Wednesday, 26 September 2007

Utopia Sebuah Kultur Perlawanan


Kultur perlawanan adalah sesuatu yang menjadi sangat hip, karena ia percaya bahwa inilah alat terakhir bagi revolusi dalam sebuah masyarakat konsumer. Inilah ‘ideologi resmi’ yang menggerakkan banyak kultur perlawanan dimana-mana. Tapi sesungguhnya, ideologi semacam ini hanya menyembunyikan masalah yang demikian kompleks yang tak akan dapat selesai hanya dengan satu sapuan saja. Tak peduli seberapa besar semangat perlawanan terhadap status-quo yang dimiliki oleh kultur ini, ia masih menyembunyikan fakta bagaimana para pelakunya tak mampu menciptakan sebuah kondisi bagi mereka sendiri yang dapat mentransformasikan bentuk eksploitasi tradisional dalam masyarakat kapitalisme lanjut. Tidak jarang, para pelakunyalah yang berbalik mengkomodifikasikan kultur tersebut sendiri.

Problem terbesar dari industri kultur alternatif adalah ketiadaan ‘kriteria politis’ dimana kita dapat membedakannya dengan industri kultur lainnya. Dalam tataran paling dasar, semuanya memiliki satu agenda yang jelas: menghasilkan uang. Tapi ini juga bukan bermaksud mengabaikan tujuan-tujuan politis yang dimiliki oleh beberapa pihak seperti membangun sebuah kultur kontra-hegemoni yang dimunculkan dalam beberapa genre musik, yang menempatkan otoritas politik dan norma-norma kultural sebagai sesuatu yang patut dipertanyakan, yang apabila mungkin pada saatnya akan mendelegitimasikan status-quo. Dalam industri kultur, apapun kontradiksi yang terjadi, ia hanya akan menjadi sebuah dentingan ide segar, terlebih lagi di dalam sebuah masyarakat yang didominasi oleh prinsip jual-beli, dimana semakin individu terpisah dari komunitas sekitarnya menjadi sesuatu yang semakin baik. Masalahnya, misalnya dalam kultur perlawanan punk, walaupun pesan yang dibawa oleh musik tersebut sangatlah revolusioner, basis ekonominya sama sekali tidak. Untuk membuatnya lebih jelas, politik ekonomi yang dimiliki oleh banyak label rekaman—termasuk yang mengaku alternatif—sama sekali tidak berkaitan dengan ide yang dihasilkan oleh para artistnya. Ini adalah sesuatu yang selalu terjadi berulang kali dan menjadi perdebatan panjang di kalangan label, band, ataupun individu yang bergerak dalam kultur ini. Label-label rekaman independen yang kecil, menjual revolusi, tapi hanya hingga batas-batas tertentu, karena apabila mereka melangkah lebih jauh, ini masih menjadi sesuatu yang sulit untuk dilakukan.

Kebanyakan label-label independen masih bergantung pada kemauan baik para pengelolanya, yang jelas hanya mendapatkan uang jauh di bawah standar dan nyaris selalu bekerja overtime, yang memiliki kemauan untuk terus berkecimpung di dalamnya karena mereka memiliki visi politis yang besar, yang tampil secara implisit dalam tiap ‘produk’ rekaman yang mereka hasilkan. Hal ini masih menjadi sebuah langkah yang dapat dipahami, karena di Indonesia memang masih sangat sedikit ruang-ruang bagi mereka untuk berbagi perspektif ideologis dan politis. Yang membuat kultur perlawanan menjadi sebuah komoditi yang sangat berharga dimana para pengelola industri kultur alternatifnya bersedia mengorbankan waktu dan uangnya demi menghasilkan produk, adalah karena sangat sedikit kesempatan di tengah masyarakat Indonesia untuk mengekspresikan hasrat pemberontakan mereka serta memiliki audiens yang benar-benar memperhatikan mereka saat mereka melakukan hal tersebut. Banyak orang-orang radikal yang beraktifitas dalam label-label rekaman independen melakukan hal-hal di atas tadi karena mereka berpikir bagaimana caranya agar pesan mereka dapat diperdengarkan, karena mereka juga tahu benar bahwa tak ada orang lain lagi yang akan memperdengarkannya apabila bukan mereka sendiri yang melakukannya. Apa yang membuat mereka terus ada disana? Apakah hal ini adalah sekedar tentang bisnis yang membuat remaja, artist dua puluh hingga tigapuluhan, musisi dan pelaku kultur perlawanan terlibat dalam eksploitasi kerja yang tak pernah berakhir?

No comments: