Tuesday 31 July 2007

THE BURNING LEGIONS FROM VIETNAM

Sampeyan pasti sudah tidak asing lagi dengan band kontroversial yang cover albumnya tervisualkan di atas. Yup. Gambar di atas adalah cover album pertama Rage Against The Machine yang juga bertitel Rage Against The Machine. Sampeyan pasti juga sudah tahu melalui artikel2 di zine yang menyebutkan bahwa RATM adalah band yang penuh kontroversi karena movement – movement yang diperjuangkannya, mulai dari Mumia Abu-Jamal sampai Zapatista. Bahkan Sub Commandante Marcos pemimpin EZLN, sering diidentikkan dengan sang vokalis Zach De La Rocha. Kalo sampeyan ingat, di Lollapalooza pun, mereka juga membuat sensasi dengan berdiri telanjang di atas panggung dengan menuliskan huruf PMRC di dada empat personel RATM. Aksi ini ditujukan kepada badan sensor milik pemerintah Amerika yang membatasi ekspresi musisi karena liriknya dianggap eksplisit. Kalau mendengarkan RATM, sampeyan pasti langsung teringat dengan sosok Che Guevara yang dengan perkasa mengangkat senjata melawan rezim Batista. Mengapa harus Che ? Itu pertanyaan yang selalu muncul dalam pikiran saya ketika melihat banyak anak muda demam Che mulai dari kaos, stiker, poster, pin, dan buku – buku yang diterbitkan semuanya tentang Che. Saya yakin, demam ini tak luput dari pengaruh media massa Amerika yang mengubah esensi perjuangannya menjadi salah satu ikon budaya pop.

Selain tentang Che saya juga mempunyai pertanyaan menyelidik, siapa yang menjadi model dalam artwork itu ? Apakah foto seorang Bhiksu yang terbakar itu direkayasa ? Saya melihat ada pesan yang ingin disampaikan oleh Bhisu itu untuk membakar dirinya. Kalau sampeyan kenal Mahatma Gandhi , pasti anda juga kenal dengan salah satu ajarannya yang disebut Ahimsa. Ahimsa berasal dari bahasa sankrit yang berarti tanpa kekerasan. Hakekat dari perjuangan tanpa kekerasan adalah cinta. Dengan adanya cinta dan kerelaan berkorban, maka ego dan daya hancur yang dimiliki manusia bisa diredam. Tindakan tanpa kekerasan di antara konflik yang brutal memang terkesan absurd dan klise karena pada dasarnya manusia akan mempertahankan diri, bahkan dengan kekerasan jika mengalami tindakan yang mengancam hidupnya. Perjuangan tanpa kekerasan mendapatkan momentumnya ketika terjadi perang Vietnam yang terjadi pada tahun 1960 – 1970. Perang Vietnam adalah perang ideologi antara komunis dan anti komunis.Vietnam Utara berjuang untuk ideologi komunis dan Vietnam Selatan berjuang untuk ideologi kapitalis. Selama perang tersebut, banyak rakyat Vietnam yang sebagian besar petani dan anak – anak hehilangan nyawanya. Sebagai bentuk protes terhadap perang yang menghilangkan nilai – nilai kemanusiaan itu, muncul banyak aksi yang berdasarkan cinta. Kelihatan absurd dan klise, tapi aksi – aksi ini benar – benar terjadi.

Banyak aksi yang muncul secara spontan. Salah satunya adalah kejadian pada tahun 1963 di Phan Dhic Phung yang merupakan aksi seorang Bhiksu yang duduk dengan tenang dalam posisi teratai, lalu melumuri badannya dengan bensin lalu membakar diri. Bhiksu itu bernama Thic Quang Duc. Dengan membakar dirunya sendiri, ia berhasil menyadarkan dunia akan penderitaan perang yang dialami rakyat Vietnam. Dengan kerelaan diri untuk menghadapi penderitaan ekstrem, Bhiksu itu menyulut api ke dalam hati setiap orang dan berusaha membuat orang lain sadar akan penderitaan perang. Anehnya, aksi bakar diri ini mendapat simpati bagi orang lain. Thic Quang Duc bukan satu – satunya bhiksu yang membakar dirinya untuk menyampaikan pesan kepada dunia. Membakar diri memang bukanlah cara atau strategi untuk bertindak. Bila orang ingin membakar dirinya, setiap pemimpin Budhis mencegahnya. Tetapi banyak bhiksu, bhiksuni dan orang awam terinspirasi oleh aksi bakar diri untuk menyebarkan pesan perdamaian.

Saya dan sampeyan mungkin sulit memahami aksi bakar diri ini. Media massa di barat menyebut aksi ini sebagai aksi bunuh diri, tapi itu bukan sebuah bunuh diri, bahkan sebuah protes. Ini bukan aksi politis. Ini aksi cinta untuk mencintai kehidupan. Apa yang ditulis oleh para bhiksu ini dalam surat yang mereka tinggalkan sebelum menyulut dirinya dengan api, merupakan aksi untuk menggerakkan hati para penindas dan meminta perhatian dunia akan penderitaan rakyat vietnam. Bhiksu, bhiksuni dan orang awam yang membakar diri ini berusaha untuk menyampaikan pesan bahwa dengan penderitaan yang berat, mereka mau menanggung penderitaan rakyat Vietnam. Tapi mengapa mereka harus membakar diri ? Dalam Budhisme, penghancuran diri ini merupakan pelanggran yang berat. Tapi orang – orang ini membakar dirinya bukan untuk lari dan menghindar dari penderitaan hidup dalam situasi perang. Orang – orang ini mengharapkan dengan tabah suatu perubahan di masa yang akan datang. Mereka membakar diri untuk mencari pertolongan masyarakat dunia. Saya amat yakin, bahwa mereka membakar diri bukan untuk menumbangkan para penindas , tetapi hanya mendorong para penindas itu untuk mengubah kebijakan politiknya. Musuh mereka bukan manusia, tetapi kebencian, keserakahan, dendam, penindasan dan sifat – sifat destruktif lainnya yang ada dalam diri orang lain. Amitaba, Budha Bless U.

No comments: