Dalam waktu dekat ini, penduduk di kota-kota besar akan berbondong-bondong pulang ke kampung halamannya masing-masing untuk menyambut dan merayakan hari raya Idul Fitri. Saat akhir Ramadan alias menjelang Idulfitri masyarakat kita selalu melakukan tradisi mudik Lebaran. Tradisi mudik ini menarik untuk kita cermati. Mudik menjadi identitas dan agenda tahunan yang lekat dengan kita. Lantas mengapa masyarakat tetap rela bersusah-susah diri menjalankan tradisi ini? Fenomena tersebut memperlihatkan betapa kuatnya hubungan batin antara penduduk yang hidup di
Kerinduan akan nilai-nilai lokal, kekhasan, dan sejarah masa lalu yang hanya diperoleh di kampung halaman, yang seolah mengharuskan masyarakat untuk mudik. Segala hambatan dan keluh-kesah selama perjalanan mudik seolah lunas terbayar begitu sampai di kampung halaman dan bertemu orang tua, keluarga dan kerabat dekat. Romantisme yang begitu dirindukan masyarakat yang merantau inilah yang mendasari keinginan untuk mudik.Romantisme terhadap tanah leluhur itu akhirnya menjadi pemaknaan yang artikulatif dalam Sehingga, mudik ke tanah leluhur bisa jadi wajib hukumnya. Tidak heran jika suku-suku perantau itu mempersiapkannya jauh-jauh hari dengan menyisihkan pendapatan untuk biaya mudik. Bahkan, muncul anggapan mereka bekerja setahun penuh hanya demi mengumpulkan uang untuk mudik Lebaran.
Di kampung halaman, biasanya masyarakat rantau yang mudik berbagi cerita kehidupan masing-masing. Menceritakan kisahnya selama dalam perantauan. Agar dicap sukses, mereka menampilkan perubahan
Fenomena mudik ini ironisnya memperlihatkan ketimpangan dalam pelaksanaan dan hasil pembangunan nasional. Penduduk desa tidak memperoleh fasilitas sekolah atau lapangan pekerjaan hingga akhirnya mereka pergi ke kota-kota besar dengan harapan memperoleh pendidikan atau lapangan pekerjaan baru.Hal ini secara jelas memperlihatkan adanya kegagalan daerah dalam menampung dan memenuhi kebutuhan penduduknya. Kebijakan pembangunan pusat-pusat perekonomian hanya berpusat di kota-kota besar seperti
Karena itulah, jangan terlalu heran jika wajah para pekerja atau perantau dihiasi dengan kegembiraan ketika momentum mudik Lebaran tiba. Ketika mereka sampai di kampung halamannya, rasa syukur mereka diperlihatkan dengan beragam simbol dan pernak-pernik Lebaran. Mulai dari menu hidangan, pakaian baru, hingga ucapan selamat hari raya. Perayaan yang berlebihan mengakibatkan kaburnya makna substansial Lebaran. Lebaran hanya dimaknai sebatas sebagai ajang suka-suka dan berfoya-foya dengan menampilkan diri semegah mungkin.
Lebaran akan tampak sangat kontras apabila kita lihat dari sudut pandang kalangan elit. Bagi kalangan elite, mudik Lebaran dapat berfungsi ganda, yaitu sebagai ajang bersilaturahim dengan sanak keluarga dan untuk rekreasi setelah lama bekerja. Begitu juga bagi kalangan akar rumput, tetapi dengan beberapa perbedaan tingkat kepuasan. Kalangan elite tidak perlu repot-repot antre dan bersesak-sesakan, sedangkan kalangan grass roots harus sabar menunggu giliran. Menginap di terminal atau di stasiun pun ditempuh untuk bisa mudik. Selamat menikmati ritual tahunan yang sangat seru ini.
Friday, 12 September 2008
Fenomena Mudik
Posted by suarahimsa at 06:55 1 comments
Friday, 5 September 2008
Mbok ya puasa dulu to pak....
Seseorang yang dituduh korupsi, melakukan penyuapan, masih bisa tampil di sidang dengan dandanan menor, senyum sana-sini, dan dari balik penjara bisa mengatur perkara. Ini karena tidak ada efek jera dari koruptor.Ketika guru menyatakan bahwa korupsi itu haram dan melawan hukum, tetapi apa yang dilihat oleh anak-anak dalam praktik kehidupan sehari-hari? Ya, mereka bisa dengan mudah menyaksikan dengan mata telanjang betapa nikmatnya hidup menjadi koruptor. Hukum menjadi tak berdaya untuk menjerat mereka. Bahkan, mereka bisa bebas melenggang pamer kekayaan di tengah-tengah jutaan rakyat yang menderita dan terlunta-lunta akibat kemiskinan yang menggorok lehernya. Ironisnya, tidak sedikit koruptor yang justru merasa bangga ketika mereka bisa mempermainkan hukum. Jika keadaan mendesak, mereka bisa pasang jurus “sakit pura-pura”. Ketika guru mengajak anak-anak untuk melestarikan dan mencintai lingkungan hidup, apa yang mereka saksikan? Ya, para pembalak dan preman-preman hutan ternyata juga sama saja alias sami mawon.
Hukum seolah-olah telah lumpuh dan tak sanggup menjamah mereka. sebab selama ini para koruptor justru bisa nampang dan senyum-senyum di depan kamera. Hal ini memunculkan image (citra) di depan masyarakat bahwa koruptor itu masih bisa bersenang-senang.Yang membuat prihatin, para koruptor tampil perlente, menor, dan membuat citra koruptor masih bisa tebar-tebar senyum.Semoga saja dengan diberi pakaian khusus, para koruptor akan menjadi malu. Rasa malu ini sangat penting untuk menghilangkan korupsi.Korupsi adalah kasus amat terencana, rapi, dan sistematis dan sering dilakukan oleh orang-orang terpelajar.Sama halnya dengan tikus, koruptor harus diberantas. Ia amat merusak dan membahayakan kehidupan kita berbangsa. Namun, menangkap koruptor amatlah sulit. Terlebih manakala korupsi sudah pula menjadi praktik keseharian aparat peradilan.Mafia peradilanlah yang justru mengatur alur penyelewengan hukum agar para koruptor terlepas dari jerat-jerat keadilan. Mafia peradilanlah, dengan para koruptor, yang akhirnya melahirkan mafia koruptor. Maka, diperlukan inisiatif cerdas dan tegas untuk mendobrak kesolidan mafia koruptor. Inisiatif itu harus disusun terencana, rapi, sistematis, dan pada akhirnya menjebak agar sang tikus koruptor tidak berkutik.
Nilai-nilai luhur hakiki yang disemaikan di sekolah benar-benar harus berhadapan dengan berbagai “penyakit sosial” yang telah berhamburan di tengah-tengah kehidupan masyarakat.Lha terus gimana? Haruskah kita sebagai orang dewasa ikut-ikutan bersikap permisif dan membiarkan anak-anak larut dalam imaji amoral dan anomali sosial seperti yang mereka saksikan di tengah-tengah kehidupan masyarakat? Haruskah gambaran tentang citra koruptor dan pembalak hutan yang hidup bebas dan lolos dari jeratan hukum itu kita biarkan terus berkembang dalam imajinasi anak-anak bangsa negeri ini? Gampangnya kata, haruskah anak-anak kita biarkan bermimpi dan bercita-cita menjadi koruptor dan pembalak hutan?
Dihukum susah, dipermalukan susah, diapakan ya enaknya? Mudah-mudahan di bulan ini muncul kesadaran dan keikhlasan yang mendalam terhadap makna puasa yang akan menjadikan seseorang tidak berani melakukan korupsi. Puasa dapat menjadi awal mula pemberantasan korupsi. Dengan tidak melakukan korupsi selama sebulan, diharapkan menumbuhkan kesadaran agar tak melakukannya di bulan lain.Apakah puasa benar-benar bisa menghilangkan “keberanian” para pejabat untuk melakukan korupsi?Kalau puasa yang mereka laksanakan benar-benar ikhlas, mungkin ada harapan korupsi akan terentaskan. Akan tetapi, kalau mereka berpuasa asal-asalan saja, tidak akan mengubah watak mereka yang sudah terjangkiti “keberanian” untuk melakukan tindak korupsi.
Posted by suarahimsa at 09:52 1 comments
Sunday, 8 June 2008
INTROSPEKSI
Imaji akan keberadaan sebuah sejarah penciptaan membuat saya mempertanyakan kakekat manusia. Untuk apa saya dan sampeyan ada di
Rentetan peristiwa yang terjadi selama satu minngu ini membuat saya tegang, seperti nonton film action. Dimulai dengan insiden monas yang efeknya terus menggelinding seperti bola salju yang semakin besar dan menimbulkan empati publik. Publik menuntut agar FPI dibubarkan, pemerintah melalui aparat kepolisian ‘bertindak’ walau terlambat, untuk menjemput paksa anggota FPI bersama dengan ketuanya. Reaksi pro-kontra muncul pasca insiden monas, konflik horizontal antar sesama anak bangsa mungkin akan pecah. Tetapi kita berharap tidak demikian jadinya. Integritas nasional harus tetap dipertahankan di atas segala perbedaan. Kejadian-kejadian yang sudah didekonstruksi oleh televisi maupun media cetak itu mencuri perhatian saya dari kenaikan BBM. Beberapa pakar politik menyebut insiden monas sebagai ‘pengalihan isu’, jadi insiden itu bisa saja terjadi karena direncanakan. Ah, ada-ada saja ya…buktinya mana pak?
Melihat, mengamati lalu merasakan fenomena yang terjadi selama sepekan itu membuat saya ingin merenung. Diam, pikiran kemana-mana, bertanya pada diri sendiri, menjawab sendiri pertanyaan yang terngiang-ngiang selama ini. Saya lama sekali tidak merenung. Hiruk-pikuknya dunia, mobilitas orang-orang urban kontemporer yang selalu berkejaran dengan waktu, membuat saya lupa untuk merenung. Kalau menurut mbak Dewi Lestari, waktu yang paling nyaman untuk merenung adalah ketika kita gosok gigi. Yang ada cuma suara gesekan sikat dengan gigi, hiruk-pikuknya dunia di luar
Saya mulai menggugat kenyamanan berpikir. Selama ini saya berpikir : “Mikir yang nyata-nyata saja susah kok, ngapain sok mikir yang abstrak?”. Lha inilah yang disebut orang dengan berfilsafat. Mempertanyakan segala hal di luar kebenaran yang sudah menjadi konvensi publik. Plato mengatakan bahwa dunia sesungguhnya adalah dunia ide yang berisikan bentuk-bentuk ideal sebagai prototipe dunia empirik. Argumen itu ditolak muridnya, Aristoteles, yang mengatakan bahwa dunia empirik adalah kenyataan sesungguhnya dimana bentuk-bentuk ideal (esensi) tidak terlepas darinya. Walaupun Plato dan Aristoteles memiliki penjelasan yang berbeda tentang dunia sesunguhnya, mereka sepakat bahwa dunia sesungguhnya adalah tujuan aktivitas intelektual manusia. Saya lalu mencoba mengarungi medium yang penuh dengan centang-perenang makna Wah…rasanya seperti melambung tinggi…terlontar dari bangku taman. Ini yang membuat saya terlontar : ketika tatanan ekonomi dunia menyeret
Ngomong-omang soal harga minyak dunia, sampai jumat kemaren (6/6) mencatat harga simultan. Lonjakan harga ini disebabkan adanya kekhawatiran akan munculnya konflik baru di timur tengah, menyusul komentar seorang pejabat tinggi
Fenomena yang jelas terjadi adalah orang-orang yang tidak masuk dalam kategori miskin masih menikmati subsidi BBM. Sebagian besar subsidi tersebut salah arah. Subsidi itu seharusnya murni diberikan kepada mereka yang untuk bertahan hidup saja susah. Sedangkan bagi pemilik mobil pribadi atau milik instansi pemerintah, pajaknya dinaikkan saja sampe 500 persen, misalnya. Jika kita anggap pajak 100 persen itu masuk ke Pendapatan Asli Daerah, 400 persen sisanya masuk APBN. Menurut sampeyan mungkin nggak? Menurut saya ini bisa jadi alternatif. Mekanisme untuk sistem pajak baru itu perlu disiapkan. Nah, dengan pajak yang tinggi, orang akan mikir untuk beli mobil. Infrastruktur transportasi massal perlu dibenahi, biar orang mulai bermobilitas menggunakan sarana transportasi massal ini. Kalau benar-benar diterapkan, pemerintah khan mendapat tambahan duit dari pajak mobil ini, jadi bisa mengkaji ulang kebijakannya menaikkan BBM. He.he. realistis sajalah mikirnya, apapun yang dituntut mahasiswa dalam setiap aksi demo selalu dianggap kentut sama pemerintah. Apapun yang terjadi, the show must go on. Kita harus tetap melanjutkan hidup dalam kondisi apapun. Mari kita bertahan dengan memikirkan alternatif agar bisa menekan konsumsi BBM, salah satunya dengan bersepeda ke tempat yang ngga terlalu jauh dari rumah. Kalo jauh ya naik angkot. Bersepeda di zaman ini lebih trendi daripada naik mobil lho.he.he.he
Posted by suarahimsa at 19:50 3 comments
Friday, 30 May 2008
Kenaikan BBM yang Benar-Benar Menyiksa
Harga minyak mentah dunia yang naik secara simultan menyebabkan beberapa negara termasuk Indonesia harus ikut menaikkan BBM agar bisa menekan laju inflasi. Tata dunia yang ada sekarang ini lebih dikuasai oleh kapitalisme yang amat liberal. Demi logika pasar, semua kebijakan bisa ditempuh dengan mengesampingkan semua logika yang berasal dari masyarakat miskin. Kapitalisme inilah yang sekarang menguasai kehidupan politik dengan menggunakan argumen pro-pasar. Negara mulai dipangkas fungsinya untuk melindungi kaum miskin. Seperti lagu lama yang terulang kembali, kenaikan BBM seperti menjadi sebuah ode pengantar untuk memasuki sebuah keterhimpitan dalam hal pemenuhan kebutuhan hidup sehari-hari bagi rakyat Indonesia.
Kebijakan yang tidak populer di mata rakyat inipun menuai protes dari berbagai kalangan mulai elit politik dari partai oposisi di DPR, mahasiswa sampai sopir angkutan kota. Mereka menuntut agar kenaikan harga BBM dibatalkan. Oh…betapa mudahnya mereka menyampaikan aspirasi tanpa studi wacana mendalam terlebih dahulu. Pokoknya tolah kenaikan harga BBM. Kalau ditanya balik : “Apa yang akan sampeyan lakukan jika sampeyan berada di posisi saya(pemerintah) menghadapi ancaman resesi global ini?, atau apakah sampeyan punya alternatif lain untuk mengurai masalah yang rawan ini ?, punya ide ato ngga?, kalo punya ayo dialog!” Saya yakin, diantara orang-orang reaksioner itu tidak ada yang berpikir ke depan dan mungkin tidak bisa menjawab. Hell no! Fenomena demonstrasi hanya merupakan letupan sesaat dan hanya menjadi euphoria heroisme yang memenuhi dada.
Tindakan anarkis menjadi pemandangan “biasa” yang setiap hari berseliweran di TV. Aksi-aksi yang seharusnya mengusung agenda penolakan tarif BBM mengarah kepada aksi yang tak terkendali. Kembali ke tujuan awal aksi demonstrasi yang seharusnya mengkomunikasikan pesan, menyuarakan aspirasi, menuntut penguasa untuk merevisi kebijakannya, akhirnya hanya menjadi sebuah pembenaran belaka untuk melakukan tindakan kekerasan. Berita TV yang kadang tidak mengcover sebuah peristiwa dari dua sisi, sering menggiring argumentasi pemirsa ke arah pemihakan kepada kelompok tertentu. Saya pribadi tetap berpihak pada rakyat. Karena saya tahu betul rasanya menjadi rakyat.
Tapi, apakah dengan mengatasnamakan rakyat, tindakan pengeroyokan terhadap polisi bisa dibenarkan ? Apakah mencorat-coret mobil plat merah dengan pylox bisa dibenarkan ? Apakah memblokir jalan raya yang seharusnya menjadi sarana publik bisa dibenarkan ? Saya kira tidak demikian. Mereka yang melakukan aksi itu gagal untuk gagah dalam membela rakyat. Rakyat yang mana yang simpatik dengan aksi-aksi anarkis seperti itu? Sekali lagi, polisi yang dikeroyok maupun pejabat pemerintah yang “kebetulan” lewat di depan aksi demo itu bukan representasi dari pemerintah yang mengesahkan kebijakan yang tidak pro-rakyat ini. Mereka juga rakyat yang sama-sama menanggung kenaikan BBM ini. Sampai kapan cara-cara konservatif seperti ini digunakan? Apakah tidak ada cara yang lebih smart dan elegan ? Dengan tidak mengurangi rasa hormat saya kepada mahasiswa, saya mendukung aksi penolakan kenaikan BBM tetapi tidak setuju dengan aksi-aksi mahasiswa yang berbuntut dengan kekerasan. Saya yakin, masih ada mahasiswa yang peduli dengan isu kenaikan BBM ini dan berpikir dari angle berbeda untuk mengurainya.
Bagaimana pun rakyat tidak pernah dapat menolak kebijakan kenaikan harga BBM ini. Apalagi, sikap penerimaan rakyat tidak pernah diimbangi dengan kebijakan yang melindungi kepentingan rakyat. Alasan pemerintah untuk menaikkan harga bahan bakar minyak (BBM) adalah supaya biaya subsidi bisa diberikan tepat sasaran, yakni kepada mereka yang miskin. Alasan yang dikemukakan ini memang begitu rasional dan logis. Logika yang dipakai oleh pemerintah selama ini bahwa yang menikmati harga BBM tersubsidi hanya orang kaya.
Di negara kita, setiap pemerintah membuat kebijakan menaikkan harga BBM, selalu muncul pertengkaran dua argumen, argumen penguasa dan argumen rakyat. Kedua argumen itu bertolak belakang dan selalu susah untuk sama-sama memahami. Jika kita berada dalam tempat yang netral, kedua argumen itu akan kita lihat sama-sama rasional, dalam artian bisa dimengerti secara akal sehat. Argumen penguasa menaikkan harga BBM adalah untuk mengurangi subsidi, menempatkan subsidi pada sasaran yang tepat, mengurangi angka kemiskinan.
Dengan perhitungan yang njelimet dan mumet, argumen ini coba disebarkan melalui bahasa-bahasa sederhana dalam iklan televisi pesanan pemerintah. Pemerintah menggunakan "tokoh-tokoh" artis yang dikenal publik sebagai representasi wong cilik. Pemerintah berusaha mencari cela-cela ke mana isu publik bisa dimasuki agar kebijakan kenaikan harga BBM ini bisa dipahami publik. Mereka datang melalui isu subsidi pendidikan, akses kesehatan untuk orang miskin dst. Masalah utama dalam hal ini tentu bukan popular atau tidaknya sebuah kebijakan diambil, melainkan pilihan yang amat mendasar ini harus dilatarbelakangi oleh pertimbangan yang jelas orientasinya. Yaitu pemihakan kepada kaum miskin. Kalau pertimbangan hanya semata-mata demi logika pasar, maka di mana kepedulian pemerintah untuk membela posisi kaum miskin yang sampai saat ini masih saja sengsara?
Argumen tandingan yang dimunculkan rakyat sebaliknya. Kenaikan harga BBM pasti akan menyengsarakan karena selalu diikuti dengan kenaikan harga non-BBM, yang pasti tak bisa dikendalikan secara tegas oleh penguasa. Kenaikan harga BBM pasti bukan untuk mengurangi kaum miskin, malah menambahnya. Lalu siapa pun tahu, the show must go on. Harga BBM selalu naik kendati ditentang. Demonstrasi untuk menentang sering hanya seumur jagung, dan harga BBM yang "mahal", tetap saja dikonsumsi oleh rakyat berapapun harganya. Kendati hal itu pasti tidak akan sebanding dengan kenaikan pendapatan yang mereka hasilkan.
Lalu, apakah dengan naiknya harga BBM, pemerintah bisa memberikan jaminan akan berkurangnya kaum miskin? Inilah yang seharusnya dijadikan pijakan pemerintah pasca-kebijakannya menaikkan harga BBM ini. Dan kini, harga BBM sudah naik. Orang kaya tidaklah terlalu bermasalah dengan kenaikan ini. Orang yang kaya dan jumlahnya sangat kecil di negara kita tidak perlu demonstrasi dan protes, karena dengan pendapatan yang ada sekarang, dipotong subsidi separuh pun, mungkin bagi mereka enjoy saja. Anjing menggonggong, kafilah berlalu. Padahal itulah yang tidak bisa dialami oleh orang miskin. Ketika harga BBM naik, harga kebutuhan untuk pabrik-pabrik pasti meningkat. Tetapi gaji para buruh tentu tidak serta merta dinaikkan, menunggu didemontrasi terlebih dahulu berbulan-bulan, bahkan bila perlu ada korban. Mereka yang miskin adalah mereka yang sudah pasang badan untuk digilas.
Posted by suarahimsa at 02:41 2 comments
Wednesday, 21 May 2008
Kisah Flannel dan Jeans Sobek
Trend berpakaian merupakan sebuah attitude, ekspresi diri dan manifestasi ide dari pemakainya. Trend berpakaian akan selalu menjadi panorama urban yang selalu mendampingi orang muda di setiap jamannya. Masing-masing era yang terdiri dari satu dekade selalu menonjolkan karakter yang aktual dan merepresentasikan situasi sosial, politik, dan budaya jaman itu. Tidak usah melihat ke belakang terlalu jauh, sebut saja flannel yang menjadi pakain wajib remaja di era 90an. Para pelaku kultur ini mencoba tampil ke permukaan untuk menegaskan kepada publik bahwa mereka ada dan melawan berondongan trend ala rockstar yang glamour dengan celana kulit dan rambut gondrongnya. Oh, betapa kasian para rocker itu. Pasti penisnya mengalami iritasi akibat ketatnya celana yang tak menyisakan ruang sirkulasi udara. Tapi, walaupun iritasi, “adik kecilnya”-nya ini tetap bisa beraksi untuk meniduri puluhan groupies setelah mereka tampil dalam konser. Benar-benar attitude rockstar sejati. Screw You!
Mengingat kembali ketika kakak-kakak tingkat saya mengenakan celana jeans robek, big-ass t-shirt, kemeja flannel kotak-kotak, sepatu converse lusuh, rambut agak gondrong acak2an, rasanya sudah tampil cool dan keren. Maklum saja, ketika itu saya masih asik main nintendo dengan permainan Mario Bros yang fenomenal itu. Game ajaib pada jaman saya itu seolah menjadi tingkatan paling mutakhir dalam dunia permainan saya. Ketika kakak-kakak tingkat saya mendengarkan Nirvana, saya masih mendengarkan lagu anak-anak Indonesia yang super konyol. Si lumba-lumba….bermain api….Si lumba-lumba….makan dulu…ah,pengalaman nonton sirkus aja bisa jadi hits.he.he.
Setelah browsing dengan memasukkan kata “grunge” di search engine, saya mendapat berbagai pencerahan.(thanks God, you’ve created a genius people who makes difficult things became easier,hell yeah). Rasanya ucapan ngawur Mark Arm, vokalis Green River sebelum bermutasi menjadi Mudhoney yang berkata “pure grunge,pure shit” untuk mendeskripsikan jenis musik band-nya telah membawa wacana baru tentang genre musik waktu itu. Lewat ucapan Mark itulah dikenal istilah Grunge Orang-orang lalu mendefinisikan musik ini dengan sebutan Grunge. Musik yang muncul di Seattle itu seolah menjawab kejenuhan anak muda Amerika dari bombardir musik glamrock ala Bon Jovi, Motley Crue, dan Guns n Roses. Siapa yang nggak kenal dengan band-band ini pasti sedang mengalami gangguan pendengaran akut :-). Band-band ini tampil dengan balutan celana kulit yang kelihatan bodoh dan konyol. Musik grunge pun dikenal luas, dari semula yang hanya mewabah secara nasional saja di Amerika, menjadi lagu wajib dengar bagi generasi muda di seluruh dunia. Grunge go international. Belum lagi kesuksesan luar biasa yang diraih album Nevermind yang terjual sekitar 10 juta kopi waktu itu, semakin membuat grunge menjadi kutul yang tidak bisa dilupakan di era 90an.
Ooh…ternyata fashion yang dikenakan kakak-kakak tingkat saya itu disebut fashion grunge. Fashion ini tentu saja tampil untuk melawan kenyamanan berpakaian kala itu. Rambut acak-acakan, celana jeans robek, tidak mandi sebulan adalah bentuk spirit anti-kemapanan kala itu. Apakah dengan tampil seperti itu, mereka sudah mengklaim diri mereka sebagai ikon perlawanan ? Awalnya memang seperti itu. Ketika Kurt Cobain, Eddie Vedder dan Kim Thayil tampil acak-acakan dan menjaga diri dari publikasi besar-besaran, muncul kesan rebel dan riot. Tersangka utama yang membuat fashion grunge menjadi ngetrend tentu saja adalah media massa. Setelah kematiannya yang kontroversial di tahun 1994, Kurt Cobain pun kini menduduki singgasana ikon pop culture bersama-sama dengan Norma Jean sebelum jadi seleb dan mengubah namanya menjadi Marylin Monroe.
Fashion yang terkait dengan musik dan mempengaruhi kultur, memang tak pernah lepas dari efek dramatis yang diciptakan media massa. Terobosan luar bisa yang bisa mengubah kultur berpakaian menjadi seragam dan terkesan keren adalah media. Ah, andai saja ada pemuda Indonesia yang bisa menciptakan peluang dikenal secara internasional karena tampil membawakan musik etnik yang di mix dengan electro dan tekno serta trance dan disco dengan mengenakan kemeja batik yang dipadupadankan dengan jeans belel, tatto dan piercing yang menawan. Kita tunggu saja kemunculannya.
Posted by suarahimsa at 01:51 4 comments
Friday, 9 May 2008
Andai Saja Saya Jadi Anak Indie Paling Mutakhir
Saya mungkin harus mempunyai kepekaan seperti anak-anak emo yang kadang membawakan lagu super-depresif untuk sekedar buka-hati terhadap realitas tidak mengenakkan yang saya hadapai. Boleh saja kalo kita bersifat apatis dan apolitis terhadap runyamnya kondisi bangsa ini. Tetapi mau tidak mau kita memang benar-benar tinggal di sini. This is our nation, what will you do to save it? Andai saja ada band emo yang menjadikan krisis energi di Indonesia sebagai dasar penulisan liriknya, itu sudah saya anggap sebagai persuasi aktif untuk berhemat energi. Dengan sedikit riset, browsing, rasa depresi, anti-pemerintah, egois, rokok dan bir, proses pembuatan lirik pasti akan sangat menyenangkan, mengharu-biru dengan optimisme baru, depresif dan emosional. Itu pengandaian saja jika saya menjadi seorang pemuda yang giat dalam organisasi subkultur berbalut referensi musik yang underrated bernama indie.
What the meaning of independent music anyway? I don’t really fuckin care! Bekalnya cuma semangat untuk mengapresiasi akutnya masalah krisis energi. Semangat itu tentu saja harus dibebaskan, kalo saja tidak bisa bebas, ya dipaksakan agar benar-benar bebas, tanpa pretensi apapun, sedingin mayat, bagai sayur tanpa garam, berkarya dengan melupakan logika industri. Hu..hu..gak hanya menceritakan elegi patah-hati, seperti pola-pola lagu kekinian yang begitu gencar melirik para ABG labil sebagai target marketnya. Yang jelas niat ini harus dibarengi dengan pembebasan pola pikir dari apa yang sering dilabeli dengan sebutan indie vs mainstream. Lupakan dulu tentang dua kotak yang membuat polarisasi trend yang memiskinkan intelektual. Atau apa lagi lah itu namanya, you name it. Yang jelas, whatever you label yourself, sampeyan sadar nggak kalo sampeyan sangat sering memasukkan diri sampeyan sendiri kedalam sebuah kotak kategori, yang mana di dalam kotak itu sudah ada aturan tentang ‘how to behave’, ‘what to wear’, ‘what to listen’, bahkan sampe ‘what to think about’? Kotak-kotak berlabel itu seolah-olah punya aturan sendiri yang harus diikuti.
Istilah indie sesungguhnya masih merujuk ke spesifikasi tertentu. Indie akan mampu dipahami secara proporsional bila ditelusuri ke konteks historis atau wacana terjadinya pembentukan istilah itu. Namun jarang ada media yang mau menggali lebih dalam. Sehingga “indie” cenderung dikotakkan sebagai musik laris manis yang cocok bagi selera awam. Sedangkan musik indie sesungguhnya yang underrated malah diabaikan. Hal semacam itulah yang kerap menimbulkan miskonsepsi publik bahwa “indie” semata-mata pola kerja dan kemurnian idealisme. Bagaimana bila sebuah band beridealisme mainstream tapi mereka berproduksi secara swadaya? Apakah itu termasuk indie? Tentu tidak. Karena independen secara minor label atau self-released tidak menjamin artis/label itu berkarakter indie. Seseorang yang berjiwa mainstream pun bisa saja menghasilkan karya berkarakter mainstream tapi dikemas secara “Do-It-Yourself” dengan dalih kebebasan ekspresi atau budget minim.
Musisi lokal yang memang ingin menjadi indie seharusnya banyak belajar dari situ sehingga mereka tidak menjadi popstar wannabe yang terobsesi gemerlap popularitas secara mainstream. Kurt Cobain bisa jadi contoh ideal sebagai figur musisi indie karena dia malah depresi saat musiknya kian terkenal dan pasaran. Dengan musik yang sangat catchy dan selling, sebenarnya banyak band indie yang berpeluang besar untuk menjadi artis jutaan kopi dengan menawarkan demo ke major label. Namun mereka tidak melakukan itu karena orientasi mereka bukan sekadar popularitas dan kemewahan, namun lebih kepada kepuasan personal dan idealisme dalam berkarya. Bahkan ada yang menolak tawaran manggung hanya karena skala pentas dan panggungnya terlalu besar.
Sikap semacam itu pun banyak ditunjukkan band indie lainnya dengan menjaga jarak dengan pers. Inilah contoh sikap “perlawanan” yang berbeda dari stereotipe artis mainstream.
Kembali ke topik utama, jika saya menjadi anak indie paling mutakhir saya akan membuat puisi pendek yang akan saya gubah menjadi lagu. Lagu itu akan saya beri judul “pragmatisme kebenaran”. Pragmatisme kebenaran tentang krisis energi yang sedang dihadapi bangsa ini.he.he. Kira-kira begini :
Pragmatisme Kebenaran
Ketika krisis energi jadi hip
Subsidi energi adalah ide yang buruk
Pesakitan ini pernah membuat Indonesia di overlap rivalnya,
sesama negara berkembang di Asia Tenggara,
keluar dari jeratan krisis era 90an.
Ketika popularitas pemerintah menurun.
Negara butuh pemimpin yang berani.
Menerjang angin mengurai badai.
Melakukan hal yang baik untuk rakyatnya,
bukan pemimpin yang hanya melakukan hal yang disukai rakyatnya.
Subsidi membuat infrastruktur transportasi masal tidak kompetitif.
Masyarakat memilih menggunakan mobil pribadi,
daripada menggunakan transportasi massal,
yang juga menjadi sumber pemborosan energi.
Banyak orang tetap berbondong-bondong ingin menjadi birokrat.
Menjadi rakyat terbukti kian sengsara.
Sementara menjadi birokrat?
Keuntungan materi berada di depan mata.
Terlepas bahwa apakah keuntungan itu diperoleh
dengan cara-cara yang semakin menyengsarakan rakyat.
Orang terus berusaha glamour dalam kesengsaraan.
Sayup-sayup meronta dalam kemilau kebudayaan pop.
Rupanya menjadi modern memang membawa impian dan janji-janji.
"Mimpi-Mimpi" kekayaan hasil konstruksi pasar.
Dalam monumen berukuran 14 inci bernama televisi.
Menghasilkan makna dari kebudayaan daur ulang,
Memoles dunia permukaan imanen,
Mencipta konsumer schizoprenik,
Mementaskan parodi dalam satu permainan rumit estetika realitas semu,
Menjerat masyarakat,
Menjejalinya dengan sebanyak-banyaknya informasi-hiburan tanpa henti.
Posted by suarahimsa at 19:09 0 comments
Sunday, 4 May 2008
Mengeruk Untung Lewat Para Pemuja Tubuh
Kata cantik merupakan sebuah terminologi klasik yang selalu aktual jika kita membicarakannya hari ini. Pada era 40an para Yankees memuja Marylin Monroe sebagai sosok yang cantik dan memenuhi standar visual yang estetis pada saat itu dan menjadikannya sebagai ikon populer hingga saat ini. Ketika era modern telah lewat dan era post-modern datang, kecantikan tetaplah menjadi sesuatu yang dikonstruksikan oleh media. Lewat iklan, film, karya tulis dan produk-produk budaya, cantik selalu identik dengan wanita berambut hitam lurus, langsing, berkulit putih.
Kekawin Arjunawiwaha Pupuh 3 memberi gambaran tentang tubuh perempuan : “Tubuhnya langsing, payudaranya besar, pinggangnya kecil, dan warna kulitnya kekuning-kuningan”. Sedangkan untuk komparasinya disebutkan bahwa perempuan ada yang kulitnya hitam, tidak suka tertawa, dan jika tertawa ia selalu berusaha menutupi mulutnya. Secara implisit definisi cantik ini mendeskreditkan ras manusia tertentu. Kitab karangan empu Kanwa ini menjadi sebuah local genius tentang idealisme kecantikan perempuan. Dalam arus globalisasi, ukuran kecantikan ideal menurut nilai-nilai lokal, digerus dengan kekuatan modal dan kapital yang termanifetasi melalui iklan. Masyarakat secara bearamai-ramai digiring pada konsespsi cantik menurut ukuran orang Indo-Eropa, bukan orang Inlander seperti kecantikan gadis jawa, misalnya.
Inilah kekejaman media yang jarang kita “waspadai” karena kita terus-menerus dibuat pongah oleh manisnya gula-gula bernama entertainment. Siapa yang tak setuju kalo
Iklan televisi berupa produk pemutih kulit menjadi medium hipnose, medium pembawa hibriditas bernama dan fiksi. Padahal yang tampil di iklan pemutih wajah dan kulit itu semuanya hanya simulakra, yang jauh melebihi realitas sebenarnya. Kaum perempuan lokal kita merasa perlu dan wajib berlomba untuk meraih predikat cantik menurut mata media. Mereka berlomba mengkonsumsi produk pemutih kulit (whitening) untuk melahirkan identitas baru sebagai perempuan modern dan kosmopolit. Menurut Vissia Ita Yulianto seperti yang dikutip Kompas 4 Mei 2008, ” Modernitas dan globalisasi membentuk masyarakat menjadi makin seragam, homogen, dengan standardisasi melalui teknologi dan hal-hal yang bersifat komersial. Penayangan produk-produk budaya komersial dari Barat-Hollywood, London,atau Paris dengan budaya tingginya yang prestisius telah menciptakan disparitas terhadap entitas kecantikan wanita di masing-masing negara yang mengkonsumsinya. Mengutip data AC Nielsen, pada kurun waktu Januari 2002 - Desember 2003, produk pemutih Ponds White Beauty-Skin Lightening di Indonesia meningkat drastis hingga 110 persen, dari 46 miliar rupiah menjadi 97 miliar rupiah.
Diluar segala permasalahan tentang gender dan diskriminasi, perempuan di Indonesia disibukkan lagi dengan budaya industri yang dilahirkan oleh sistem kapitalis yang mengalienasi individu dari masyarakatnya. Dalam globalisasi, yang tidak cantik dilarang berpartisipasi. Sebuah komedi yang tragis. Sepertinya para perempuan Indonesia yang tinggal di kota-kota besar dan suka pergi ke salon, spa dan mall untuk mempercantik diri sesuai tuntutan global, harus mendengarkan Declare Independence-nya mbak Bjork agar benar-benar merdeka dalam memilih menjadi diri mereka sendiri.
Posted by suarahimsa at 20:26 4 comments
Friday, 21 March 2008
Ciu : Perlawanan Kultural Terhadap Hegemoni Industri Hiburan Yang Tak Terbeli.
Ide untuk mengawali tulisan ini sebenarnya dipicu dari sebuah obrolan pagi khas mahasiswa di kantin kampus saya. Pagi itu saya ada janji dengan Om Kenthir ( salah satu senior saya di kampus yang sampai sekarang belum juga lulus..sekarang jadi sesepuh...he.he..) untuk mengambil softcopy contoh karya-karya tugas akhir. Setelah mandi dan mendengarkan soundtrack pagi hari dari playlist winamp di komputer, sayapun sarapan sampil manggut-manggut mengikuti irama lagu Dumb Reminder dari No Use For A Name. Motor butut sudah menunggu untuk ditunggangi, sayapun bergegas menuju kampus. Lalu lintas
Diawali dengan sapaan khas saya : “Piye bro, kabarmu ? skripsimu tekan ngendi ?”. Willy pun menyambut sapaan saya : “ Lha kowe dewe tekan ngendi?”. Saya pun bingung untuk menjawab pertanyaan yang seolah meminta pertanggungjawaban moral, ideologis dan karakter intelektual saya yang pas-pasan tentang apa yang disebut skripsi itu. Pertanyaan Willy membuat saya terdiam beberapa saat. Rokok menjadi teman berpikir untuk memanggil kembali short term memory saya. Dengan singkat saya menjawab : “ Aku mbaleni meneh seko awal, latar belakang penelitianku kurang kuat, terus aku dikon nambahi teori tentang kekerasan.” Willy hanya bergumam lirih : “ Ooooooo…ngono to…yen aku ganti judul penelitian, aku ora sido ngangkat tema stigmatisasi terhadap anak cucu eks
Setelah cukup melakukan obrolan ngalur ngidul tentang skripsi, sayapun bergegas untuk menemui Om Kenthir yang memang sudah janjian dengan saya. Inisiatif saya seketika itu muncul dan mengarahkan kaki saya menuju area hot spot yang baru-baru ini menjadi simbol kemajuan teknologi di kampus saya, walaupun terlambat begitu lama. Om Kenthir ternyata sudah berada di tempat itu, tempat yang menjadi favorit mahasiswa ketika sedang berada di kampus. Inti dari pertemuan itu, Om Kenthir meminta bantuan saya untuk membuat narasi untuk karya tugas akhirnya. Dengan senang hati saya akan membantunya, dengan harapan agar cepat lulus, dan tidak menyandang gelar sesepuh lagi diantara kami.he...he..he..
Sesampai di rumah, saya terganggu dengan tema skripsi yang diangkat Zeno tentang fenomena ngombe (minum)Ciu. Bagi masyarakat Solo, Ciu sudah menjadi hal yang sering didengar dan tidak asing lagi. Ciu adalah minuman beralkohol hasil fermentasi dari tebu. Kadar alkohol yang terkandung dalam Ciu bisa lebih dari 40%. Bila sampeyan belum pernah minum Ciu, jangan sekali-kali menenggaknya, karena akan menimbulkan sensasi rasa yang sangat aneh dan tidak enak. Jangan bandingkan produk asli Bekonang ini dengan Coca Cola yang menjadi tren gaya minum global. Jika sampeyan berani mencoba, saya sarankan jangan menenggak minuman ini secara murni atau lawaran. Tak menutup kemungkinan produk Amerika yang bernama Coca Cola itu sampeyan campur untuk menyelamatkan reputasi buruk rasa Ciu. Dalam hal ini terdapat akulturasi budaya yang cukup memikat. Budaya global tercampur dalam budaya lokal. Walaupun hanya representasi, tapi percampuran antara Ciu dan Coca Cola menjadi sangat relevan dan sangat dekat dengan fenomena budaya lokal kita yang mulai terkikis karena tidak mampu membendung derasnya budaya global. Kalau Ciu bisa tercampur dengan Coca Cola, kenapa budaya lokal yang lain tidak bisa bercampur dengan budaya global? Mungkin ini hanya analisa super ngawur saya. Jangan sekali-sekali mengamininya, saya anjurkan untuk menambahkan dan bahkan mengkritisinya.
Kembali ke Ciu lagi. Ciu merupakan alkohol murah yang dipaksa identik dengan kaum marjinal seperti preman dan anak jalanan dan selalu dikaitkan sebagai pemicu dengan kriminalitas. Beberapa riset menyebut ada korelasi antara pengaruh alkohol dengan tingkat kriminalitas yang tinggi, dan riset itu valid dengan kuatnya data-data di lapangan. Tetapi di luar segala stigma negatif yang ditimbulkan, Ciu merupakan sarana perekat dalam menjalin relasi pertemanan di kalangan kaum pemakai sendal jepit. Dengan menenggak Ciu, suasana obrolan menjadi lebih seru, karena orang yang sudah terkena dampak Ciu akan ngomyang. Bicaranya bisa lepas tanpa beban seiring dengan tingkat kesadaran yang menurun. Biasanya, kalo ada peminum Ciu yang sudah ngomyang, maka teman-teman yang berada di kalangan itu akan mengerjainya. Istilah jawanya ditanggap, karena orang itu seolah-olah seperti seorang penyiar radio tanpa konsep yang jelas. Bisa tiba-tiba mempertanyakan konsep Tuhan dan keberadaannya, bisa tiba-tiba mengharu biru dengan urusan cintanya, bisa tiba-tiba sangat optimis dengan hidup yang dijalaninya. Sebenarnya efek mabuk minum Ciu tidak ada bedanya jika kita menenggak minuman beralkohol yang sudah terdaftar ke Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Perbedaan yang signifikan dapat dilihat dalam segi harga. Satu liter Ciu biasanya dibanderol lima ribu rupiah. Seperti ungkapan teman saya yang juga penikmat Ciu : ”Lima Ribu Bikin Gokil!” he..he..he..
Dalam kacamata agama manapun, minuman beralkohol dianggap sebagai sesuatu yang haram. Mulai dari Rhoma Irama sampai FPI menghujat minuman ini. Sebenarnya segala macam bentuk hujatan itu hanya terfokus pada efek negatif minuman beralkohol yang mengganggu kesadaran dan potensial menimbulkan tindakan kriminal yang tidak sesuai dengan konsensus publik yang disebut etika. Dari kacamata medis, minuman beralkohol jelas bukan minuman yang sehat karena bisa mengganggu koordinasi sitem syaraf. Sepertinya koridor budayalah yang mampu memfasilitasi keberadaan Ciu. Masing-masing daerah mempunyai minuman tradisionalnya. Di Jogja kita mengenal Lapen, di Semarang ada Congyang. Karakteristik minuman beralkohol di masing-masing daerah berbeda-beda, baik dari segi rasa, kandungan alkohol, serta dalam event budaya apa minuman itu biasanya hadir.
Ada semacam fenomena budaya di Solo yang menjadikan Ciu sebagai pemicu kemabukan agar bisa lebih menikmati sebuah hiburan rakyat. Sebut saja dangdut. Setiap ada pertunjukan dangdut, baik itu di THR (Taman Hiburan Rakyat ) maupun di event-event yang cakupannya kecil seperti hajatan, bisa dipastikan Ciu hadir di tengah-tengah massa. Selain sebagai pemicu untuk mencapai kondisi mabuk, Ciu hadir sebagai bentuk perlawanan terhadap hegemoni industri hiburan yang tak terbeli yang hadir melalui MTV, I Pod, Mall yang seolah-olah menyeragamkan kesenangan dan selera kita. Kita merasa lebih civilized ketika minum kopi bergambar putri duyung di gerai sebuah Mall. Kita merasa lebih eksis ketika kita mampu mendengarkan lagu favorit kita melalui I pod. Kita merasa lebih trendi dan gaul bila kita pergi jalan-jalan ke Mall daripada ke pasar rakyat seperti di Sekaten. Berhala-berhala industri budaya pop itu memanipulasi kita, mengendalikan kita, dan mengkungkung kita dalam tuntutan-tuntutan untuk memenuhi hasrat konsumeris kita. Bagi kaum marjinal, anak jalanan, preman dan anak-anak muda yang merasa terpinggirkan oleh kehadiran berhala ala Amerika, Ciu + Dangdut + Goyang menjadi pertahanan dan perlawanan terakhir terhadap serbuan budaya global. Orang-orang itu mempunyai jiwa yang bebas dan bisa menjadi diri mereka sendiri. Mereka mempunyai selera dan cita rasa yang khas, terlepas dari penyeragaman cita rasa dan selera yang dilakukan industri hiburan global. Mereka tidak membenci hiburan-hiburan mahal dengan semangat primordial dan gaya perlawanan lokal. Mereka hanya butuh hiburan yang terjangkau di tengah-tengah himpitan kesulitan ekonomi. Mereka tetap eksis dengan pilihannya. Mereka masih ada di tengah-tengah kita.
Posted by suarahimsa at 18:53 4 comments
Wednesday, 13 February 2008
Happy Valentine Day
Momentum 14 Februari sebagai hari kasih sayang global tampaknya hanya menjadi komoditas budaya kapitalis semata. Hal ini dapat dilihat ketika Pusat-pusat perbelanjaan didominasi warna pink dan ornamen-ornamen berbentuk hati. Acara televisi mendompleng dengan menayangkan film-film romantis. Radio-radio memutar lagu-lagu romantis yang masuk dalam kategori everlasting. Produk-produk fashion dan
Sayangnya, Valentine Day dijadikan pembungkus
Makna substansial di hari Valentine dikaburkan dengan warna pink, bunga mawar dan sekotak coklat. Ikon-ikon itu seolah merepresentasikan cinta. Seperti ungkapan terkenal : katakan dengan bunga. Masalahnya, apakah dengan memberikan bunga kepada orang yang kita anggap penting, sudah merepresentasikan cinta? Sebenarnya mencintai bukanlah sebuah persoalan yang mudah. Hampir tidak ada aktifitas atau usaha yang dimulai dengan bermacam impian dan harapan yang begitu luar biasa namun mengalami kegagalan begitu saja, seperti halnya cinta.
Persoalan penting dalam mencintai adalah memberi. Dalam hal ini bukan soal bahwa dia telah mengorbankan hidupnya demi orang lain melainkan bahwa dia telah memberikan apa yang hidup dalam dirinya, dia memberikan kegembiraannya, kepentingannya, pemahamannya, pengetahuannya, kejenakaannya, kesedihannya dan semua ekspresi serta manifestasi yang ada dalam dirinya. Dengan tindakan tersebut, seseorang telah memperkaya orang lain, meningkatkan perasaan hidupnya sendiri. Cinta adalah kekuatan yang menghasilkan cinta, dan impotensi adalah ketidakmampuan untuk menghasilkan cinta. Pandangan ini dengan sangat indah dikemukakan oleh
Tetapi bagaimana perasaan orang-orang yang berada di tengah kecamuk kekerasan seperti di
Posted by suarahimsa at 22:06 2 comments