Sunday, 4 May 2008

Mengeruk Untung Lewat Para Pemuja Tubuh


Kata cantik merupakan sebuah terminologi klasik yang selalu aktual jika kita membicarakannya hari ini. Pada era 40an para Yankees memuja Marylin Monroe sebagai sosok yang cantik dan memenuhi standar visual yang estetis pada saat itu dan menjadikannya sebagai ikon populer hingga saat ini. Ketika era modern telah lewat dan era post-modern datang, kecantikan tetaplah menjadi sesuatu yang dikonstruksikan oleh media. Lewat iklan, film, karya tulis dan produk-produk budaya, cantik selalu identik dengan wanita berambut hitam lurus, langsing, berkulit putih.

Kekawin Arjunawiwaha Pupuh 3 memberi gambaran tentang tubuh perempuan : “Tubuhnya langsing, payudaranya besar, pinggangnya kecil, dan warna kulitnya kekuning-kuningan”. Sedangkan untuk komparasinya disebutkan bahwa perempuan ada yang kulitnya hitam, tidak suka tertawa, dan jika tertawa ia selalu berusaha menutupi mulutnya. Secara implisit definisi cantik ini mendeskreditkan ras manusia tertentu. Kitab karangan empu Kanwa ini menjadi sebuah local genius tentang idealisme kecantikan perempuan. Dalam arus globalisasi, ukuran kecantikan ideal menurut nilai-nilai lokal, digerus dengan kekuatan modal dan kapital yang termanifetasi melalui iklan. Masyarakat secara bearamai-ramai digiring pada konsespsi cantik menurut ukuran orang Indo-Eropa, bukan orang Inlander seperti kecantikan gadis jawa, misalnya.

Inilah kekejaman media yang jarang kita “waspadai” karena kita terus-menerus dibuat pongah oleh manisnya gula-gula bernama entertainment. Siapa yang tak setuju kalo Sandra Dewi atau Dian Sastro itu cantik? Kalo ada yang tidak setuju berarti sampeyan tidak objektif atau mungkin mengidap disorientasi seksual.ha.ha.ha. Saya setuju kalo para selebritis wanita yang menjadi boneka-boneka layar kaca itu semuanya cantik. Entah mata saya yang telah didikte begitu lama oleh televisi atau mata saya yang meminta penampakan-penampakan yang cantik saja. Sungguh sebuah stereotip yang benar-benar berhasil buat saya kalo cantik itu ya identik dengan langsing, rambut panjang dan berkulit putih. Persetan dengan inner beauty, karena penampilan luar tetap menjadi daya tarik awal bagi saya. Dasar mata yang sangat tipikal. Khe.khe.khe.

Iklan televisi berupa produk pemutih kulit menjadi medium hipnose, medium pembawa hibriditas bernama dan fiksi. Padahal yang tampil di iklan pemutih wajah dan kulit itu semuanya hanya simulakra, yang jauh melebihi realitas sebenarnya. Kaum perempuan lokal kita merasa perlu dan wajib berlomba untuk meraih predikat cantik menurut mata media. Mereka berlomba mengkonsumsi produk pemutih kulit (whitening) untuk melahirkan identitas baru sebagai perempuan modern dan kosmopolit. Menurut Vissia Ita Yulianto seperti yang dikutip Kompas 4 Mei 2008, ” Modernitas dan globalisasi membentuk masyarakat menjadi makin seragam, homogen, dengan standardisasi melalui teknologi dan hal-hal yang bersifat komersial. Penayangan produk-produk budaya komersial dari Barat-Hollywood, London,atau Paris dengan budaya tingginya yang prestisius telah menciptakan disparitas terhadap entitas kecantikan wanita di masing-masing negara yang mengkonsumsinya. Mengutip data AC Nielsen, pada kurun waktu Januari 2002 - Desember 2003, produk pemutih Ponds White Beauty-Skin Lightening di Indonesia meningkat drastis hingga 110 persen, dari 46 miliar rupiah menjadi 97 miliar rupiah.

Diluar segala permasalahan tentang gender dan diskriminasi, perempuan di Indonesia disibukkan lagi dengan budaya industri yang dilahirkan oleh sistem kapitalis yang mengalienasi individu dari masyarakatnya. Dalam globalisasi, yang tidak cantik dilarang berpartisipasi. Sebuah komedi yang tragis. Sepertinya para perempuan Indonesia yang tinggal di kota-kota besar dan suka pergi ke salon, spa dan mall untuk mempercantik diri sesuai tuntutan global, harus mendengarkan Declare Independence-nya mbak Bjork agar benar-benar merdeka dalam memilih menjadi diri mereka sendiri.

4 comments:

Ngatini said...

dian sastro tu cantiknya luar dalam tapi kalo sandra dewi cuma diluarnya doang...she's so not important at all!! stubuhh???!! eh setuju???!!

Dony Alfan said...

Yup, I couldn't agree more.
Konstruksi media dll, semoga masyarakat kita cepat menyadarinya.

Btw, lagune Bjork sing kuwi aku rung pernah krungu, copy no, hehe

Sang Lintang Lanang said...

nek cinta laura pye mo??? ha3...

yup, kotak 14 inch itu memang bisa beracun. jangan terlalu banyak berhubungan dengannya... (termasuk orang yang bekerja di baliknya... ha3... abot yo..??? )

Lovely Dee said...

Emang perempuan selalu dijadikan obyek dan sasaran empuk oleh para kapitalis di semua sektor (terutama produsen fashion, kosmetik n media). Ada semacam eksploitasi implisit..Yang bisa menggerus kecantikan jiwa alami perempuan2 Indonesia. So, kayaknya perempuan2 Indonesia musti cerdas menyikapi semua itu.. Perempuan jangan mau dimanfaatkan..Tapi mari kita memanfaatkan.. :)