Friday 12 September 2008

Fenomena Mudik


Dalam waktu dekat ini, penduduk di kota-kota besar akan berbondong-bondong pulang ke kampung halamannya masing-masing untuk menyambut dan merayakan hari raya Idul Fitri. Saat akhir Ramadan alias menjelang Idulfitri masyarakat kita selalu melakukan tradisi mudik Lebaran. Tradisi mudik ini menarik untuk kita cermati. Mudik menjadi identitas dan agenda tahunan yang lekat dengan kita. Lantas mengapa masyarakat tetap rela bersusah-susah diri menjalankan tradisi ini? Fenomena tersebut memperlihatkan betapa kuatnya hubungan batin antara penduduk yang hidup di kota dengan penduduk di desa, walaupun telah ratusan hari atau tahunan berpisah. Budaya mudik Lebaran tetap saja lestari.
Kerinduan akan nilai-nilai lokal, kekhasan, dan sejarah masa lalu yang hanya diperoleh di kampung halaman, yang seolah mengharuskan masyarakat untuk mudik. Segala hambatan dan keluh-kesah selama perjalanan mudik seolah lunas terbayar begitu sampai di kampung halaman dan bertemu orang tua, keluarga dan kerabat dekat. Romantisme yang begitu dirindukan masyarakat yang merantau inilah yang mendasari keinginan untuk mudik.Romantisme terhadap tanah leluhur itu akhirnya menjadi pemaknaan yang artikulatif dalam Sehingga, mudik ke tanah leluhur bisa jadi wajib hukumnya. Tidak heran jika suku-suku perantau itu mempersiapkannya jauh-jauh hari dengan menyisihkan pendapatan untuk biaya mudik. Bahkan, muncul anggapan mereka bekerja setahun penuh hanya demi mengumpulkan uang untuk mudik Lebaran.
Di kampung halaman, biasanya masyarakat rantau yang mudik berbagi cerita kehidupan masing-masing. Menceritakan kisahnya selama dalam perantauan. Agar dicap sukses, mereka menampilkan perubahan
gaya hidup (life style). Persoalannya, jumlah penduduk yang mudik dari tahun ke tahun semakin bertambah.Mereka seolah ingin menunjukkan hasil jerih payah selama bekerja di tanah rantau kepada orang yang masih di kampung. Sehingga, mereka berharap pujian meluncur dari mulut-mulut orang kampung bahwa tak sia-sia mereka merantau meninggalkan orang-orang tercinta.Yang perempuan menunjukkan suaminya yang ganteng. Begitu pun yang laki-laki menunjukkan istrinya yang cantik. Para keluarga rantau menunjukkan anak-anaknya gaul, berpakaian modis, dan berbahasa lu-gue seperti dilihat orang kampung di sinetron televisi.Perubahan gaya hidup ini di-setting sedemikian rupa agar orang kampung mencitrakan mereka sebagai orang yang berhasil.
Fenomena mudik ini ironisnya memperlihatkan ketimpangan dalam pelaksanaan dan hasil pembangunan nasional. Penduduk desa tidak memperoleh fasilitas sekolah atau lapangan pekerjaan hingga akhirnya mereka pergi ke kota-kota besar dengan harapan memperoleh pendidikan atau lapangan pekerjaan baru.Hal ini secara jelas memperlihatkan adanya kegagalan daerah dalam menampung dan memenuhi kebutuhan penduduknya. Kebijakan pembangunan pusat-pusat perekonomian hanya berpusat di kota-kota besar seperti
Jakarta, Surabaya, Bandung. Medan, dan Makassar telah sangat berhasil menyedot penduduk desa pergi ke kota. Mereka rela hidup di kota berbulan-bulan, bahkan bertahun-tahun hanya untuk "berjudi" dengan masa depan hidup mereka sendiri dan keluarga.
Karena itulah, jangan terlalu heran jika wajah para pekerja atau perantau dihiasi dengan kegembiraan ketika momentum mudik Lebaran tiba. Ketika mereka sampai di kampung halamannya, rasa syukur mereka diperlihatkan dengan beragam simbol dan pernak-pernik Lebaran. Mulai dari menu hidangan, pakaian baru, hingga ucapan selamat hari raya. Perayaan yang berlebihan mengakibatkan kaburnya makna substansial Lebaran. Lebaran hanya dimaknai sebatas sebagai ajang suka-suka dan berfoya-foya dengan menampilkan diri semegah mungkin.
Lebaran akan tampak sangat kontras apabila kita lihat dari sudut pandang kalangan elit. Bagi kalangan elite, mudik Lebaran dapat berfungsi ganda, yaitu sebagai ajang bersilaturahim dengan sanak keluarga dan untuk rekreasi setelah lama bekerja. Begitu juga bagi kalangan akar rumput, tetapi dengan beberapa perbedaan tingkat kepuasan. Kalangan elite tidak perlu repot-repot antre dan bersesak-sesakan, sedangkan kalangan grass roots harus sabar menunggu giliran. Menginap di terminal atau di stasiun pun ditempuh untuk bisa mudik. Selamat menikmati ritual tahunan yang sangat seru ini.

Friday 5 September 2008

Mbok ya puasa dulu to pak....


Seseorang yang dituduh korupsi, melakukan penyuapan, masih bisa tampil di sidang dengan dandanan menor, senyum sana-sini, dan dari balik penjara bisa mengatur perkara. Ini karena tidak ada efek jera dari koruptor.Ketika guru menyatakan bahwa korupsi itu haram dan melawan hukum, tetapi apa yang dilihat oleh anak-anak dalam praktik kehidupan sehari-hari? Ya, mereka bisa dengan mudah menyaksikan dengan mata telanjang betapa nikmatnya hidup menjadi koruptor. Hukum menjadi tak berdaya untuk menjerat mereka. Bahkan, mereka bisa bebas melenggang pamer kekayaan di tengah-tengah jutaan rakyat yang menderita dan terlunta-lunta akibat kemiskinan yang menggorok lehernya. Ironisnya, tidak sedikit koruptor yang justru merasa bangga ketika mereka bisa mempermainkan hukum. Jika keadaan mendesak, mereka bisa pasang jurus “sakit pura-pura”. Ketika guru mengajak anak-anak untuk melestarikan dan mencintai lingkungan hidup, apa yang mereka saksikan? Ya, para pembalak dan preman-preman hutan ternyata juga sama saja alias sami mawon.
Hukum seolah-olah telah lumpuh dan tak sanggup menjamah mereka. sebab selama ini para koruptor justru bisa nampang dan senyum-senyum di depan kamera. Hal ini memunculkan image (citra) di depan masyarakat bahwa koruptor itu masih bisa bersenang-senang.Yang membuat prihatin, para koruptor tampil perlente, menor, dan membuat citra koruptor masih bisa tebar-tebar senyum.Semoga saja dengan diberi pakaian khusus, para koruptor akan menjadi malu. Rasa malu ini sangat penting untuk menghilangkan korupsi.Korupsi adalah kasus amat terencana, rapi, dan sistematis dan sering dilakukan oleh orang-orang terpelajar.Sama halnya dengan tikus, koruptor harus diberantas. Ia amat merusak dan membahayakan kehidupan kita berbangsa. Namun, menangkap koruptor amatlah sulit. Terlebih manakala korupsi sudah pula menjadi praktik keseharian aparat peradilan.Mafia peradilanlah yang justru mengatur alur penyelewengan hukum agar para koruptor terlepas dari jerat-jerat keadilan. Mafia peradilanlah, dengan para koruptor, yang akhirnya melahirkan mafia koruptor. Maka, diperlukan inisiatif cerdas dan tegas untuk mendobrak kesolidan mafia koruptor. Inisiatif itu harus disusun terencana, rapi, sistematis, dan pada akhirnya menjebak agar sang tikus koruptor tidak berkutik.
Nilai-nilai luhur hakiki yang disemaikan di sekolah benar-benar harus berhadapan dengan berbagai “penyakit sosial” yang telah berhamburan di tengah-tengah kehidupan masyarakat.Lha terus gimana? Haruskah kita sebagai orang dewasa ikut-ikutan bersikap permisif dan membiarkan anak-anak larut dalam imaji amoral dan anomali sosial seperti yang mereka saksikan di tengah-tengah kehidupan masyarakat? Haruskah gambaran tentang citra koruptor dan pembalak hutan yang hidup bebas dan lolos dari jeratan hukum itu kita biarkan terus berkembang dalam imajinasi anak-anak bangsa negeri ini? Gampangnya kata, haruskah anak-anak kita biarkan bermimpi dan bercita-cita menjadi koruptor dan pembalak hutan?
Dihukum susah, dipermalukan susah, diapakan ya enaknya? Mudah-mudahan di bulan ini muncul kesadaran dan keikhlasan yang mendalam terhadap makna puasa yang akan menjadikan seseorang tidak berani melakukan korupsi. Puasa dapat menjadi awal mula pemberantasan korupsi. Dengan tidak melakukan korupsi selama sebulan, diharapkan menumbuhkan kesadaran agar tak melakukannya di bulan lain.Apakah puasa benar-benar bisa menghilangkan “keberanian” para pejabat untuk melakukan korupsi?Kalau puasa yang mereka laksanakan benar-benar ikhlas, mungkin ada harapan korupsi akan terentaskan. Akan tetapi, kalau mereka berpuasa asal-asalan saja, tidak akan mengubah watak mereka yang sudah terjangkiti “keberanian” untuk melakukan tindak korupsi.