Tuesday 23 October 2007

Hukuman Mati, Masih Relevankah?


Saya tertarik dengan posting mas Joell di gunemanku.blobspot.com yang membahas tentang hukuman mati bagi pelaku kriminal. Hmm..saya sempat berpikir, apakah kematian itu selalu vis a vis dengan kematian, dalam hal ini, tindakan yang menyebabkan kematian seseorang atau sekelompok orang ( pembunuhan, pembantaian, terorisme ) akan mengakibatkan pelaku tersebut dihukum mati. Ini berarti konsep hukum retribusi di abad pertengahan masing berlangsung sampai sekarang. Sudah menjadi adagium bersama bahwa kematian dibalas dengan kematian, kekerasan dibalas dengan kekerasan, seperti hukum rimba saja kedengarannya. Dan kita pun menganggap hukuman itu adil. Sudah umum diketahui bahwa hukuman gantung, guillotine (potong leher), dan hukuman cambuk di pusat kota menjadi pemandangan umum sampai akhir abad ke-19, termasuk di Eropa. Tidak hanya kalangan anak-anak miskin dan marginal yang bersorak-sorai menyaksikan pemandangan kematian tersebut. Thomas Cook & Co justru mengorganisasi sebuah tur di Paris pada akhir abad ke-19 yang menjadikan hukuman guillotine sebagai salah satu atraksi menarik. Hmm, kalo Pak Bondan Winarno ngetrend dengan Wisata Kuliner-nya maka Thomas Cook & Co ngetrend dengan “wisata proses membunuh manusia dengan menebas kepala sehingga terpisah dengan badan” hua.ha.ha, cukup ngeri bukan?

Setelah itu, banyak negara Eropa yang maju selangkah dengan melarang eksekusi publik serta hukuman mati. Sayangnya, hukuman mati terus berlanjut dipraktikkan di banyak negara sampai saat ini. Itu bukanlah hukuman mati seakan-akan dilarang karena rakyat biasa di negara-negara ini dipenuhi rasa antipati terhadap hukuman mati. Di Inggris, hukuman tersebut dilarang, terutama karena adanya kampanye antihukuman mati yang dilakukan Charles Dicken melalui harian The Times yang berakibat pada pelarangan eksekusi negara. Saat ini, telah umum diketahui bahwa teori keadilan retribusi "darah dibalas dengan darah" tidak berfungsi efektif. Namun, opini massa tetap mempercayai efektivitas sistem tersebut. Opini massa mencoba mencari metode hukuman yang lebih beradab dengan cara memberlakukan eksekusi yang tidak begitu menyiksa. Hal itu berujung pada penggunaan guillotine pada abad ke-18. Korban pertama guillotine adalah Nicolas-Jacques Pelletier yang dieksekusi pada 1792. Eksekusi tersebut dipuji berbagai media massa saat itu karena merupakan eksekusi yang cepat dan bersih. Ketika kepala Charles I dipancung, Andrew Marvell mengungkapkannya dalam bentuk puisi. Bahkan, mereka mungkin juga mendukung hukuman yang relatif tidak menyakitkan pada pelaku pembunuhan. Yang terlepas dari perhatian opini massa yang pro-hukuman mati adalah baik teori retribusi maupun rasa takut saat dieksekusi sama-sama tidak akan melemahkan hati dan determinasi sang pembunuh.

Yang lebih buruk, opini massa tidak peduli sama sekali terhadap kemungkinan nasib seseorang yang secara salah telah dihukum mati.
Dewasa ini, mayoritas orang akan cenderung memilih suntikan mati atau kursi listrik, serta ditembak dengan senapan daripada digantung atau dilempari batu. Mereka semakin takut melihat ceceran darah segar dan kental yang mengalir saat eksekusi berlangsung. Menutut saya, aparatus negara hendaknya memberikan penerangan pada masyarakat bahwa hukuman mati tidak akan memperkecil angka kriminalitas dan mendorong publik untuk berkontemplasi pada tragedi terburuk ketika seseorang yang ternyata tidak bersalah dihukum mati. Negara-negara yang tidak memberlakukan hukuman mati dan melarang hukuman itu sejak beberapa dekade (misalnya, di Kanada) ternyata memiliki angka kriminal pembunuhan yang jauh lebih rendah dibandingkan Amerika.

Sekali lagi, saya mengajak teman-teman untuk mengingat kembali peristiwa “penghukuman mati” ratusan ribu umat manusia di Indonesia. Dalam peristiwa tersebut,opini massa mendukung tidak hanya terjadinya hukuman mati, tetapi juga pembunuhan masal seperti yang terjadi pada masa G30S/PKI dan pembunuhan misterius (petrus) pada masa Orba.
Karakter simplistik dari opini massa jelas sangat berbahaya. Pola pikir simplistik itulah yang Seorang demokrat, di mana pun, hendaknya menyadari bahwa hukuman mati sering dimanfaatkan untuk menumpas lawan-lawan politik di bawah kondisi yang sangat tidak demokratis. Hal itu menunjukkan bahwa opini massa memiliki sejumlah keterbatasan dan perbedaan dengan opini publik. Opini publik merupakan usaha yang disengaja yang tidak sama dengan opini massa. Opini publik diciptakan di bawah kondisi spesifik, di mana informasi tersedia secara luas dan berbagai keputusan diambil secara transparan dengan memperhatikan permasalahan yang paling rentan di masyarakat.Karena itu, sudah waktunya opini publik mengoreksi opini massa dalam hal hukuman mati dengan cara debat terbuka serta transparan, di mana setiap warga negara dilindungi seandainya pengadilan bertindak salah.

1 comment:

deFranco said...

Menghilangkan nyawa seseorang dengan sengaja, apapun alasannya, menurut saya tetaplah bukan suatu hal yang dapat dibenarkan. Karena, menurut saya lagi, itu sudah menyalahi kodrat yang telah ditentukan dari Tuhan. Yang berhak atas nyawa manusia kan cuma Tuhan...
Saya merasa tersanjung kalo postingan saya yang ecek2 itu berhasil menarik perhatian sampeyan, sampe bikin posting pelengkapnya...maturnuwun, great job!!!