Aktivis memang sebuah kata yang bombastis bila kita mengatakannya pada zaman pergerakan. Entah itu aktivis prodemokrasi, aktivis perempuan, aktivis HAM, aktivis lingkungan hidup maupun aktivis mahasiswa yang tergabung dalam aliansi-aliansi yang berjuang demi rakyat. Tapi apa kata dunia, ketika peran mahasiswa digantikan sosok rohaniwan yang turun ke jalan untuk melawan rezim yang menindas rakyat ? Hal ini mendapat momentumnya ketika terjadi represi besar-besaran yang dilakukan rezim junta militer di Myanmar. Para bhiksu turun ke jalan, karena mereka sudah merasa bahwa keadaan semakin memburuk ketika BBM dinaikkan 500 %. Lha terus kemana para mahasiswanya? Pada tahun 1988, ketika terjadi gerakan untuk perubahan sosial di Myanmar, mahasiswalah yang menjadi motor pergerakan dan memobilisasi massa dan akhirnya melahirkan tragedi yang menewaskan sekitar 3.000 orang karena bentrok dengan aparat militer. Tahun 2007, ketika terjadi ketidakadilan sosial di Myanmar, justru para Bhiksu yang menjadi motor pergerakan. Aksi ini adalah aksi damai tanpa kekerasan, dan sampai hari ini telah menelan korban 9 orang, termasuk satu orang wartawan dari Jepang.
Mahasiswa sebagai agent of social change semakin meredup keberadaannya, ketika mereka dihadapkan pada kenyamanan - kenyamanan teknologi multimedia seperti MTV, Friendster, Shopping ke Mall dan Dugem. Tapi di sini saya tidak gebyah uyah dan menyatakan mahasiswa masa kini seperti itu. Dua puluh tahun lalu, sekitar tahun 1980an sampai awal 1990an, banyak artikel yang meromantisir gerakan mahasiswa. Waktu itu banyak mahasiswa yang digebuki tentara dan dijebloskan ke penjara karena menggelar aksi demonstrasi. Gerakan mahasiswa menjadi primadona di ruang publik Orde Baru. Mereka menjadi sosok tunggal yang boleh dan mau menyuarakan kritik sosial dan keresahan masyarakat.
Dalam situasi ini, mahasiswa menjadi semacam pemadam kebakaran. Mereka bersemangat sekali dalam memadamkan api. Kadang mereka menjalankan fungsi parlemen untuk melakukan debat politik. Mereka juga bisa menjalankan peran partai politik, dengan berorganisasi, memobilisir massa, dan mengatasnamakan kepentingan rakyat. Mereka juga bisa mengambilalih peran media massa dengan membuat selebaran, menerbitkan buletin. Menurut saya, aksi itu tanggung dan kadang sia-sia? Rakyat sekarang sudah cukup pandai dan tidak mau namanya disebut-sebut sebagai pembenaran atas aksi-aksi yang anarkis. Lha wong rakyat sendiri bisa turun ke jalan secara langsung tanpa minta tolong mahasiswa. Iya to ?
Anehnya, walaupun peran yang dijalankan mahasiswa itu cenderung reaksioner, dan hanya aksi sejenak tetapi kok penuh romantisme ya ? Mungkin karena mereka sering dikejar tentara, dipukuli pakai tongkat, ditahan dan sering dijadikan sosok pahlawan dalam berita-berita media massa. Pemberitaan ini kadang membuat ego mereka melambung kebablasan. Sekarang, negeri ini telah berubah, walau tidak semua menguntungkan publik. Memang negara yang ideal itu selalu jauh dari capaian kita, setidaknya kita bisa menikmati perubahan karena jerih payah mahasiswa. Kalau dahulu pada tahun 1998, mereka berdemo di jalan, sekarang mereka sudah menikmati semilir angin perubahan. Jika ada pertanyaan : Apa kabar mahasiswa masa kini ? Saya akan menjawab, karena saya menjadi bagian dari mahasiswa masakini : ”Ngapain repot-repot turun ke jalan? Mending nulis di blog aja..., i’ll do it with my stlye!
Mahasiswa sebagai agent of social change semakin meredup keberadaannya, ketika mereka dihadapkan pada kenyamanan - kenyamanan teknologi multimedia seperti MTV, Friendster, Shopping ke Mall dan Dugem. Tapi di sini saya tidak gebyah uyah dan menyatakan mahasiswa masa kini seperti itu. Dua puluh tahun lalu, sekitar tahun 1980an sampai awal 1990an, banyak artikel yang meromantisir gerakan mahasiswa. Waktu itu banyak mahasiswa yang digebuki tentara dan dijebloskan ke penjara karena menggelar aksi demonstrasi. Gerakan mahasiswa menjadi primadona di ruang publik Orde Baru. Mereka menjadi sosok tunggal yang boleh dan mau menyuarakan kritik sosial dan keresahan masyarakat.
Dalam situasi ini, mahasiswa menjadi semacam pemadam kebakaran. Mereka bersemangat sekali dalam memadamkan api. Kadang mereka menjalankan fungsi parlemen untuk melakukan debat politik. Mereka juga bisa menjalankan peran partai politik, dengan berorganisasi, memobilisir massa, dan mengatasnamakan kepentingan rakyat. Mereka juga bisa mengambilalih peran media massa dengan membuat selebaran, menerbitkan buletin. Menurut saya, aksi itu tanggung dan kadang sia-sia? Rakyat sekarang sudah cukup pandai dan tidak mau namanya disebut-sebut sebagai pembenaran atas aksi-aksi yang anarkis. Lha wong rakyat sendiri bisa turun ke jalan secara langsung tanpa minta tolong mahasiswa. Iya to ?
Anehnya, walaupun peran yang dijalankan mahasiswa itu cenderung reaksioner, dan hanya aksi sejenak tetapi kok penuh romantisme ya ? Mungkin karena mereka sering dikejar tentara, dipukuli pakai tongkat, ditahan dan sering dijadikan sosok pahlawan dalam berita-berita media massa. Pemberitaan ini kadang membuat ego mereka melambung kebablasan. Sekarang, negeri ini telah berubah, walau tidak semua menguntungkan publik. Memang negara yang ideal itu selalu jauh dari capaian kita, setidaknya kita bisa menikmati perubahan karena jerih payah mahasiswa. Kalau dahulu pada tahun 1998, mereka berdemo di jalan, sekarang mereka sudah menikmati semilir angin perubahan. Jika ada pertanyaan : Apa kabar mahasiswa masa kini ? Saya akan menjawab, karena saya menjadi bagian dari mahasiswa masakini : ”Ngapain repot-repot turun ke jalan? Mending nulis di blog aja..., i’ll do it with my stlye!
1 comment:
mungkin benar mahasiswa terlena dengan kenyamanan-kenyamana teknologi multimedia, tapi tidak membuat mereka lupa untuk menjadi agent of social change kok...
salah satu contoh kan bisa menyuarakan pemikiran lewat blog :)
sepeti kamu lohhhhhh :)
good posting!!
Post a Comment