak atau kekayaan alam lainnya. Selama tiga bulan di tahun 1971 Perkins keliling Indonesia menyiapkan dongeng tentang pertumbuhan ekonomi dan pendapatan per kapita (GNP) kita. Angka-angka itu digelembungkan setinggi mungkin mendekati langit ketujuh.
Angka-angka catutan itu dilaporkan kepada Bank Dunia atau IMF. Para eksekutif di situ juga tukang-tukang ngibul yang serentak menganggukkan kepala sambil berdecak kagum, Bos Perkins bilang, Presiden AS Richard Nixon ingin Indonesia diperas sampai kering seperti kain pel habis dipakai melantai. Negeri ini ibarat real estat terbesar di dunia yang tak boleh jatuh ke tangan Uni Soviet atau China, demikian kira-kira kata bos Perkins, Charlie Illingworth, suatu kali di Bandung.

Corporatocracy antara elite politik dan bisnis AS itu disambut hangat para pejabat kita. Paling penting, rekening bank para pejabat itu tak boleh sampai tinggal keraknya doang seperti tungku penanak beras. Maka orang-orang Gedung Putih, Bechtel, Halliburton, lembaga-lembaga bantuan, MAIN, dan para pejabat itu saling tersenyum dan mengedipkan mata. Proyek “pembangkrutan” (bukan pembangunan) Indonesia pun dimulai.
Nah, persekutuan antara corporatocracy AS dan cleptocracy (penyakit klepto) yang diderita elite Orde Baru itu berjalan mesra selama puluhan tahun. Rakyat Indonesia bengong saja seperti obat nyamuk yang menemani orang lagi pacaran. Tujuan rahasia pembangunan proyek-proyek infrastruktur itu, keuntungan sebanyak-banyaknya untuk Bechtel, Halliburton, dan sejumlah perusahaan AS. Tujuan rahasia lainnya, memperkaya penguasa dan keluarganya di sini agar loyal kepada jaringan corporatocracy tersebut. Semakin banyak utang yang dipinjamkan ke Indonesia, semakin baik. Selama tiga bulan keliling Indonesia, Perkins menjadi EHM yang andal meskipun kadang kala terganggu hati nuraninya menyaksikan kemiskinan di sini.

Berkat pengalaman pertamanya di Indonesia, Perkins berkali-kali dipercaya melakukan tugasnya sebagai (economic hit man) di berbagai negara. Secara diam-diam dia menyiapkan buku Confessions yang dia tulis antara lain sebagai ungkapan minta maaf. Sampeyan sebaiknya membaca buku Perkins. Semoga ada penerbit di sini yang mau membeli hak penerbitan sekaligus menerjemahkannya supaya dibaca anak-anak dan cucu-cucu kita agar tak melupakan sejarahnya…Hmm, John Perkins memang benar-benar The Greatest Villain, ever…hell yeah!