Friday, 9 May 2008

Andai Saja Saya Jadi Anak Indie Paling Mutakhir



Saya mungkin harus mempunyai kepekaan seperti anak-anak emo yang kadang membawakan lagu super-depresif untuk sekedar buka-hati terhadap realitas tidak mengenakkan yang saya hadapai. Boleh saja kalo kita bersifat apatis dan apolitis terhadap runyamnya kondisi bangsa ini. Tetapi mau tidak mau kita memang benar-benar tinggal di sini. This is our nation, what will you do to save it? Andai saja ada band emo yang menjadikan krisis energi di Indonesia sebagai dasar penulisan liriknya, itu sudah saya anggap sebagai persuasi aktif untuk berhemat energi. Dengan sedikit riset, browsing, rasa depresi, anti-pemerintah, egois, rokok dan bir, proses pembuatan lirik pasti akan sangat menyenangkan, mengharu-biru dengan optimisme baru, depresif dan emosional. Itu pengandaian saja jika saya menjadi seorang pemuda yang giat dalam organisasi subkultur berbalut referensi musik yang underrated bernama indie.

What the meaning of independent music anyway? I don’t really fuckin care! Bekalnya cuma semangat untuk mengapresiasi akutnya masalah krisis energi. Semangat itu tentu saja harus dibebaskan, kalo saja tidak bisa bebas, ya dipaksakan agar benar-benar bebas, tanpa pretensi apapun, sedingin mayat, bagai sayur tanpa garam, berkarya dengan melupakan logika industri. Hu..hu..gak hanya menceritakan elegi patah-hati, seperti pola-pola lagu kekinian yang begitu gencar melirik para ABG labil sebagai target marketnya. Yang jelas niat ini harus dibarengi dengan pembebasan pola pikir dari apa yang sering dilabeli dengan sebutan indie vs mainstream. Lupakan dulu tentang dua kotak yang membuat polarisasi trend yang memiskinkan intelektual. Atau apa lagi lah itu namanya, you name it. Yang jelas, whatever you label yourself, sampeyan sadar nggak kalo sampeyan sangat sering memasukkan diri sampeyan sendiri kedalam sebuah kotak kategori, yang mana di dalam kotak itu sudah ada aturan tentang ‘how to behave’, ‘what to wear’, ‘what to listen’, bahkan sampe ‘what to think about’? Kotak-kotak berlabel itu seolah-olah punya aturan sendiri yang harus diikuti.

Istilah indie sesungguhnya masih merujuk ke spesifikasi tertentu. Indie akan mampu dipahami secara proporsional bila ditelusuri ke konteks historis atau wacana terjadinya pembentukan istilah itu. Namun jarang ada media yang mau menggali lebih dalam. Sehingga “indie” cenderung dikotakkan sebagai musik laris manis yang cocok bagi selera awam. Sedangkan musik indie sesungguhnya yang underrated malah diabaikan. Hal semacam itulah yang kerap menimbulkan miskonsepsi publik bahwa “indie” semata-mata pola kerja dan kemurnian idealisme. Bagaimana bila sebuah band beridealisme mainstream tapi mereka berproduksi secara swadaya? Apakah itu termasuk indie? Tentu tidak. Karena independen secara minor label atau self-released tidak menjamin artis/label itu berkarakter indie. Seseorang yang berjiwa mainstream pun bisa saja menghasilkan karya berkarakter mainstream tapi dikemas secara “Do-It-Yourself” dengan dalih kebebasan ekspresi atau budget minim.

Musisi lokal yang memang ingin menjadi indie seharusnya banyak belajar dari situ sehingga mereka tidak menjadi popstar wannabe yang terobsesi gemerlap popularitas secara mainstream. Kurt Cobain bisa jadi contoh ideal sebagai figur musisi indie karena dia malah depresi saat musiknya kian terkenal dan pasaran. Dengan musik yang sangat catchy dan selling, sebenarnya banyak band indie yang berpeluang besar untuk menjadi artis jutaan kopi dengan menawarkan demo ke major label. Namun mereka tidak melakukan itu karena orientasi mereka bukan sekadar popularitas dan kemewahan, namun lebih kepada kepuasan personal dan idealisme dalam berkarya. Bahkan ada yang menolak tawaran manggung hanya karena skala pentas dan panggungnya terlalu besar.
Sikap semacam itu pun banyak ditunjukkan band indie lainnya dengan menjaga jarak dengan pers. Inilah contoh sikap “perlawanan” yang berbeda dari stereotipe artis mainstream.

Kembali ke topik utama, jika saya menjadi anak indie paling mutakhir saya akan membuat puisi pendek yang akan saya gubah menjadi lagu. Lagu itu akan saya beri judul “pragmatisme kebenaran”. Pragmatisme kebenaran tentang krisis energi yang sedang dihadapi bangsa ini.he.he. Kira-kira begini :

Pragmatisme Kebenaran

Ketika krisis energi jadi hip
Subsidi energi adalah ide yang buruk
Pesakitan ini pernah membuat Indonesia di overlap rivalnya,
sesama negara berkembang di Asia Tenggara,
keluar dari jeratan krisis era 90an.

Ketika popularitas pemerintah menurun.
Negara butuh pemimpin yang berani.
Menerjang angin mengurai badai.
Melakukan hal yang baik untuk rakyatnya,
bukan pemimpin yang hanya melakukan hal yang disukai rakyatnya.

Subsidi membuat infrastruktur transportasi masal tidak kompetitif.
Masyarakat memilih menggunakan mobil pribadi,
daripada menggunakan transportasi massal,
yang juga menjadi sumber pemborosan energi.

Banyak orang tetap berbondong-bondong ingin menjadi birokrat.
Menjadi rakyat terbukti kian sengsara.
Sementara menjadi birokrat?
Keuntungan materi berada di depan mata.
Terlepas bahwa apakah keuntungan itu diperoleh
dengan cara-cara yang semakin menyengsarakan rakyat.

Orang terus berusaha glamour dalam kesengsaraan.
Sayup-sayup meronta dalam kemilau kebudayaan pop.
Rupanya menjadi modern memang membawa impian dan janji-janji.
"Mimpi-Mimpi" kekayaan hasil konstruksi pasar.
Dalam monumen berukuran 14 inci bernama televisi.
Menghasilkan makna dari kebudayaan daur ulang,
Memoles dunia permukaan imanen,
Mencipta konsumer schizoprenik,
Mementaskan parodi dalam satu permainan rumit estetika realitas semu,
Menjerat masyarakat,
Menjejalinya dengan sebanyak-banyaknya informasi-hiburan tanpa henti.

No comments: