Friday 21 March 2008

Ciu : Perlawanan Kultural Terhadap Hegemoni Industri Hiburan Yang Tak Terbeli.



Ide untuk mengawali tulisan ini sebenarnya dipicu dari sebuah obrolan pagi khas mahasiswa di kantin kampus saya. Pagi itu saya ada janji dengan Om Kenthir ( salah satu senior saya di kampus yang sampai sekarang belum juga lulus..sekarang jadi sesepuh...he.he..) untuk mengambil softcopy contoh karya-karya tugas akhir. Setelah mandi dan mendengarkan soundtrack pagi hari dari playlist winamp di komputer, sayapun sarapan sampil manggut-manggut mengikuti irama lagu Dumb Reminder dari No Use For A Name. Motor butut sudah menunggu untuk ditunggangi, sayapun bergegas menuju kampus. Lalu lintas kota Solo tidak begitu macet. Perjalanan dari rumah menuju kampus saya tempuh dalam waktu relatif singkat, hanya 10 menit. Sesampai di kampus yang tak pernah saya cintai itu, suasana kantin seolah memanggil naluri saya untuk meniliknya. Rokok yang terbakar sudah tersemat diantara bibir. Asap mengepul seiring dengan sapaan beberapa teman, sayapun menembus kepulan asap itu dan menghampiri 2 teman saya yang ternyata bernama Willy dan Zeno.

Diawali dengan sapaan khas saya : “Piye bro, kabarmu ? skripsimu tekan ngendi ?”. Willy pun menyambut sapaan saya : “ Lha kowe dewe tekan ngendi?”. Saya pun bingung untuk menjawab pertanyaan yang seolah meminta pertanggungjawaban moral, ideologis dan karakter intelektual saya yang pas-pasan tentang apa yang disebut skripsi itu. Pertanyaan Willy membuat saya terdiam beberapa saat. Rokok menjadi teman berpikir untuk memanggil kembali short term memory saya. Dengan singkat saya menjawab : “ Aku mbaleni meneh seko awal, latar belakang penelitianku kurang kuat, terus aku dikon nambahi teori tentang kekerasan.” Willy hanya bergumam lirih : “ Ooooooo…ngono to…yen aku ganti judul penelitian, aku ora sido ngangkat tema stigmatisasi terhadap anak cucu eks PKI.” Belum sempat menanggapi ungkapan Willy itu, Zeno yang dari tadi diam, tiba-tiba menyambar. “ Yen aku ngangkat fenomena ngombe Ciu nang Solo. Terus tak gathukke karo agama dan budaya lokal.” Ungkapan dua teman saya itu menganggu pemikiran dan seolah menampar halus pipi saya, terutama ungkapan Zeno tentang Ciu. Mengapa ide sebrilian itu tak pernah terpikirkan? Ternyata saya lebih memilih berkompromi dengan sistem birokrasi di kampus sehingga saya hanya melakukan pengulangan metodologi penelitian bertumpuk-tumpuk skripsi di perpustakaan tentang semiotika film. Tumpukan skripsi tentang semiotika film itu bagi saya tak lebih dari sebuah akuarium dengan berbagai macam ikan hias yang berwarna-warni. Metode semiotik sebagai akuariumnya, sedangkan film-film yang diteliti sebagai ikan hias yang berwarna-warni itu. Sayapun hanya akan menyumbangkan ikan lagi ke dalam akuarium itu, bukan hewan yang lain seperti kura-kura brazil misalnya.

Setelah cukup melakukan obrolan ngalur ngidul tentang skripsi, sayapun bergegas untuk menemui Om Kenthir yang memang sudah janjian dengan saya. Inisiatif saya seketika itu muncul dan mengarahkan kaki saya menuju area hot spot yang baru-baru ini menjadi simbol kemajuan teknologi di kampus saya, walaupun terlambat begitu lama. Om Kenthir ternyata sudah berada di tempat itu, tempat yang menjadi favorit mahasiswa ketika sedang berada di kampus. Inti dari pertemuan itu, Om Kenthir meminta bantuan saya untuk membuat narasi untuk karya tugas akhirnya. Dengan senang hati saya akan membantunya, dengan harapan agar cepat lulus, dan tidak menyandang gelar sesepuh lagi diantara kami.he...he..he..

Sesampai di rumah, saya terganggu dengan tema skripsi yang diangkat Zeno tentang fenomena ngombe (minum)Ciu. Bagi masyarakat Solo, Ciu sudah menjadi hal yang sering didengar dan tidak asing lagi. Ciu adalah minuman beralkohol hasil fermentasi dari tebu. Kadar alkohol yang terkandung dalam Ciu bisa lebih dari 40%. Bila sampeyan belum pernah minum Ciu, jangan sekali-kali menenggaknya, karena akan menimbulkan sensasi rasa yang sangat aneh dan tidak enak. Jangan bandingkan produk asli Bekonang ini dengan Coca Cola yang menjadi tren gaya minum global. Jika sampeyan berani mencoba, saya sarankan jangan menenggak minuman ini secara murni atau lawaran. Tak menutup kemungkinan produk Amerika yang bernama Coca Cola itu sampeyan campur untuk menyelamatkan reputasi buruk rasa Ciu. Dalam hal ini terdapat akulturasi budaya yang cukup memikat. Budaya global tercampur dalam budaya lokal. Walaupun hanya representasi, tapi percampuran antara Ciu dan Coca Cola menjadi sangat relevan dan sangat dekat dengan fenomena budaya lokal kita yang mulai terkikis karena tidak mampu membendung derasnya budaya global. Kalau Ciu bisa tercampur dengan Coca Cola, kenapa budaya lokal yang lain tidak bisa bercampur dengan budaya global? Mungkin ini hanya analisa super ngawur saya. Jangan sekali-sekali mengamininya, saya anjurkan untuk menambahkan dan bahkan mengkritisinya.

Kembali ke Ciu lagi. Ciu merupakan alkohol murah yang dipaksa identik dengan kaum marjinal seperti preman dan anak jalanan dan selalu dikaitkan sebagai pemicu dengan kriminalitas. Beberapa riset menyebut ada korelasi antara pengaruh alkohol dengan tingkat kriminalitas yang tinggi, dan riset itu valid dengan kuatnya data-data di lapangan. Tetapi di luar segala stigma negatif yang ditimbulkan, Ciu merupakan sarana perekat dalam menjalin relasi pertemanan di kalangan kaum pemakai sendal jepit. Dengan menenggak Ciu, suasana obrolan menjadi lebih seru, karena orang yang sudah terkena dampak Ciu akan ngomyang. Bicaranya bisa lepas tanpa beban seiring dengan tingkat kesadaran yang menurun. Biasanya, kalo ada peminum Ciu yang sudah ngomyang, maka teman-teman yang berada di kalangan itu akan mengerjainya. Istilah jawanya ditanggap, karena orang itu seolah-olah seperti seorang penyiar radio tanpa konsep yang jelas. Bisa tiba-tiba mempertanyakan konsep Tuhan dan keberadaannya, bisa tiba-tiba mengharu biru dengan urusan cintanya, bisa tiba-tiba sangat optimis dengan hidup yang dijalaninya. Sebenarnya efek mabuk minum Ciu tidak ada bedanya jika kita menenggak minuman beralkohol yang sudah terdaftar ke Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Perbedaan yang signifikan dapat dilihat dalam segi harga. Satu liter Ciu biasanya dibanderol lima ribu rupiah. Seperti ungkapan teman saya yang juga penikmat Ciu : ”Lima Ribu Bikin Gokil!” he..he..he..

Dalam kacamata agama manapun, minuman beralkohol dianggap sebagai sesuatu yang haram. Mulai dari Rhoma Irama sampai FPI menghujat minuman ini. Sebenarnya segala macam bentuk hujatan itu hanya terfokus pada efek negatif minuman beralkohol yang mengganggu kesadaran dan potensial menimbulkan tindakan kriminal yang tidak sesuai dengan konsensus publik yang disebut etika. Dari kacamata medis, minuman beralkohol jelas bukan minuman yang sehat karena bisa mengganggu koordinasi sitem syaraf. Sepertinya koridor budayalah yang mampu memfasilitasi keberadaan Ciu. Masing-masing daerah mempunyai minuman tradisionalnya. Di Jogja kita mengenal Lapen, di Semarang ada Congyang. Karakteristik minuman beralkohol di masing-masing daerah berbeda-beda, baik dari segi rasa, kandungan alkohol, serta dalam event budaya apa minuman itu biasanya hadir.

Ada semacam fenomena budaya di Solo yang menjadikan Ciu sebagai pemicu kemabukan agar bisa lebih menikmati sebuah hiburan rakyat. Sebut saja dangdut. Setiap ada pertunjukan dangdut, baik itu di THR (Taman Hiburan Rakyat ) maupun di event-event yang cakupannya kecil seperti hajatan, bisa dipastikan Ciu hadir di tengah-tengah massa. Selain sebagai pemicu untuk mencapai kondisi mabuk, Ciu hadir sebagai bentuk perlawanan terhadap hegemoni industri hiburan yang tak terbeli yang hadir melalui MTV, I Pod, Mall yang seolah-olah menyeragamkan kesenangan dan selera kita. Kita merasa lebih civilized ketika minum kopi bergambar putri duyung di gerai sebuah Mall. Kita merasa lebih eksis ketika kita mampu mendengarkan lagu favorit kita melalui I pod. Kita merasa lebih trendi dan gaul bila kita pergi jalan-jalan ke Mall daripada ke pasar rakyat seperti di Sekaten. Berhala-berhala industri budaya pop itu memanipulasi kita, mengendalikan kita, dan mengkungkung kita dalam tuntutan-tuntutan untuk memenuhi hasrat konsumeris kita. Bagi kaum marjinal, anak jalanan, preman dan anak-anak muda yang merasa terpinggirkan oleh kehadiran berhala ala Amerika, Ciu + Dangdut + Goyang menjadi pertahanan dan perlawanan terakhir terhadap serbuan budaya global. Orang-orang itu mempunyai jiwa yang bebas dan bisa menjadi diri mereka sendiri. Mereka mempunyai selera dan cita rasa yang khas, terlepas dari penyeragaman cita rasa dan selera yang dilakukan industri hiburan global. Mereka tidak membenci hiburan-hiburan mahal dengan semangat primordial dan gaya perlawanan lokal. Mereka hanya butuh hiburan yang terjangkau di tengah-tengah himpitan kesulitan ekonomi. Mereka tetap eksis dengan pilihannya. Mereka masih ada di tengah-tengah kita.