Sekarang ini saya coba menuangkan uneg-uneg, dengan ditemani playlist andalan yang terpampang rapi di software pemutar mp3 klasik. Hmm..Tadi saya menonton “Saksi Mata” di Global TV yang kira-kira tayang jam 19.30 ( Kamis, . Berita utamanya tentang bentrokan antar sesama anggota Pemuda Pancasila di Makassar. Bentrokan tersebut dipicu oleh perbedaan pendapat mengenao pembangunan Mall di lapangan Karebosi yang merupakan landmark kota Makassar. Kebetulan, saya mendapatkan suguhan visual yang menampilkan pengeroyokan seorang anggota Pemuda Pancasila oleh rekannya sendiri, karena menolak pembangunan Mall di lapangan yang menjadi ikon kota Makassar tersebut. Hampir tiap sore, tayangan-tayangan kekerasan kok semakin membanjiri stasiun TV kita. Tidak usah disebutkan dampaknya, sampeyan pasti juga langsung akan tau. Memang, bisnis pertelevisian kita kadang mengesampingkan kode etiknya, tapi apa boleh buat, Komisi Penyiaran Indonesia yang menjadi regulator-pun, dibuat mati kutu. TV seolah-olah membawa kekuatan magis yang bisa menghantarkan peristiwa kekerasan itu ke tengah-tengah ruang keluarga ketika kita, dan melebihi realitas sesungguhnya.
Kekerasan demi kekerasan dapat kita amati setiap hari melalui media massa. Kalo sampeyan memperhatikan, dalam sebuah perstiwa kekerasan pasti terdapat unsur-unsur yang membentuknya. Saya coba membuat sebuah skema kekrasan menurut versi saya. Kira -kira begini : sebab/motivasi --- pelaku --- tindakan fisik/non-fisik --- korban --- dampak fisik/non-fisik --- sebab/motivasi. Yup, seperti itu penggambarannya. Saya melihat bahwa setiap peristiwa kekerasan itu sebagai sebuah siklus dan akan terus memproduksi kekerasan-kekerasan berikutnya. Dalam hal ini, kita tidak akan bisa menghentikan sebuah kekerasan tanpa memotong siklusnya.Itu baru dari kasus kekerasan yang melibatkan dua pihak yang saling bertentangan. Ternyata, dimensi kekerasan itu sangat luas, apalagi kalau kita coba melihatnya dari perspektif negara ketiga, khusunya Amerika Latin. Banyak gerakan-gerakan revolusioner yang bersumber dari sini. Mulai dari Che, Paulo Freire, Dom Helder Camara, Hugo Chaves dll. Menurut Dom Helder, ketidakadilan adalah kemiskinan dan itulah kekerasan yang paling mendasar. Situsi inilah yang menyebabkan manusia jatuh ke dalam lembah sub-human yang melahirkan gerakan - gerakan pembangkangan dan pemberontakan.
Pembangkangan itu didorong oleh berbagai motif. Bagi kaum ekstrim kiri, perjuangan menggelar pemberontakan itu didorong oleh keinginan membebaskan kaum tertindas yang hanya bisa dilakukan dengan gerakan bersenjata, seperti yang dilakukan mas Che Guevara yang menjadi ikon popular di kalangan aktifis mahasiswa yang baru hangat-hangatnya belajar demo.( he.he.saya dulu juga seperti itu deng…) Gerakan ini mendewakan aksi-aksi agitasi yang tanpa itu, rakyat tertindas tidak akan terbebaskan.Ada juga yang tergerak oleh perasaan religius. Dengan semangat keagamaan yang menggebu-gebu kaum ekstrem kanan ini menggelar aksi turun ke jalan. Maka mengalirlah narasi pemberontakan dan raungan protes di jalan-jalan untuk kehendak revolusi yang ditafsirkan sebagai perang tanding melawan tentara bersenjata lengkap dengan atribut2 militernya. Ketika jalan-jalan yang umumnya hanya dipakai untuk mengangkut upeti ekonomi kepada kekuasaan dihalang-halangi, maka penguasa pun merasa berkewajiban mengambil tindakan tegas, dan itusudah pasti lewat kekerasan dan represi yang ngga ketulungan ganasnya. Sperti yang dilakukan pemerinta Junta Militer Myanmar terhadap para bhiksu yang turun ke jalan. Hmm..sebuah pembelajaran menarik bagi saya. Tampaknya sebuah track dari Funeral For A Friend yang berjudul “Your Revolution Is A Joke” menusuk telinga saya dan sangat tepat jika saya sandang, karena saya seolah sia-sia menulis posting yang sok revolusioner ini tanpa tahu siapa yang akan membacanya..he.he..
2 comments:
Saya jadi bertanya-tanya, apakah setiap manusia diciptakan komplit dengan kekerasan di dalam dirinya? Kalau Tuhan begitu baik, kenapa manusia ciptaanNya justru begitu buruk, sehingga merusak ciptaan Tuhan lainnya.
Jangan pesimis gitu bro, buktinya saya baca postingan kamu...meski harus berulang-kali baru sedikit mudeng, maklum otak saya cekak banget...hehehe...setelah baca ini yang muncul di pikiran saya adalah bagaimanakah revolusi yang semestinya harus dilakukan?? apakah dengan kontak fisik ala ekstrim kiri ataukah dengan demo turun ke jalan ala ekstrim kanan? adakah opsi buat yang nggak ekstrim? yang melakukan revolusi dengan cara yang elegan gitu deh...yang terakhir itu mungkin pilihan saya, andai ada lho...
Post a Comment