Tuesday, 31 July 2007




Sampeyan mungkin sudah berkali – kali mendengar kata terorisme. Saya sendiripun juga masih kesulitan meraba – raba ideologi ini karena terlalu banyak versi dan mengklaim paling benar diantara yang lain. Saya rasa, kita terlalu banyak disibukkan, diributkan, dan dibikin habis waktu oleh urusan ideologi. Sudah saatnya kita betul-betul bekerja, melek mata dan melihat apa yang kita butuhkan untuk kemajuan umat manusia di bumi persada ini. Jejak terorisme telah jauh dari sekadar tindakan kriminal. Bisa disebut sebagai Extra Ordinary Crime. Jika kejahatan selama ini kemunculannya dipicu oleh modus tertentu dan merupakan kasus per kasus yang berdiri sendiri, paling luas dalam bentuk pembunuhan massal karena politik, perang suku, pembunuhan berantai atau mafia, terorisme makin tidak jelas alasannya. Tak heran terorisme diyakini sebagai bangkitnya unreasonable man-woman. Tidak ada lagi tujuan semata-mata hanya membunuh warga Barat seperti dalam kasus WTC 11 September 2001 silam, tetapi warga Indonesia-pun bisa menjadi korban seperti dalam kasus Bali Blast .Herannya yang melakukan saudara sekulit sawo matang. Sekarang, kita bisa mengatakan, “Bagaimana bisa melawan Amerika dengan cara membunuh orang di Bali?” Di sinilah kita tampaknya perlu belajar dari Jepang yang bisa mengungguli Amerika tanpa mengeluarkan sepucuk pistol pun. Lihat juga ekonomi Cina saat ini. Bahkan, lihat pulalah Vietnam yang mulai menguat.Pelaku atau otak di balik aksi-aksi destruktif tersebut selalu mencari pembenaran agama atas tindak amanusiawi mereka. Pertanyannya: benarkah agama menyediakan landasan teologis untuk menjustifikasi aksi-aksi teroristik itu?
Bagi teroris, diyakini segala tindakan untuk pembaruan diyakini berasal dari Tuhan, meski kita juga bisa mengatakan mereka terobsesi dengan “tuhan-tuhan“ yang diciptakan sendiri, yang dengan demikian mudah untuk membuat surga yang baru pula. Pilar penopang peradaban baru ala terorisme yang pertama ialah keyakinan bahwa mereka di jalan Tuhan, yang sebetulnya dari kacamata nilai-nilai agama yang luhur mereka mengidap kelainan iman. Karena lingkupnya keyakinan, terorisme sangat mudah membonceng agama yang juga bertumpu pada soal keyakinan. Tidak ada alasan lain untuk meledakkan sesuatu kecuali pola pikir yang ekstrem. akibat pola pikir yang ekstrem ini, maka cara mengkomunikasikan seseatupun harus dengan cara yang ekstrem, dan itu sangat efektif. Dengan aksi-aksi seperti itu, orang yang tadinya nobody menjadi somebody dan merasa dirinya sangat penting.Di Aljazair misalnya. Gerakan politik di sana seringkali menggunakan sejumlah aksi kekerasan, di antaranya bom bunuh diri demi memenangkan pemilu.
Di Palestina, kelompok-kelompok seperti Hamas juga menggunakan kekerasan bahkan aksi kemartiran sebagai bagian dari strategi perjuangannya. Jadi sesungguhnya ini fenomena politik. Bagaimana dengan bom bunuh diri altruistis, atau yang dianggap sebagai pengorbanan untuk orang banyak? Aksi bunuh diri yang bisa dibenarkan itu hanya pernah saya lihat dalam sebuah film yang dibintangi Bruce Willis, Armageddon. Di situ dihayalkan bahwa ada benda luar angkasa yang harus diledakkan di atas langit, karena kalau tidak, bumi akan hancur. Tentu ini hanya hayalan. Setelah diundi, Bruce Willis terpilih sebagai orang yang harus meledakkan. Dia mati, dunia selamat, dan manfaatnya nyata bagi semua orang. Nah, kalau ada kasus seperti itu, saya kira boleh saja.

LOST IN AMERICA

Lost in America : Kok Bisa Ya ? Waktu mau nulis, saya tidak ada ide, lalu iseng menyalakan PC dan menjalankan program Winamp selanjutnya membuka file – file MP3 yang sangat jarang saya putar. Secara tak sengaja, saya menemukan folder Mr. Big. Sekarang saya sedang mendengarkan Lost In America- nya Mr. Big. Saya tertarik dengan judul lagu ini. Apa yang membuat Mr. Big sampai hilang di negara yang teknologi informasinya super canggih ? Pada tahun 1969 , Neil Armstrong saja sudah berhasil menapakkan kaki di bulan sesaat setelah lepas landas dari Cape Canaveral, Florida. Di Amrik, sistem penunjuk jalan sudah menggunakan Global Positioning System yang bisa diakses dari monitor flat di dashbaord mobil sembari menyetir, papan – papan penunjuk jalan terpampang dengan sangat jelas, sampi ada rutenya segala seperti route 66 yang terkenal itu. Come on..., tentu bukan makna ” hilang ” secara eksplisit, tetapi makna hilang secara implisit. ” Hilang ” di sini akan sangat relevan jika kita sangkutkan dengan globalisasi.

Globalisasi adalah hilangnya konsep ruang dan waktu, hilangnya batas – batas geografis suatu negara. Orang bisa mengetahui apapun dengan menonton TV secara live pada saat sebuah peristiwa terjadi dan secara serempak bisa disaksikan di berbagai belahan dunia. Beberapa menit setelah peristiwa robohnya twin towers, simbol kapitalisme Amerika pada 11 September 2001 silam, seluruh TV di dunia menayangkan adegan penabrakan gedung WTC oleh pilot kamikaze superkeren itu. Pemirsa TV di belahan dunia manapun diajak berempati, berbelasungkawa, dan secara bersama – sama menyatakan perang global melawan terorisme. Globalisasi menjadi sesuatu yang hip, semenjak Ferdinand Magelland berkeliling dunia pada awal abad ke – 16. Dewasa ini, banyak ilmuwan sosial yang melakukan studi pada ranah ekonomi, politik, budaya dan teknologi terkait dengan globalisasi. Di samping itu, kaum posmodernisme melalui interpretasi tentang globalisasi lebih memfokuskan tentang kemunculan budaya popular tentang konsumsi dan gaya hidup. Lalu apa yang membuat mas – mas yang tergabung dalam kelompok musik Mr. Big itu hilang ? Sama sekali saya tidak menginterpretasikan makna hilang di sini menurut liriknya. Saya hanya mau menginterpretasikan judulnya saja, Lost in America. Menurut saya, yang hilang adalah identitas kita.

Dalam globalisasi tidak ada konsep ini dunia kamu, ini dunia saya, yang ada hanya ini dunia kita. Maka siapapun bisa hilang di Amerika, karena ada banyak Amerika - - Amerika lain di luar sana. Peristiwa ini dialami oleh Max Parelman, seorang mahasiswa Amerika, ketika ia bepergian melalui daerah – daerah terpencil di Cina pada tahun 1997. Ketika cuaca bersalju menghempaskannya di Sichuan Barat, 15 ribu mil dari Beijing, ia bertemu serombongan orang Tibet yang hendak menuju ke ibu kota Tibet, Lasha. Orang – orang Tibet itu, kata Perelman, tidak pernah bepergian jauh dari desa asalnya. Bahkan sangat terheran – heran dengan kamera yang dibawanya. Ketika rombongan itu istirahat dan makan bersama, tiba – tiba salah satu dari rombongan itu bertanya pada Parelman, Bagaimana kabar Michael Jordan ? Akhirnya saya pun bingung, ini Amerika yang mana sih ? Dunia kita adalah sebuah dunia yang juga merupakan keseluruhan dunia..


THE BURNING LEGIONS FROM VIETNAM

Sampeyan pasti sudah tidak asing lagi dengan band kontroversial yang cover albumnya tervisualkan di atas. Yup. Gambar di atas adalah cover album pertama Rage Against The Machine yang juga bertitel Rage Against The Machine. Sampeyan pasti juga sudah tahu melalui artikel2 di zine yang menyebutkan bahwa RATM adalah band yang penuh kontroversi karena movement – movement yang diperjuangkannya, mulai dari Mumia Abu-Jamal sampai Zapatista. Bahkan Sub Commandante Marcos pemimpin EZLN, sering diidentikkan dengan sang vokalis Zach De La Rocha. Kalo sampeyan ingat, di Lollapalooza pun, mereka juga membuat sensasi dengan berdiri telanjang di atas panggung dengan menuliskan huruf PMRC di dada empat personel RATM. Aksi ini ditujukan kepada badan sensor milik pemerintah Amerika yang membatasi ekspresi musisi karena liriknya dianggap eksplisit. Kalau mendengarkan RATM, sampeyan pasti langsung teringat dengan sosok Che Guevara yang dengan perkasa mengangkat senjata melawan rezim Batista. Mengapa harus Che ? Itu pertanyaan yang selalu muncul dalam pikiran saya ketika melihat banyak anak muda demam Che mulai dari kaos, stiker, poster, pin, dan buku – buku yang diterbitkan semuanya tentang Che. Saya yakin, demam ini tak luput dari pengaruh media massa Amerika yang mengubah esensi perjuangannya menjadi salah satu ikon budaya pop.

Selain tentang Che saya juga mempunyai pertanyaan menyelidik, siapa yang menjadi model dalam artwork itu ? Apakah foto seorang Bhiksu yang terbakar itu direkayasa ? Saya melihat ada pesan yang ingin disampaikan oleh Bhisu itu untuk membakar dirinya. Kalau sampeyan kenal Mahatma Gandhi , pasti anda juga kenal dengan salah satu ajarannya yang disebut Ahimsa. Ahimsa berasal dari bahasa sankrit yang berarti tanpa kekerasan. Hakekat dari perjuangan tanpa kekerasan adalah cinta. Dengan adanya cinta dan kerelaan berkorban, maka ego dan daya hancur yang dimiliki manusia bisa diredam. Tindakan tanpa kekerasan di antara konflik yang brutal memang terkesan absurd dan klise karena pada dasarnya manusia akan mempertahankan diri, bahkan dengan kekerasan jika mengalami tindakan yang mengancam hidupnya. Perjuangan tanpa kekerasan mendapatkan momentumnya ketika terjadi perang Vietnam yang terjadi pada tahun 1960 – 1970. Perang Vietnam adalah perang ideologi antara komunis dan anti komunis.Vietnam Utara berjuang untuk ideologi komunis dan Vietnam Selatan berjuang untuk ideologi kapitalis. Selama perang tersebut, banyak rakyat Vietnam yang sebagian besar petani dan anak – anak hehilangan nyawanya. Sebagai bentuk protes terhadap perang yang menghilangkan nilai – nilai kemanusiaan itu, muncul banyak aksi yang berdasarkan cinta. Kelihatan absurd dan klise, tapi aksi – aksi ini benar – benar terjadi.

Banyak aksi yang muncul secara spontan. Salah satunya adalah kejadian pada tahun 1963 di Phan Dhic Phung yang merupakan aksi seorang Bhiksu yang duduk dengan tenang dalam posisi teratai, lalu melumuri badannya dengan bensin lalu membakar diri. Bhiksu itu bernama Thic Quang Duc. Dengan membakar dirunya sendiri, ia berhasil menyadarkan dunia akan penderitaan perang yang dialami rakyat Vietnam. Dengan kerelaan diri untuk menghadapi penderitaan ekstrem, Bhiksu itu menyulut api ke dalam hati setiap orang dan berusaha membuat orang lain sadar akan penderitaan perang. Anehnya, aksi bakar diri ini mendapat simpati bagi orang lain. Thic Quang Duc bukan satu – satunya bhiksu yang membakar dirinya untuk menyampaikan pesan kepada dunia. Membakar diri memang bukanlah cara atau strategi untuk bertindak. Bila orang ingin membakar dirinya, setiap pemimpin Budhis mencegahnya. Tetapi banyak bhiksu, bhiksuni dan orang awam terinspirasi oleh aksi bakar diri untuk menyebarkan pesan perdamaian.

Saya dan sampeyan mungkin sulit memahami aksi bakar diri ini. Media massa di barat menyebut aksi ini sebagai aksi bunuh diri, tapi itu bukan sebuah bunuh diri, bahkan sebuah protes. Ini bukan aksi politis. Ini aksi cinta untuk mencintai kehidupan. Apa yang ditulis oleh para bhiksu ini dalam surat yang mereka tinggalkan sebelum menyulut dirinya dengan api, merupakan aksi untuk menggerakkan hati para penindas dan meminta perhatian dunia akan penderitaan rakyat vietnam. Bhiksu, bhiksuni dan orang awam yang membakar diri ini berusaha untuk menyampaikan pesan bahwa dengan penderitaan yang berat, mereka mau menanggung penderitaan rakyat Vietnam. Tapi mengapa mereka harus membakar diri ? Dalam Budhisme, penghancuran diri ini merupakan pelanggran yang berat. Tapi orang – orang ini membakar dirinya bukan untuk lari dan menghindar dari penderitaan hidup dalam situasi perang. Orang – orang ini mengharapkan dengan tabah suatu perubahan di masa yang akan datang. Mereka membakar diri untuk mencari pertolongan masyarakat dunia. Saya amat yakin, bahwa mereka membakar diri bukan untuk menumbangkan para penindas , tetapi hanya mendorong para penindas itu untuk mengubah kebijakan politiknya. Musuh mereka bukan manusia, tetapi kebencian, keserakahan, dendam, penindasan dan sifat – sifat destruktif lainnya yang ada dalam diri orang lain. Amitaba, Budha Bless U.