Dalam waktu dekat ini, penduduk di kota-kota besar akan berbondong-bondong pulang ke kampung halamannya masing-masing untuk menyambut dan merayakan hari raya Idul Fitri. Saat akhir Ramadan alias menjelang Idulfitri masyarakat kita selalu melakukan tradisi mudik Lebaran. Tradisi mudik ini menarik untuk kita cermati. Mudik menjadi identitas dan agenda tahunan yang lekat dengan kita. Lantas mengapa masyarakat tetap rela bersusah-susah diri menjalankan tradisi ini? Fenomena tersebut memperlihatkan betapa kuatnya hubungan batin antara penduduk yang hidup di
Kerinduan akan nilai-nilai lokal, kekhasan, dan sejarah masa lalu yang hanya diperoleh di kampung halaman, yang seolah mengharuskan masyarakat untuk mudik. Segala hambatan dan keluh-kesah selama perjalanan mudik seolah lunas terbayar begitu sampai di kampung halaman dan bertemu orang tua, keluarga dan kerabat dekat. Romantisme yang begitu dirindukan masyarakat yang merantau inilah yang mendasari keinginan untuk mudik.Romantisme terhadap tanah leluhur itu akhirnya menjadi pemaknaan yang artikulatif dalam Sehingga, mudik ke tanah leluhur bisa jadi wajib hukumnya. Tidak heran jika suku-suku perantau itu mempersiapkannya jauh-jauh hari dengan menyisihkan pendapatan untuk biaya mudik. Bahkan, muncul anggapan mereka bekerja setahun penuh hanya demi mengumpulkan uang untuk mudik Lebaran.
Di kampung halaman, biasanya masyarakat rantau yang mudik berbagi cerita kehidupan masing-masing. Menceritakan kisahnya selama dalam perantauan. Agar dicap sukses, mereka menampilkan perubahan
Fenomena mudik ini ironisnya memperlihatkan ketimpangan dalam pelaksanaan dan hasil pembangunan nasional. Penduduk desa tidak memperoleh fasilitas sekolah atau lapangan pekerjaan hingga akhirnya mereka pergi ke kota-kota besar dengan harapan memperoleh pendidikan atau lapangan pekerjaan baru.Hal ini secara jelas memperlihatkan adanya kegagalan daerah dalam menampung dan memenuhi kebutuhan penduduknya. Kebijakan pembangunan pusat-pusat perekonomian hanya berpusat di kota-kota besar seperti
Karena itulah, jangan terlalu heran jika wajah para pekerja atau perantau dihiasi dengan kegembiraan ketika momentum mudik Lebaran tiba. Ketika mereka sampai di kampung halamannya, rasa syukur mereka diperlihatkan dengan beragam simbol dan pernak-pernik Lebaran. Mulai dari menu hidangan, pakaian baru, hingga ucapan selamat hari raya. Perayaan yang berlebihan mengakibatkan kaburnya makna substansial Lebaran. Lebaran hanya dimaknai sebatas sebagai ajang suka-suka dan berfoya-foya dengan menampilkan diri semegah mungkin.
Lebaran akan tampak sangat kontras apabila kita lihat dari sudut pandang kalangan elit. Bagi kalangan elite, mudik Lebaran dapat berfungsi ganda, yaitu sebagai ajang bersilaturahim dengan sanak keluarga dan untuk rekreasi setelah lama bekerja. Begitu juga bagi kalangan akar rumput, tetapi dengan beberapa perbedaan tingkat kepuasan. Kalangan elite tidak perlu repot-repot antre dan bersesak-sesakan, sedangkan kalangan grass roots harus sabar menunggu giliran. Menginap di terminal atau di stasiun pun ditempuh untuk bisa mudik. Selamat menikmati ritual tahunan yang sangat seru ini.
Friday, 12 September 2008
Fenomena Mudik
Posted by suarahimsa at 06:55
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
1 comment:
Aku baru kali ini merasakan yg namanya mudik lebaran..Memang rasanya ada yg kurang kok kalo merayakan lebaran tanpa keluarga.Dan lg lebaran jg bisa dijadikan media silaturahmi dg keluarga yg jauh tempat tinggalnya.
Post a Comment