Hmmm...tulisan ini tampaknya seperti sebuah pelimpahan kesalahan atas fenomena yang sanagat ngetrend saat ini : pemanasan global. Arsitek adalah salah satu profesi yang menjadi cita – cita sejak kecil, disamping menjadi pilot dan dokter ( he.he. sangat mainstream ya...). Melalui tangan dan pemikiran para arsitek itulah, berbagai macam bangunan tercipta. Ato kalo kita pengen melihat bentuk mini dari sebuah bangunan yang akan dirancang, mereka akan membuat maketnya. Arsitek bukan hanya berkutat dalam bidang rancang-bangun bangunan fisik semata, arsitek juga bisa merancang kota, mengukir permukaan wajah kota dan akhirnya bisa mengubah wajah kota itu. Nah, arsitek semacam ini biasanya kuliah di jurusan planologi ato sistem rancang-bangun kota. Jika sebuah kota tidak disediakan fasilitas khusus bagi pejalan kaki dan pengendara sepeda, itu kesalahan siapa ? apakah kesalahan arsitek ?
Kota yang sangat polusif akan membuat warga tidak nyaman. Pekerjaan yang dilakukannya pun menjadi tidak optimal. Sayangnya, ini merupakan cermin dari kota– kota besar yang ada di Indonesia. Sejumlah warga yang ingin mereduksi emisi karbon dioksida mencoba melakukan terobosan dengan mencoba naik sepeda sebagai sarana transportasi. Akan tetapi niatan baik komunitas Bike To Work yang berbasis di Jakarta ini belum mendapat tanggapan maksimal dari masyarakat. Mereka bahkan harus menghirup udara kotor ketika mengayuh sepeda menyusuri jalan-jalan Jakarta. Gebrakan mereka yang cukup revolusioner ini baru akan berpengaruh ketika mendapat tanggapan secara massif dan ada fasilitas pendukung berupa areal khusus bagi pengguna sepeda.
Kembali ke arsitek lagi. Cukupkah dengan menyalahkan arsitek, kita bisa merasa tak bersalah atas pemanasan global ini ? Memang benar, arsitek dan birokrat yang menyebabkan warga kota menggunakan kendaraan bermotor untuk menempuh jarak pendek karena tidak ada trotoar ato jalur khusus untuk sepeda. Arsiteklah yang membuat orang malas berjalan kaki ato naik sepeda. Tangan arsitek jugalah yang membuat kota besar seperti Jakarta kehilangan ruang terbuka. Taman – taman kota tidak lagi optimal menyerap polutan. Tangan arsitek memanaskan kota karena menggunakan beton dan aspal untuk perkerasan jalan, panas tidak terserap dengan baik dan memantul lagi ke udara. Kenaikan suhu kota menyebabkan orang memakai AC yang juga merupakan kontrinutor emisi karbon di udara bebas. Arsitek, mau tidak mau memang ikut berpartisipasi dalam memanaskan bumi.
Ah...cukup sudah kita menyalahkan arsitek saja. Kita juga terlibat dan wajib berpikir kritis, bagaimana caranya mengurangi emisi karbon di udara. Karena bumi rumah kita bersama. Bumi kita sama – sama panas. Isu global warming memang benar – benar mengglobal. Ketika saya baca KOMPAS ( Jumat, 14 september 2007 ), saya tertarik dengan sebuah artikel yang menyebutkan bahwa pemenang Nobel Ekonomi, Profesor Joseph Stiglitz pernah menantang para arsitek untuk menyikapi isu pemanasan global dengan mendesain gedung hemat energi, dengan memanfaatkan sinar matahari sebagai peneranagan, tanpa listrik. Selain itu, rumah carbon-sink juga pantas untuk dipopulerkan. Rumah carbon-sink adalah rumah yang menahan karbon agar seminimal mungkin dilepaskan ke udara. Ide kembali ke alam, seperti mendirikan rumah dari bambu. Carbon sink merupakan terobosan baru yang harus dikembangkan oleh arsitek dan pebisnis properti untuk mengurangi suhu bumi yang terus meningkat ini. Jadi Arsitek tidak benar – benar bersalah kok..he.he..
Tuesday, 18 September 2007
(Bukan) Dosa Arsitek
Posted by suarahimsa at 22:20
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment