Bagi sampeyan yang gemar baca komik, nonton film action, menggandrungi super hero, pasti di situ ada tokoh antagonis untuk memperkuat konflik agar alur cerita jadi menegangkan. Sebut saja Venom, villain dalam Spider-Man 3. Jason dalam serial Friday the 13th atau Si Mata Malaikat dalam komik lokal, yang menjadi musuh bebuyutan mas Barda Mandrawata dalam Si Buta Dari Gua Hantu. Sampeyan pasti sangat kesal dengan ulah villain-villain itu yang sering membuat jagoan kita kewalahan menghadapinya. Ada saja tipu muslihat, intrik, kelicikan, konspirasi dan hal-hal yang bersifat destruktif lainnya. Sampeyan pasti sangat kesal ketika Lex Luthor tahu kelemahan Superman. Dengan menggenggam batu Kryptonite, mas Superman bisa langsung lemes. Penjahat dalam film-film action juga sering menorehkan memori yang kuat agar kita membencinya. Sebut saja tokoh Sylar dalam serial Heroes yang sedang booming saat ini. Selain mempunyai superhero favorit, sampeyan pasti juga mempunyai seorang villain favorit. Villain favorit saya adalah George W. Bush dan Soeharto. Ngga usah saya sebutkan alasannya, sampeyan pasti bisa menafsirkan sendiri. He.he
Beberapa waktu yang lalu, saya nongkrong di wedangan milik teman saya yang hobi baca buku. Walaupun dia menjadi penjual wedang, eksistensinya di “kultur perlawanan” Solo sudah tak diragukan lagi. Tanpa angin, tanpa petir, dia lalu bertanya kepada saya, apakah saya mempunyai buku Confessions of An Economic Hit Man terbitan tahun 2004. Dalam buku itu ternyata ada tokoh yang bakal menjadi kandidat “the Greatest Villain, ever..tentu saja versi saya.
Nama tokoh itu adalah John Perkins, warga Amerika Serikat yang mengungkapkan jaringan corporatocracy. Inilah ilmu tentang mencari untung sebanyak- banyaknya dengan memeras habis negara yang mudah dikelabui, seperti Indonesia. Lewat bukunya, Confessions of An Economic Hit Man (2004), ia mengaku salah dan menyesali mengapa para pemimpin negaranya belum berubah. Ah, tak apa-apa karena di sini juga belum ada perubahan kok. Perkins adalah economic hit man (EHM) untuk sebuah perusahaan konsultan MAIN di Boston, AS. Cara kerja mereka mirip dengan mafia karena menggunakan segala cara (termasuk membunuh atau mempekerjakan) untuk mencapai tujuan politik dan ekonomi.
Ia menulis bahwa EHM bertanggung jawab atas terbunuhnya Presiden Panama Omar Torrijos dan Presiden Ekuador Jaime Roldos. Dua kepala negara di Amerika Latin ini mesti dilenyapkan karena menentang ilmu cari untung itu, yang dijalani Gedung Putih dan para eksekutif eksklusif. Tugas pertama Perkins membuat laporan fiktif agar lembaga- lembaga bantuan (Perkins menyebut IMF, Bank Dunia, dan USAID) mau mengeluarkan utang. Dana itu disalurkan ke proyek-proyek infrastruktur yang dikerjakan berbagai perusahaan top AS, seperti Bechtel dan Halliburton. Tugas kedua, Perkins harus membangkrutkan negeri penerima utang. Setelah tersandera utang setinggi gunung, barulah si negara penerima dijadikan kuda yang dikendalikan sang kusir.
Presiden negara pengutang akan ditekan supaya, misalnya, memberikan voting pro-AS di Dewan Keamanan PBB atau memberikan lokasi untuk pangkalan militer AS. Bisa juga Washington menekan agar negeri pengutang menjual ladang minyak atau kekayaan alam lainnya. Selama tiga bulan di tahun 1971 Perkins keliling Indonesia menyiapkan dongeng tentang pertumbuhan ekonomi dan pendapatan per kapita (GNP) kita. Angka-angka itu digelembungkan setinggi mungkin mendekati langit ketujuh.
Angka-angka catutan itu dilaporkan kepada Bank Dunia atau IMF. Para eksekutif di situ juga tukang-tukang ngibul yang serentak menganggukkan kepala sambil berdecak kagum, Bos Perkins bilang, Presiden AS Richard Nixon ingin Indonesia diperas sampai kering seperti kain pel habis dipakai melantai. Negeri ini ibarat real estat terbesar di dunia yang tak boleh jatuh ke tangan Uni Soviet atau China, demikian kira-kira kata bos Perkins, Charlie Illingworth, suatu kali di Bandung.
Corporatocracy antara elite politik dan bisnis AS itu disambut hangat para pejabat kita. Paling penting, rekening bank para pejabat itu tak boleh sampai tinggal keraknya doang seperti tungku penanak beras. Maka orang-orang Gedung Putih, Bechtel, Halliburton, lembaga-lembaga bantuan, MAIN, dan para pejabat itu saling tersenyum dan mengedipkan mata. Proyek “pembangkrutan” (bukan pembangunan) Indonesia pun dimulai.
Nah, persekutuan antara corporatocracy AS dan cleptocracy (penyakit klepto) yang diderita elite Orde Baru itu berjalan mesra selama puluhan tahun. Rakyat Indonesia bengong saja seperti obat nyamuk yang menemani orang lagi pacaran. Tujuan rahasia pembangunan proyek-proyek infrastruktur itu, keuntungan sebanyak-banyaknya untuk Bechtel, Halliburton, dan sejumlah perusahaan AS. Tujuan rahasia lainnya, memperkaya penguasa dan keluarganya di sini agar loyal kepada jaringan corporatocracy tersebut. Semakin banyak utang yang dipinjamkan ke Indonesia, semakin baik. Selama tiga bulan keliling Indonesia, Perkins menjadi EHM yang andal meskipun kadang kala terganggu hati nuraninya menyaksikan kemiskinan di sini.
Berkat pengalaman pertamanya di Indonesia, Perkins berkali-kali dipercaya melakukan tugasnya sebagai (economic hit man) di berbagai negara. Secara diam-diam dia menyiapkan buku Confessions yang dia tulis antara lain sebagai ungkapan minta maaf. Sampeyan sebaiknya membaca buku Perkins. Semoga ada penerbit di sini yang mau membeli hak penerbitan sekaligus menerjemahkannya supaya dibaca anak-anak dan cucu-cucu kita agar tak melupakan sejarahnya…Hmm, John Perkins memang benar-benar The Greatest Villain, ever…hell yeah!
Beberapa waktu yang lalu, saya nongkrong di wedangan milik teman saya yang hobi baca buku. Walaupun dia menjadi penjual wedang, eksistensinya di “kultur perlawanan” Solo sudah tak diragukan lagi. Tanpa angin, tanpa petir, dia lalu bertanya kepada saya, apakah saya mempunyai buku Confessions of An Economic Hit Man terbitan tahun 2004. Dalam buku itu ternyata ada tokoh yang bakal menjadi kandidat “the Greatest Villain, ever..tentu saja versi saya.
Nama tokoh itu adalah John Perkins, warga Amerika Serikat yang mengungkapkan jaringan corporatocracy. Inilah ilmu tentang mencari untung sebanyak- banyaknya dengan memeras habis negara yang mudah dikelabui, seperti Indonesia. Lewat bukunya, Confessions of An Economic Hit Man (2004), ia mengaku salah dan menyesali mengapa para pemimpin negaranya belum berubah. Ah, tak apa-apa karena di sini juga belum ada perubahan kok. Perkins adalah economic hit man (EHM) untuk sebuah perusahaan konsultan MAIN di Boston, AS. Cara kerja mereka mirip dengan mafia karena menggunakan segala cara (termasuk membunuh atau mempekerjakan) untuk mencapai tujuan politik dan ekonomi.
Ia menulis bahwa EHM bertanggung jawab atas terbunuhnya Presiden Panama Omar Torrijos dan Presiden Ekuador Jaime Roldos. Dua kepala negara di Amerika Latin ini mesti dilenyapkan karena menentang ilmu cari untung itu, yang dijalani Gedung Putih dan para eksekutif eksklusif. Tugas pertama Perkins membuat laporan fiktif agar lembaga- lembaga bantuan (Perkins menyebut IMF, Bank Dunia, dan USAID) mau mengeluarkan utang. Dana itu disalurkan ke proyek-proyek infrastruktur yang dikerjakan berbagai perusahaan top AS, seperti Bechtel dan Halliburton. Tugas kedua, Perkins harus membangkrutkan negeri penerima utang. Setelah tersandera utang setinggi gunung, barulah si negara penerima dijadikan kuda yang dikendalikan sang kusir.
Presiden negara pengutang akan ditekan supaya, misalnya, memberikan voting pro-AS di Dewan Keamanan PBB atau memberikan lokasi untuk pangkalan militer AS. Bisa juga Washington menekan agar negeri pengutang menjual ladang minyak atau kekayaan alam lainnya. Selama tiga bulan di tahun 1971 Perkins keliling Indonesia menyiapkan dongeng tentang pertumbuhan ekonomi dan pendapatan per kapita (GNP) kita. Angka-angka itu digelembungkan setinggi mungkin mendekati langit ketujuh.
Angka-angka catutan itu dilaporkan kepada Bank Dunia atau IMF. Para eksekutif di situ juga tukang-tukang ngibul yang serentak menganggukkan kepala sambil berdecak kagum, Bos Perkins bilang, Presiden AS Richard Nixon ingin Indonesia diperas sampai kering seperti kain pel habis dipakai melantai. Negeri ini ibarat real estat terbesar di dunia yang tak boleh jatuh ke tangan Uni Soviet atau China, demikian kira-kira kata bos Perkins, Charlie Illingworth, suatu kali di Bandung.
Corporatocracy antara elite politik dan bisnis AS itu disambut hangat para pejabat kita. Paling penting, rekening bank para pejabat itu tak boleh sampai tinggal keraknya doang seperti tungku penanak beras. Maka orang-orang Gedung Putih, Bechtel, Halliburton, lembaga-lembaga bantuan, MAIN, dan para pejabat itu saling tersenyum dan mengedipkan mata. Proyek “pembangkrutan” (bukan pembangunan) Indonesia pun dimulai.
Nah, persekutuan antara corporatocracy AS dan cleptocracy (penyakit klepto) yang diderita elite Orde Baru itu berjalan mesra selama puluhan tahun. Rakyat Indonesia bengong saja seperti obat nyamuk yang menemani orang lagi pacaran. Tujuan rahasia pembangunan proyek-proyek infrastruktur itu, keuntungan sebanyak-banyaknya untuk Bechtel, Halliburton, dan sejumlah perusahaan AS. Tujuan rahasia lainnya, memperkaya penguasa dan keluarganya di sini agar loyal kepada jaringan corporatocracy tersebut. Semakin banyak utang yang dipinjamkan ke Indonesia, semakin baik. Selama tiga bulan keliling Indonesia, Perkins menjadi EHM yang andal meskipun kadang kala terganggu hati nuraninya menyaksikan kemiskinan di sini.
Berkat pengalaman pertamanya di Indonesia, Perkins berkali-kali dipercaya melakukan tugasnya sebagai (economic hit man) di berbagai negara. Secara diam-diam dia menyiapkan buku Confessions yang dia tulis antara lain sebagai ungkapan minta maaf. Sampeyan sebaiknya membaca buku Perkins. Semoga ada penerbit di sini yang mau membeli hak penerbitan sekaligus menerjemahkannya supaya dibaca anak-anak dan cucu-cucu kita agar tak melupakan sejarahnya…Hmm, John Perkins memang benar-benar The Greatest Villain, ever…hell yeah!
No comments:
Post a Comment