Friday 30 May 2008

Kenaikan BBM yang Benar-Benar Menyiksa




Harga minyak mentah dunia yang naik secara simultan menyebabkan beberapa negara termasuk Indonesia harus ikut menaikkan BBM agar bisa menekan laju inflasi. Tata dunia yang ada sekarang ini lebih dikuasai oleh kapitalisme yang amat liberal. Demi logika pasar, semua kebijakan bisa ditempuh dengan mengesampingkan semua logika yang berasal dari masyarakat miskin. Kapitalisme inilah yang sekarang menguasai kehidupan politik dengan menggunakan argumen pro-pasar. Negara mulai dipangkas fungsinya untuk melindungi kaum miskin. Seperti lagu lama yang terulang kembali, kenaikan BBM seperti menjadi sebuah ode pengantar untuk memasuki sebuah keterhimpitan dalam hal pemenuhan kebutuhan hidup sehari-hari bagi rakyat Indonesia.

Kebijakan yang tidak populer di mata rakyat inipun menuai protes dari berbagai kalangan mulai elit politik dari partai oposisi di DPR, mahasiswa sampai sopir angkutan kota. Mereka menuntut agar kenaikan harga BBM dibatalkan. Oh…betapa mudahnya mereka menyampaikan aspirasi tanpa studi wacana mendalam terlebih dahulu. Pokoknya tolah kenaikan harga BBM. Kalau ditanya balik : “Apa yang akan sampeyan lakukan jika sampeyan berada di posisi saya(pemerintah) menghadapi ancaman resesi global ini?, atau apakah sampeyan punya alternatif lain untuk mengurai masalah yang rawan ini ?, punya ide ato ngga?, kalo punya ayo dialog!” Saya yakin, diantara orang-orang reaksioner itu tidak ada yang berpikir ke depan dan mungkin tidak bisa menjawab. Hell no! Fenomena demonstrasi hanya merupakan letupan sesaat dan hanya menjadi euphoria heroisme yang memenuhi dada.

Tindakan anarkis menjadi pemandangan “biasa” yang setiap hari berseliweran di TV. Aksi-aksi yang seharusnya mengusung agenda penolakan tarif BBM mengarah kepada aksi yang tak terkendali. Kembali ke tujuan awal aksi demonstrasi yang seharusnya mengkomunikasikan pesan, menyuarakan aspirasi, menuntut penguasa untuk merevisi kebijakannya, akhirnya hanya menjadi sebuah pembenaran belaka untuk melakukan tindakan kekerasan. Berita TV yang kadang tidak mengcover sebuah peristiwa dari dua sisi, sering menggiring argumentasi pemirsa ke arah pemihakan kepada kelompok tertentu. Saya pribadi tetap berpihak pada rakyat. Karena saya tahu betul rasanya menjadi rakyat.

Tapi, apakah dengan mengatasnamakan rakyat, tindakan pengeroyokan terhadap polisi bisa dibenarkan ? Apakah mencorat-coret mobil plat merah dengan pylox bisa dibenarkan ? Apakah memblokir jalan raya yang seharusnya menjadi sarana publik bisa dibenarkan ? Saya kira tidak demikian. Mereka yang melakukan aksi itu gagal untuk gagah dalam membela rakyat. Rakyat yang mana yang simpatik dengan aksi-aksi anarkis seperti itu? Sekali lagi, polisi yang dikeroyok maupun pejabat pemerintah yang “kebetulan” lewat di depan aksi demo itu bukan representasi dari pemerintah yang mengesahkan kebijakan yang tidak pro-rakyat ini. Mereka juga rakyat yang sama-sama menanggung kenaikan BBM ini. Sampai kapan cara-cara konservatif seperti ini digunakan? Apakah tidak ada cara yang lebih smart dan elegan ? Dengan tidak mengurangi rasa hormat saya kepada mahasiswa, saya mendukung aksi penolakan kenaikan BBM tetapi tidak setuju dengan aksi-aksi mahasiswa yang berbuntut dengan kekerasan. Saya yakin, masih ada mahasiswa yang peduli dengan isu kenaikan BBM ini dan berpikir dari angle berbeda untuk mengurainya.

Bagaimana pun rakyat tidak pernah dapat menolak kebijakan kenaikan harga BBM ini. Apalagi, sikap penerimaan rakyat tidak pernah diimbangi dengan kebijakan yang melindungi kepentingan rakyat. Alasan pemerintah untuk menaikkan harga bahan bakar minyak (BBM) adalah supaya biaya subsidi bisa diberikan tepat sasaran, yakni kepada mereka yang miskin. Alasan yang dikemukakan ini memang begitu rasional dan logis. Logika yang dipakai oleh pemerintah selama ini bahwa yang menikmati harga BBM tersubsidi hanya orang kaya.
Di negara kita, setiap pemerintah membuat kebijakan menaikkan harga BBM, selalu muncul pertengkaran dua argumen, argumen penguasa dan argumen rakyat. Kedua argumen itu bertolak belakang dan selalu susah untuk sama-sama memahami. Jika kita berada dalam tempat yang netral, kedua argumen itu akan kita lihat sama-sama rasional, dalam artian bisa dimengerti secara akal sehat. Argumen penguasa menaikkan harga BBM adalah untuk mengurangi subsidi, menempatkan subsidi pada sasaran yang tepat, mengurangi angka kemiskinan.

Dengan perhitungan yang njelimet dan mumet, argumen ini coba disebarkan melalui bahasa-bahasa sederhana dalam iklan televisi pesanan pemerintah. Pemerintah menggunakan "tokoh-tokoh" artis yang dikenal publik sebagai representasi wong cilik. Pemerintah berusaha mencari cela-cela ke mana isu publik bisa dimasuki agar kebijakan kenaikan harga BBM ini bisa dipahami publik. Mereka datang melalui isu subsidi pendidikan, akses kesehatan untuk orang miskin dst. Masalah utama dalam hal ini tentu bukan popular atau tidaknya sebuah kebijakan diambil, melainkan pilihan yang amat mendasar ini harus dilatarbelakangi oleh pertimbangan yang jelas orientasinya. Yaitu pemihakan kepada kaum miskin. Kalau pertimbangan hanya semata-mata demi logika pasar, maka di mana kepedulian pemerintah untuk membela posisi kaum miskin yang sampai saat ini masih saja sengsara?

Argumen tandingan yang dimunculkan rakyat sebaliknya. Kenaikan harga BBM pasti akan menyengsarakan karena selalu diikuti dengan kenaikan harga non-BBM, yang pasti tak bisa dikendalikan secara tegas oleh penguasa. Kenaikan harga BBM pasti bukan untuk mengurangi kaum miskin, malah menambahnya. Lalu siapa pun tahu, the show must go on. Harga BBM selalu naik kendati ditentang. Demonstrasi untuk menentang sering hanya seumur jagung, dan harga BBM yang "mahal", tetap saja dikonsumsi oleh rakyat berapapun harganya. Kendati hal itu pasti tidak akan sebanding dengan kenaikan pendapatan yang mereka hasilkan.

Lalu, apakah dengan naiknya harga BBM, pemerintah bisa memberikan jaminan akan berkurangnya kaum miskin? Inilah yang seharusnya dijadikan pijakan pemerintah pasca-kebijakannya menaikkan harga BBM ini. Dan kini, harga BBM sudah naik. Orang kaya tidaklah terlalu bermasalah dengan kenaikan ini. Orang yang kaya dan jumlahnya sangat kecil di negara kita tidak perlu demonstrasi dan protes, karena dengan pendapatan yang ada sekarang, dipotong subsidi separuh pun, mungkin bagi mereka enjoy saja. Anjing menggonggong, kafilah berlalu. Padahal itulah yang tidak bisa dialami oleh orang miskin. Ketika harga BBM naik, harga kebutuhan untuk pabrik-pabrik pasti meningkat. Tetapi gaji para buruh tentu tidak serta merta dinaikkan, menunggu didemontrasi terlebih dahulu berbulan-bulan, bahkan bila perlu ada korban. Mereka yang miskin adalah mereka yang sudah pasang badan untuk digilas.

Wednesday 21 May 2008

Kisah Flannel dan Jeans Sobek

Trend berpakaian merupakan sebuah attitude, ekspresi diri dan manifestasi ide dari pemakainya. Trend berpakaian akan selalu menjadi panorama urban yang selalu mendampingi orang muda di setiap jamannya. Masing-masing era yang terdiri dari satu dekade selalu menonjolkan karakter yang aktual dan merepresentasikan situasi sosial, politik, dan budaya jaman itu. Tidak usah melihat ke belakang terlalu jauh, sebut saja flannel yang menjadi pakain wajib remaja di era 90an. Para pelaku kultur ini mencoba tampil ke permukaan untuk menegaskan kepada publik bahwa mereka ada dan melawan berondongan trend ala rockstar yang glamour dengan celana kulit dan rambut gondrongnya. Oh, betapa kasian para rocker itu. Pasti penisnya mengalami iritasi akibat ketatnya celana yang tak menyisakan ruang sirkulasi udara. Tapi, walaupun iritasi, “adik kecilnya”-nya ini tetap bisa beraksi untuk meniduri puluhan groupies setelah mereka tampil dalam konser. Benar-benar attitude rockstar sejati. Screw You!

Mengingat kembali ketika kakak-kakak tingkat saya mengenakan celana jeans robek, big-ass t-shirt, kemeja flannel kotak-kotak, sepatu converse lusuh, rambut agak gondrong acak2an, rasanya sudah tampil cool dan keren. Maklum saja, ketika itu saya masih asik main nintendo dengan permainan Mario Bros yang fenomenal itu. Game ajaib pada jaman saya itu seolah menjadi tingkatan paling mutakhir dalam dunia permainan saya. Ketika kakak-kakak tingkat saya mendengarkan Nirvana, saya masih mendengarkan lagu anak-anak Indonesia yang super konyol. Si lumba-lumba….bermain api….Si lumba-lumba….makan dulu…ah,pengalaman nonton sirkus aja bisa jadi hits.he.he.

Setelah browsing dengan memasukkan kata “grunge” di search engine, saya mendapat berbagai pencerahan.(thanks God, you’ve created a genius people who makes difficult things became easier,hell yeah). Rasanya ucapan ngawur Mark Arm, vokalis Green River sebelum bermutasi menjadi Mudhoney yang berkata “pure grunge,pure shit” untuk mendeskripsikan jenis musik band-nya telah membawa wacana baru tentang genre musik waktu itu. Lewat ucapan Mark itulah dikenal istilah Grunge Orang-orang lalu mendefinisikan musik ini dengan sebutan Grunge. Musik yang muncul di Seattle itu seolah menjawab kejenuhan anak muda Amerika dari bombardir musik glamrock ala Bon Jovi, Motley Crue, dan Guns n Roses. Siapa yang nggak kenal dengan band-band ini pasti sedang mengalami gangguan pendengaran akut :-). Band-band ini tampil dengan balutan celana kulit yang kelihatan bodoh dan konyol. Musik grunge pun dikenal luas, dari semula yang hanya mewabah secara nasional saja di Amerika, menjadi lagu wajib dengar bagi generasi muda di seluruh dunia. Grunge go international. Belum lagi kesuksesan luar biasa yang diraih album Nevermind yang terjual sekitar 10 juta kopi waktu itu, semakin membuat grunge menjadi kutul yang tidak bisa dilupakan di era 90an.

Ooh…ternyata fashion yang dikenakan kakak-kakak tingkat saya itu disebut fashion grunge. Fashion ini tentu saja tampil untuk melawan kenyamanan berpakaian kala itu. Rambut acak-acakan, celana jeans robek, tidak mandi sebulan adalah bentuk spirit anti-kemapanan kala itu. Apakah dengan tampil seperti itu, mereka sudah mengklaim diri mereka sebagai ikon perlawanan ? Awalnya memang seperti itu. Ketika Kurt Cobain, Eddie Vedder dan Kim Thayil tampil acak-acakan dan menjaga diri dari publikasi besar-besaran, muncul kesan rebel dan riot. Tersangka utama yang membuat fashion grunge menjadi ngetrend tentu saja adalah media massa. Setelah kematiannya yang kontroversial di tahun 1994, Kurt Cobain pun kini menduduki singgasana ikon pop culture bersama-sama dengan Norma Jean sebelum jadi seleb dan mengubah namanya menjadi Marylin Monroe.

Fashion yang terkait dengan musik dan mempengaruhi kultur, memang tak pernah lepas dari efek dramatis yang diciptakan media massa. Terobosan luar bisa yang bisa mengubah kultur berpakaian menjadi seragam dan terkesan keren adalah media. Ah, andai saja ada pemuda Indonesia yang bisa menciptakan peluang dikenal secara internasional karena tampil membawakan musik etnik yang di mix dengan electro dan tekno serta trance dan disco dengan mengenakan kemeja batik yang dipadupadankan dengan jeans belel, tatto dan piercing yang menawan. Kita tunggu saja kemunculannya.

Friday 9 May 2008

Andai Saja Saya Jadi Anak Indie Paling Mutakhir



Saya mungkin harus mempunyai kepekaan seperti anak-anak emo yang kadang membawakan lagu super-depresif untuk sekedar buka-hati terhadap realitas tidak mengenakkan yang saya hadapai. Boleh saja kalo kita bersifat apatis dan apolitis terhadap runyamnya kondisi bangsa ini. Tetapi mau tidak mau kita memang benar-benar tinggal di sini. This is our nation, what will you do to save it? Andai saja ada band emo yang menjadikan krisis energi di Indonesia sebagai dasar penulisan liriknya, itu sudah saya anggap sebagai persuasi aktif untuk berhemat energi. Dengan sedikit riset, browsing, rasa depresi, anti-pemerintah, egois, rokok dan bir, proses pembuatan lirik pasti akan sangat menyenangkan, mengharu-biru dengan optimisme baru, depresif dan emosional. Itu pengandaian saja jika saya menjadi seorang pemuda yang giat dalam organisasi subkultur berbalut referensi musik yang underrated bernama indie.

What the meaning of independent music anyway? I don’t really fuckin care! Bekalnya cuma semangat untuk mengapresiasi akutnya masalah krisis energi. Semangat itu tentu saja harus dibebaskan, kalo saja tidak bisa bebas, ya dipaksakan agar benar-benar bebas, tanpa pretensi apapun, sedingin mayat, bagai sayur tanpa garam, berkarya dengan melupakan logika industri. Hu..hu..gak hanya menceritakan elegi patah-hati, seperti pola-pola lagu kekinian yang begitu gencar melirik para ABG labil sebagai target marketnya. Yang jelas niat ini harus dibarengi dengan pembebasan pola pikir dari apa yang sering dilabeli dengan sebutan indie vs mainstream. Lupakan dulu tentang dua kotak yang membuat polarisasi trend yang memiskinkan intelektual. Atau apa lagi lah itu namanya, you name it. Yang jelas, whatever you label yourself, sampeyan sadar nggak kalo sampeyan sangat sering memasukkan diri sampeyan sendiri kedalam sebuah kotak kategori, yang mana di dalam kotak itu sudah ada aturan tentang ‘how to behave’, ‘what to wear’, ‘what to listen’, bahkan sampe ‘what to think about’? Kotak-kotak berlabel itu seolah-olah punya aturan sendiri yang harus diikuti.

Istilah indie sesungguhnya masih merujuk ke spesifikasi tertentu. Indie akan mampu dipahami secara proporsional bila ditelusuri ke konteks historis atau wacana terjadinya pembentukan istilah itu. Namun jarang ada media yang mau menggali lebih dalam. Sehingga “indie” cenderung dikotakkan sebagai musik laris manis yang cocok bagi selera awam. Sedangkan musik indie sesungguhnya yang underrated malah diabaikan. Hal semacam itulah yang kerap menimbulkan miskonsepsi publik bahwa “indie” semata-mata pola kerja dan kemurnian idealisme. Bagaimana bila sebuah band beridealisme mainstream tapi mereka berproduksi secara swadaya? Apakah itu termasuk indie? Tentu tidak. Karena independen secara minor label atau self-released tidak menjamin artis/label itu berkarakter indie. Seseorang yang berjiwa mainstream pun bisa saja menghasilkan karya berkarakter mainstream tapi dikemas secara “Do-It-Yourself” dengan dalih kebebasan ekspresi atau budget minim.

Musisi lokal yang memang ingin menjadi indie seharusnya banyak belajar dari situ sehingga mereka tidak menjadi popstar wannabe yang terobsesi gemerlap popularitas secara mainstream. Kurt Cobain bisa jadi contoh ideal sebagai figur musisi indie karena dia malah depresi saat musiknya kian terkenal dan pasaran. Dengan musik yang sangat catchy dan selling, sebenarnya banyak band indie yang berpeluang besar untuk menjadi artis jutaan kopi dengan menawarkan demo ke major label. Namun mereka tidak melakukan itu karena orientasi mereka bukan sekadar popularitas dan kemewahan, namun lebih kepada kepuasan personal dan idealisme dalam berkarya. Bahkan ada yang menolak tawaran manggung hanya karena skala pentas dan panggungnya terlalu besar.
Sikap semacam itu pun banyak ditunjukkan band indie lainnya dengan menjaga jarak dengan pers. Inilah contoh sikap “perlawanan” yang berbeda dari stereotipe artis mainstream.

Kembali ke topik utama, jika saya menjadi anak indie paling mutakhir saya akan membuat puisi pendek yang akan saya gubah menjadi lagu. Lagu itu akan saya beri judul “pragmatisme kebenaran”. Pragmatisme kebenaran tentang krisis energi yang sedang dihadapi bangsa ini.he.he. Kira-kira begini :

Pragmatisme Kebenaran

Ketika krisis energi jadi hip
Subsidi energi adalah ide yang buruk
Pesakitan ini pernah membuat Indonesia di overlap rivalnya,
sesama negara berkembang di Asia Tenggara,
keluar dari jeratan krisis era 90an.

Ketika popularitas pemerintah menurun.
Negara butuh pemimpin yang berani.
Menerjang angin mengurai badai.
Melakukan hal yang baik untuk rakyatnya,
bukan pemimpin yang hanya melakukan hal yang disukai rakyatnya.

Subsidi membuat infrastruktur transportasi masal tidak kompetitif.
Masyarakat memilih menggunakan mobil pribadi,
daripada menggunakan transportasi massal,
yang juga menjadi sumber pemborosan energi.

Banyak orang tetap berbondong-bondong ingin menjadi birokrat.
Menjadi rakyat terbukti kian sengsara.
Sementara menjadi birokrat?
Keuntungan materi berada di depan mata.
Terlepas bahwa apakah keuntungan itu diperoleh
dengan cara-cara yang semakin menyengsarakan rakyat.

Orang terus berusaha glamour dalam kesengsaraan.
Sayup-sayup meronta dalam kemilau kebudayaan pop.
Rupanya menjadi modern memang membawa impian dan janji-janji.
"Mimpi-Mimpi" kekayaan hasil konstruksi pasar.
Dalam monumen berukuran 14 inci bernama televisi.
Menghasilkan makna dari kebudayaan daur ulang,
Memoles dunia permukaan imanen,
Mencipta konsumer schizoprenik,
Mementaskan parodi dalam satu permainan rumit estetika realitas semu,
Menjerat masyarakat,
Menjejalinya dengan sebanyak-banyaknya informasi-hiburan tanpa henti.

Sunday 4 May 2008

Mengeruk Untung Lewat Para Pemuja Tubuh


Kata cantik merupakan sebuah terminologi klasik yang selalu aktual jika kita membicarakannya hari ini. Pada era 40an para Yankees memuja Marylin Monroe sebagai sosok yang cantik dan memenuhi standar visual yang estetis pada saat itu dan menjadikannya sebagai ikon populer hingga saat ini. Ketika era modern telah lewat dan era post-modern datang, kecantikan tetaplah menjadi sesuatu yang dikonstruksikan oleh media. Lewat iklan, film, karya tulis dan produk-produk budaya, cantik selalu identik dengan wanita berambut hitam lurus, langsing, berkulit putih.

Kekawin Arjunawiwaha Pupuh 3 memberi gambaran tentang tubuh perempuan : “Tubuhnya langsing, payudaranya besar, pinggangnya kecil, dan warna kulitnya kekuning-kuningan”. Sedangkan untuk komparasinya disebutkan bahwa perempuan ada yang kulitnya hitam, tidak suka tertawa, dan jika tertawa ia selalu berusaha menutupi mulutnya. Secara implisit definisi cantik ini mendeskreditkan ras manusia tertentu. Kitab karangan empu Kanwa ini menjadi sebuah local genius tentang idealisme kecantikan perempuan. Dalam arus globalisasi, ukuran kecantikan ideal menurut nilai-nilai lokal, digerus dengan kekuatan modal dan kapital yang termanifetasi melalui iklan. Masyarakat secara bearamai-ramai digiring pada konsespsi cantik menurut ukuran orang Indo-Eropa, bukan orang Inlander seperti kecantikan gadis jawa, misalnya.

Inilah kekejaman media yang jarang kita “waspadai” karena kita terus-menerus dibuat pongah oleh manisnya gula-gula bernama entertainment. Siapa yang tak setuju kalo Sandra Dewi atau Dian Sastro itu cantik? Kalo ada yang tidak setuju berarti sampeyan tidak objektif atau mungkin mengidap disorientasi seksual.ha.ha.ha. Saya setuju kalo para selebritis wanita yang menjadi boneka-boneka layar kaca itu semuanya cantik. Entah mata saya yang telah didikte begitu lama oleh televisi atau mata saya yang meminta penampakan-penampakan yang cantik saja. Sungguh sebuah stereotip yang benar-benar berhasil buat saya kalo cantik itu ya identik dengan langsing, rambut panjang dan berkulit putih. Persetan dengan inner beauty, karena penampilan luar tetap menjadi daya tarik awal bagi saya. Dasar mata yang sangat tipikal. Khe.khe.khe.

Iklan televisi berupa produk pemutih kulit menjadi medium hipnose, medium pembawa hibriditas bernama dan fiksi. Padahal yang tampil di iklan pemutih wajah dan kulit itu semuanya hanya simulakra, yang jauh melebihi realitas sebenarnya. Kaum perempuan lokal kita merasa perlu dan wajib berlomba untuk meraih predikat cantik menurut mata media. Mereka berlomba mengkonsumsi produk pemutih kulit (whitening) untuk melahirkan identitas baru sebagai perempuan modern dan kosmopolit. Menurut Vissia Ita Yulianto seperti yang dikutip Kompas 4 Mei 2008, ” Modernitas dan globalisasi membentuk masyarakat menjadi makin seragam, homogen, dengan standardisasi melalui teknologi dan hal-hal yang bersifat komersial. Penayangan produk-produk budaya komersial dari Barat-Hollywood, London,atau Paris dengan budaya tingginya yang prestisius telah menciptakan disparitas terhadap entitas kecantikan wanita di masing-masing negara yang mengkonsumsinya. Mengutip data AC Nielsen, pada kurun waktu Januari 2002 - Desember 2003, produk pemutih Ponds White Beauty-Skin Lightening di Indonesia meningkat drastis hingga 110 persen, dari 46 miliar rupiah menjadi 97 miliar rupiah.

Diluar segala permasalahan tentang gender dan diskriminasi, perempuan di Indonesia disibukkan lagi dengan budaya industri yang dilahirkan oleh sistem kapitalis yang mengalienasi individu dari masyarakatnya. Dalam globalisasi, yang tidak cantik dilarang berpartisipasi. Sebuah komedi yang tragis. Sepertinya para perempuan Indonesia yang tinggal di kota-kota besar dan suka pergi ke salon, spa dan mall untuk mempercantik diri sesuai tuntutan global, harus mendengarkan Declare Independence-nya mbak Bjork agar benar-benar merdeka dalam memilih menjadi diri mereka sendiri.