Wednesday, 13 February 2008

Happy Valentine Day


Momentum 14 Februari sebagai hari kasih sayang global tampaknya hanya menjadi komoditas budaya kapitalis semata. Hal ini dapat dilihat ketika Pusat-pusat perbelanjaan didominasi warna pink dan ornamen-ornamen berbentuk hati. Acara televisi mendompleng dengan menayangkan film-film romantis. Radio-radio memutar lagu-lagu romantis yang masuk dalam kategori everlasting. Produk-produk fashion dan gaya hidup mengeluarkan edisi valentine. Untuk apa ini semua? Tentu saja untuk mengejar profit sebesar-besarnya dengan menjadikan orang-orang yang merayakan Valentine sebagai masyarakat pasar. Konsumen media dan jutaan pasangan di dunia yang melihat cinta sebagai hubungan interpersonal merayakannya, meski hanya dengan ucapan verbal “ Selamat Hari Valentine” kepada orang yang dianggapnya penting dan berhak untuk disayangi.

Sayangnya, Valentine Day dijadikan pembungkus manis untuk mengemas kebiasaan yang membuat coklat dan bunga mawar menjadi barang wajib sebagai ungkapan kasih sayang. Semua orang dibawa pada sebuah suasana penuh cinta kasih. Valentine Day hanya berhasil mendefinisikan cinta dalam perspektif interpersonal dua manusia yang berjenis kelamin laki-laki dan perempuan. Cinta diantara dua pribadi ini bersifat eksklusif dan tidak universal. Menurut Erich Fromm seorang psikolog mazhab Frankfurt, cinta seperti ini disebut sebagai cinta erotis. Dalam cinta erotis ini, eksklusifitasnya terletak pada objek yang dicintai. Saya akan menyayangi kekasih saya sepenuh hati, tanpa melihat orang lain sebagai manusia yang berhak mendapatkan perilaku aktif atas nama cinta dari saya. Sering kita jumpai sepasang manusia yang saling mencintai dengan tanpa merasakan cinta kepada orang lain.

Makna substansial di hari Valentine dikaburkan dengan warna pink, bunga mawar dan sekotak coklat. Ikon-ikon itu seolah merepresentasikan cinta. Seperti ungkapan terkenal : katakan dengan bunga. Masalahnya, apakah dengan memberikan bunga kepada orang yang kita anggap penting, sudah merepresentasikan cinta? Sebenarnya mencintai bukanlah sebuah persoalan yang mudah. Hampir tidak ada aktifitas atau usaha yang dimulai dengan bermacam impian dan harapan yang begitu luar biasa namun mengalami kegagalan begitu saja, seperti halnya cinta.

Persoalan penting dalam mencintai adalah memberi. Dalam hal ini bukan soal bahwa dia telah mengorbankan hidupnya demi orang lain melainkan bahwa dia telah memberikan apa yang hidup dalam dirinya, dia memberikan kegembiraannya, kepentingannya, pemahamannya, pengetahuannya, kejenakaannya, kesedihannya dan semua ekspresi serta manifestasi yang ada dalam dirinya. Dengan tindakan tersebut, seseorang telah memperkaya orang lain, meningkatkan perasaan hidupnya sendiri. Cinta adalah kekuatan yang menghasilkan cinta, dan impotensi adalah ketidakmampuan untuk menghasilkan cinta. Pandangan ini dengan sangat indah dikemukakan oleh Karl Marx : “ Anggaplah manusia sebagai manusia dan hubungannya dengan dunia sebagai hubungan yang manusiawi. Kamu hanya dapat menukar cinta dengan cinta, kepercayaan dengan kepercayaan dan sebagainya.”

Tetapi bagaimana perasaan orang-orang yang berada di tengah kecamuk kekerasan seperti di Kenya, Irak, Palestina, dan Uganda? Bagaimana orang-orang yang tengah dilanda konflik dan kekerasan itu mencoba mendefinisikan cinta ? Apakah mereka juga merayakan hari kasih sayang global ini? Setidaknya dengan momen tahunan ini, mereka yang tengah dilanda konflik dan kekerasan mampu menyita perhatian kita walau sebentar. Mereka juga berhak merayakan hari yang penuh dengan cinta kasih dan perdamaian, setiap hari, tidak pada hari ini saja. Selamat merayakan hari kasih sayang!