Thursday 25 October 2007

Kecemasan dari sebuah dialog pagi di TV



Krisis Membayang. Begitulah judul sebuah bedah editorial Media Indonesia yang saya saksikan tadi pagi ( 24 Oktober 2007 ) di Metro TV. Dalam acara itu ada mas Tommy Cokro yang guanteng dan Bung Laurens Tatu anggota dewan redaksi Media Indonesia. Masalah yang dibahas dalam dialog ini adalah sebuah kecemasan akan sebuah momok bernama krisis ekonomi. Saya dan sampeyan pasti masih ingat betul akan krisis moneter yang menghantam Indonesia pada tahun 1997-1998. Kayaknya, ketakutan – ketakutan itu akan muncul lagi. Tapi lucunya, menteri ekonomi kita, pak Budiono mengatakan bahwa keadaan ekonomi Indonesia tetap pada level yang stabil dan aman. Hmmm…kayaknya beliau terus menerus menghibur rakyat dengan ungkapan tersebut.

Tak bisa kita pungkiri, bahwa perekonomian kita terlibat dalam perekonomian global. Apa yang terjadi dalam perekonomian global tentu saja akan berdampak pada kondisi perekonomian nasional kita. Alasan klasik muncul lagi dalam perekonomian global : kenaikan harga minyak mentah dunia yang diprediksi akan mencapai 100 USD per barel. Walah – walah, lha wong harga minyak mentah yang sekarang saja sudah membuat rupiah rontok, apalagi mencapai 100 USD per barel. Tentu saja kenaikan harga minyak dunia ini akan membawa konsekuensi berupa meningkatnya laju inflasi dan melemahnya pertumbuhan ekonomi.

Karena sifatnya interaktif, acara dialog pagi itu melibatkan beberapa penelfon. Para penelfon itu rata-rata mengungkapkan kecemasan yang sama terhadap kemungkinan terulangnya krisis ekonomi. Ngga usah jauh-jauh, kemaren waktu BBM naik pada tahun 2005, banyak terjadi kasus yang sangat khas…mulai dari perusahaan yang gulung tikar, pemutusan hubungan kerja, penganguran bertambah, sulitnya lapangan pekerjaan, banyak sarjana menganggur, barang kebutuhan pokok melambung tinggi, kemiskinan bertambah, angka kriminalitas meningkat, dan bla.bla.bla..kayaknya dari dulu sampe sekarangpun kita masih saja dekat dengan masalah – masalah itu..ya beginilah nasib negara berkembang yang terlibat dalam Globalisasi yang katanya memakmurkan…non sense! yang ada hanya : negara yang kaya akan semakin dikayakan(semakin dibuat kaya) dan negara yang miskin akan dimiskinkan (semakin dibuat miskin).

Inilah persoalan besar yang sedang kita hadapi. Kita ngga mungkin bisa sembunyi dari krisis, kalo itu benar-benar terjadi. Kita hanya bisa menghindar dengan melakukan antisipasi dini dengan memperkuat ekonomi rakyat. Wah, lucu juga kalo masih saja memperbincangkan ekonomi rakyat di tengah terpaan sistem ekonomi kapitalis neo liberal, dimana terjadi persaingan sempurna dan mekanisme pasar menjadi kredo. Ngga bakalan ada toleransi bagi yang ketinggalan. Dari situasi inilah, World Bank dan IMF tampil menjadi penolong yang baik hati dengan bantuan ekonominya..he.he..

Gimana mau jadi penolong, lha wong Amerika Serikat yang anggota IMF ngurusi masalah kredit rumah saja masih kelimpungan. IMF tidak bisa berbicara banyak tentang akar krisis yang sedang mengancam ini. IMF hanya sekedar memberi rekomendasi tentang perlunya kehati-hatian menghadapi krisis yang tak terbayangkan sebelumnya. IMF tak mempunyai kemampuan yang memadai. Ini menjadi pelajaran bagi para ahli ekonomi kita ( yang kebanyakan lulusan University of California Berkeley ) untuk segera bertindak, bukan sekedar ngeyem-yemi/menghibur rakyat terus. Rakyat sekarang sudah pinter dan ngga bisa untuk sekedar dihibur saja.

2 comments:

deFranco said...

Mengenai banyaknya sarjana yang nganggur itu yang paling mencemaskan saya sekarang mas Komo, lha piye to, kita sekarang sedang menuju dan semakin ke sebuah sebutan itu e, sarjana. Dan setidaknya sekarang kita bantu doa saja buat negara kita ini, semoga tidak mengalami keterpurukan yang lebih parah lagi..

Dony Alfan said...

"Kita hanya bisa menghindar dengan melakukan antisipasi dini dengan memperkuat ekonomi rakyat."
Saya setuju sekali dengan itu. Dan Pemerintah kita nampaknya sudah mempersiapkannya, antara lain dengan memberi kemudahan kredit bagi UKM. Membangun jiwa entrepreneur, sehingga tak lagi bergantung dengan ketersediaan lapangan kerja, "gawe gawean" kalo bapak saya bilang.
Jika saja krisis itu benar terjadi (semoga tidak ya), maka harusnya kita bisa lebih siap, belajar dari pengalaman kemarin kira-kira begitulah. Toh cuman keledai yang kejeblos lubang yang sama dua kali. Anda dan saya bukan keledai, dan kita menyadari itu.