Hampir tiap hari, tayangan hiburan kelas teri selalu menghiasi pertelevisian kita. Pagi-pagi, setelah kita menyaksikan siaran berita untuk mengetahui kejadian terkini di ranah regional,nasional dan global, lha kok tanpa jeda (kecuali iklan) langsung disambut dengan infotainment, yang selalu up to date dengan info-info seputar kehidupan selebritis di negara ini. Panggung hiburan memang tak pernah sepi. Tiap hari, tayangan ini selalu muncul dengan kemasan yang glamour sekaligus merakyat, mencoba menyapa pemirsa televisi Indonesia. Mulai dari percekcokan rumah tangga Ahmad Dhani, Roy Marten yang kembali ditanggap gara-gara narkoba, hingga masalah sepele, seperti koleksi parfum mas Marcell Chandrawinata. Urusan sekecil itu,dalam bisnis hiburan merupakan ‘berita’ yang berdaya jual. Kadang saya merasa sangat dibodohkan dengan mau mencermati urusan bau ketek mas Marcell yang coba diatasi dengan koleksi parfumnya itu..
Tanpa henti para produser acara-acara seperti ini terus mengembangkan inovasinya dalam hal keakuratan pemberitaan. Mereka mencoba menampilkan berita-berita paling handal untuk dijadikan referensi untuk nggosip. Padahal, pada kenyataannya untuk mendapatkan materi liputan tidaklah terlalu sulit. Cerita dan drama mengenai manusia tidak akan ada habis-habisnya. Sudah seperti melekat pada kebanyakan manusia, bahwa mereka suka gosip. Sementara kehidupan sehari-hari masyarakat kontemporer ini, yang dibentuk oleh konstruksi citra, image, perburuan pada hal-hal sepele, telah melahirkan drama kehidupan yang tak kalah seru dibanding sinetron-sinetron yang dibintangi oleh para artis itu sendiri.
Korban terbesar adalah ibu-ibu rumahtangga yang tercekam perhatiannya, sambil mereka menyeterika atau memasak di dapur atau momong bayi atau ngemil di kasur, menikmati gosip selingkuh di kalangan artis, kawin-cerai mereka, bertengkar dengan keluarga, lha wong bangun tidur pun seorang artis jadi berita. Serbuan tampilan visual ini bersinergi dengan ke-emoh-an masyarakat untuk berpikir kritis. Media yang seharusnya mempunyai fungsi sebagai sarana civic education menjadi lenyap, ketika logika rating mengambil alih semuanya.
Angka -angka kuantitatif yang dihasilkan people meter tampaknya menjadi tolok ukur yang disucikan dan menjadi acuan bisnis televisi. Apabila rating tinggi, maka secara otomatis pengiklan akan berbondong-bondong memasang iklannya pada acara yang dibilang prime time itu. Sepertinya, cukong-cukong bisnis TV ini punya pemikiran : Gak usah susah-susah bikin acara berkualitas apalagi berbiaya mahal, bikin yang kelas teri aja ratingnya bisa tinggi, ngapain repot ? Dengan begitu kantong uang terisi dan kekayaan terakumulasi. Kualitas acara hanya dirangkum dengan angka-angka, yang keakuratannya tidak jelas,karena selama ini perusahaan media research yang ternama cuma itu saja dan tanpa audit dari lembaga publik independent. Prinsip kerjanya ya tau sama taulah. Kalo misalnya minggu ini sebuah acara di stasiun TV A mendapat rating tinggi, maka minggu berikutnya yang kebagian jatah rating tinggi adalah acara di stasiun TV B. Jadi kesannya kayak trofi bergilir…kayak gini kok ya dijadikan acuan…how come?
Kenyamanan dan kursi hiburan yang digelontorkan oleh media massa seakan - akan membuat orang modern menjadi malas. Kegairahan berpikir manusia modern jadi mandul, karena otak telah terstimulasi oleh sajian-sajian rekreatif seperti musik,film,fashion,tempat hiburan dan kecanggihan teknologi yang terus meninabobokan. Seandainya tidak ada biro-biro iklan yang dengan cekatan mampu membidik orang-orang dengan energi kreatif pada kisaran usia antara 15-30 tahun, pasti akan lain ceritanya. Pasti orang-orang muda ini mampu menciptakan gerakan tandingan anti-konsumerisme seperti The Space Hijackers di Inggris sana (penasaran khan, coba sampeyan browse sendiri..he.he) Coba sampeyan bayangkan saja, mulai dari bangun tidur sampai mau tidur lagi, ada puluhan jenis produk hiburan yang bisa kita temukan dalam kotak televisi, area hotspot yang menjadikan koneksi internet menjadi gratis,belum di kotak pemutar musik I-Pod, fasilitas Handphone 3.5G dan artefak-artefak lain yang so called gadget mutakhir. Tanpa kita sadari, kita telah masuk dalam sebuah ranah yang saya sebut Disneyland In My Gadget.he.he.
Dengan alat-alat inilah para manusia posmodern mampu menciptakan private space senyaman ruang pribadi di rumah dalam mengakses hiburan. Tampaknya para produsen alat-alat canggih ini telah menyewa seorang futurolog yang mampu memprediksikan kebutuhan akan hiburan manusia-manusia canggih ini. Orang yang tak suka dengan tantangan intelektual yang serius, atau malas memikirkan gagasan-gagasan yang tak biasa, atau sudah merasa nyaman dengan apa yang ada, menjadi sasaran empuk para produsen-produsen hiburan. Tak bisa dipungkiri, saya terdaftar dalam rombongan orang-orang itu. Bagaimana dengan sampeyan?he.he.he.
Dunia hiburan seolah-olah mempunyai kekuasaan simbolik. Kekuasaan simbolik inilah yang kemudian muncul dalam ikon-ikon seperti I-Pod, MTV, Mc Donald, Hollywood, YouTube, Sinetron, Infotainment dan produk-produk hiburan lain. Menurut Pierre Bourdieu, kekuasaan simbolik adalah kekuasaan yang dapat dikenali dari tujuannya memperoleh pengakuan. Artinya,sebuah kekuasaan yang memiliki kemampuan untuk tidak dapat dikenali bentuk aslinya, kekerasannya dan kesewenang-wenangannya. Untuk mempertahankan dominasinya, kekuasaan simbolik sering menggunakan bentuk-bentuk lain yang lebih halus agar tidak dikenali,inilah yang membuat kelompok yang terdominasi sering merasa tidak keberatan untuk masuk ke dalam sebuah lingkaran dominasi. Dari pembahasan diatas dapat dilihat bahwa beberapa masalah yang mengikis kekritisan berpikir masyarakat adalah represi pemikiran yang menyebabkan hegemoni pelaku bisnis dan negara terhadap warga masyarakat. Kesadaran kritis masyarakat harus diciptakan agar dapat meproduksi sebuah pemikiran ”dua arah” terhadap sebuah informasi yang bersifat doktrinal sampai hegemonis.
Image - image yang bertebaran dalam dunia hiburan itu seolah-olah menjawab keinginan kita akan sebuah dunia tanpa keluhan. Image itu tampil berwarna-warni, membuat mata sejuk, hati senang dan perut kenyang. Sayangnya, secara tak sadar kita terjebak dan bahkan kecanduan untuk menghibur diri kita terus menerus. Apabila kita sudah sampai pada tahap dimana kita rela meluangkan waktu untuk berlama-lama di depan layar TV, menikmati masakan-masakan dengan logo yang sudah mengglobal, pergi berbelanja sampai kaki pegal dan tagihan kartu kredit membengkak, memanjakan diri pergi ke spa dan salon kecantikan atas nama gaya hidup metroseksual dan trendy, maka secara tidak langsung kita dikuasai oleh penguasa baru bernama “imperium kebudayaan pop”. Bentuknya ya hiburan-hiburan yang sangat akrab dengan keseharian kita. Ah, ngapain berpikir kritis, sudah ada yang mau memikirkan masalah-masalah pelik di negeri ini…mending nonton Infotainment yang isinya parodi-parodi konyol manusia pada jaman serba cepat dan borderless ini…sepertinya magnum opus-nya Neil Postman, tepat bila saya jadikan judul tulisan ini : Amusing Ourself To Death.
Tanpa henti para produser acara-acara seperti ini terus mengembangkan inovasinya dalam hal keakuratan pemberitaan. Mereka mencoba menampilkan berita-berita paling handal untuk dijadikan referensi untuk nggosip. Padahal, pada kenyataannya untuk mendapatkan materi liputan tidaklah terlalu sulit. Cerita dan drama mengenai manusia tidak akan ada habis-habisnya. Sudah seperti melekat pada kebanyakan manusia, bahwa mereka suka gosip. Sementara kehidupan sehari-hari masyarakat kontemporer ini, yang dibentuk oleh konstruksi citra, image, perburuan pada hal-hal sepele, telah melahirkan drama kehidupan yang tak kalah seru dibanding sinetron-sinetron yang dibintangi oleh para artis itu sendiri.
Korban terbesar adalah ibu-ibu rumahtangga yang tercekam perhatiannya, sambil mereka menyeterika atau memasak di dapur atau momong bayi atau ngemil di kasur, menikmati gosip selingkuh di kalangan artis, kawin-cerai mereka, bertengkar dengan keluarga, lha wong bangun tidur pun seorang artis jadi berita. Serbuan tampilan visual ini bersinergi dengan ke-emoh-an masyarakat untuk berpikir kritis. Media yang seharusnya mempunyai fungsi sebagai sarana civic education menjadi lenyap, ketika logika rating mengambil alih semuanya.
Angka -angka kuantitatif yang dihasilkan people meter tampaknya menjadi tolok ukur yang disucikan dan menjadi acuan bisnis televisi. Apabila rating tinggi, maka secara otomatis pengiklan akan berbondong-bondong memasang iklannya pada acara yang dibilang prime time itu. Sepertinya, cukong-cukong bisnis TV ini punya pemikiran : Gak usah susah-susah bikin acara berkualitas apalagi berbiaya mahal, bikin yang kelas teri aja ratingnya bisa tinggi, ngapain repot ? Dengan begitu kantong uang terisi dan kekayaan terakumulasi. Kualitas acara hanya dirangkum dengan angka-angka, yang keakuratannya tidak jelas,karena selama ini perusahaan media research yang ternama cuma itu saja dan tanpa audit dari lembaga publik independent. Prinsip kerjanya ya tau sama taulah. Kalo misalnya minggu ini sebuah acara di stasiun TV A mendapat rating tinggi, maka minggu berikutnya yang kebagian jatah rating tinggi adalah acara di stasiun TV B. Jadi kesannya kayak trofi bergilir…kayak gini kok ya dijadikan acuan…how come?
Kenyamanan dan kursi hiburan yang digelontorkan oleh media massa seakan - akan membuat orang modern menjadi malas. Kegairahan berpikir manusia modern jadi mandul, karena otak telah terstimulasi oleh sajian-sajian rekreatif seperti musik,film,fashion,tempat hiburan dan kecanggihan teknologi yang terus meninabobokan. Seandainya tidak ada biro-biro iklan yang dengan cekatan mampu membidik orang-orang dengan energi kreatif pada kisaran usia antara 15-30 tahun, pasti akan lain ceritanya. Pasti orang-orang muda ini mampu menciptakan gerakan tandingan anti-konsumerisme seperti The Space Hijackers di Inggris sana (penasaran khan, coba sampeyan browse sendiri..he.he) Coba sampeyan bayangkan saja, mulai dari bangun tidur sampai mau tidur lagi, ada puluhan jenis produk hiburan yang bisa kita temukan dalam kotak televisi, area hotspot yang menjadikan koneksi internet menjadi gratis,belum di kotak pemutar musik I-Pod, fasilitas Handphone 3.5G dan artefak-artefak lain yang so called gadget mutakhir. Tanpa kita sadari, kita telah masuk dalam sebuah ranah yang saya sebut Disneyland In My Gadget.he.he.
Dengan alat-alat inilah para manusia posmodern mampu menciptakan private space senyaman ruang pribadi di rumah dalam mengakses hiburan. Tampaknya para produsen alat-alat canggih ini telah menyewa seorang futurolog yang mampu memprediksikan kebutuhan akan hiburan manusia-manusia canggih ini. Orang yang tak suka dengan tantangan intelektual yang serius, atau malas memikirkan gagasan-gagasan yang tak biasa, atau sudah merasa nyaman dengan apa yang ada, menjadi sasaran empuk para produsen-produsen hiburan. Tak bisa dipungkiri, saya terdaftar dalam rombongan orang-orang itu. Bagaimana dengan sampeyan?he.he.he.
Dunia hiburan seolah-olah mempunyai kekuasaan simbolik. Kekuasaan simbolik inilah yang kemudian muncul dalam ikon-ikon seperti I-Pod, MTV, Mc Donald, Hollywood, YouTube, Sinetron, Infotainment dan produk-produk hiburan lain. Menurut Pierre Bourdieu, kekuasaan simbolik adalah kekuasaan yang dapat dikenali dari tujuannya memperoleh pengakuan. Artinya,sebuah kekuasaan yang memiliki kemampuan untuk tidak dapat dikenali bentuk aslinya, kekerasannya dan kesewenang-wenangannya. Untuk mempertahankan dominasinya, kekuasaan simbolik sering menggunakan bentuk-bentuk lain yang lebih halus agar tidak dikenali,inilah yang membuat kelompok yang terdominasi sering merasa tidak keberatan untuk masuk ke dalam sebuah lingkaran dominasi. Dari pembahasan diatas dapat dilihat bahwa beberapa masalah yang mengikis kekritisan berpikir masyarakat adalah represi pemikiran yang menyebabkan hegemoni pelaku bisnis dan negara terhadap warga masyarakat. Kesadaran kritis masyarakat harus diciptakan agar dapat meproduksi sebuah pemikiran ”dua arah” terhadap sebuah informasi yang bersifat doktrinal sampai hegemonis.
Image - image yang bertebaran dalam dunia hiburan itu seolah-olah menjawab keinginan kita akan sebuah dunia tanpa keluhan. Image itu tampil berwarna-warni, membuat mata sejuk, hati senang dan perut kenyang. Sayangnya, secara tak sadar kita terjebak dan bahkan kecanduan untuk menghibur diri kita terus menerus. Apabila kita sudah sampai pada tahap dimana kita rela meluangkan waktu untuk berlama-lama di depan layar TV, menikmati masakan-masakan dengan logo yang sudah mengglobal, pergi berbelanja sampai kaki pegal dan tagihan kartu kredit membengkak, memanjakan diri pergi ke spa dan salon kecantikan atas nama gaya hidup metroseksual dan trendy, maka secara tidak langsung kita dikuasai oleh penguasa baru bernama “imperium kebudayaan pop”. Bentuknya ya hiburan-hiburan yang sangat akrab dengan keseharian kita. Ah, ngapain berpikir kritis, sudah ada yang mau memikirkan masalah-masalah pelik di negeri ini…mending nonton Infotainment yang isinya parodi-parodi konyol manusia pada jaman serba cepat dan borderless ini…sepertinya magnum opus-nya Neil Postman, tepat bila saya jadikan judul tulisan ini : Amusing Ourself To Death.