Tuesday, 18 September 2007

Dor..Dor..Dor..Tar..Tar..Tar..

Kira – kira begitu kalo bunyi petasan dituliskan dalam kata–kata.he.he. Ramadhan memang identik dengan petasan dan kembang api. Ramadhan tanpa petasan kayaknya kurang afdol. Tetapi, belakangan ini penjual petasan dan kembang api sering kena razia dari aparat keamanan. Alasannya, membunyikan petasan dapat mengganggu keamanan dan membahayakan. Sering terjadi kasus kecelakaan yang konyol gara-gara membunyikan petasan. Petasan bukan hanya soal bahaya dan kegiatan merugikan masyarakat. Bagi sebagian orang, petasan bisa menjadi sumber rejeki untuk mempersiapkan kebutuhan-kebutuhan menjelang lebaran. Apalagi saat ini, perekonomian negara kita sedang labil. Labilnya perekonomian ditandai dengan kenaikan harga-harga kebutuhan pokok selama bulan puasa ini. Berjualan petasan dianggap sebagai lahan yang menjanjikan. Selalu ada alternatif untuk bertahan hidup walaupun psikologis kita sering ditimpa kepanikan, terutama di bulan puasa seperti ini. Walaupun para pedagang petasan dilarang berjualan, tetap saja ada yang nekat. Alasan yang klasik dan bakal kita dengar sepanjang masa adalah : demi mencukupi kebutuhan hidup.
Keadaan ini kayaknya menjadi perulangan dari tahun ke tahun. Perasaan panik karena tidak bisa mencukupi kebutuhan hidup sehari – hari manjadi semacam lirik mendayu – dayu lagu melayu atau musik pop ala Betharia Sonata. He.he. kepanikan ini dipicu oleh ulah spekulan yang seringkali melakukan penimbunan stok barang. Dalam kasus ini, orang yang kaya semakin tertawa sedangkan orang miskin semakin menjerit. Persis seperti vokalis band – band Screamo seperti Alexis On Fire, Underoath dan Emery.he.he. Meskipun ada anjuran dan pernyataan jangan main borong sendiri dan ungkapan “jangan khawatir, stok masih ada” tidak cukup menghibur. Dalam peristiwa kelangkaan barang – barang kebutuhan pokok ini, hukum pasar berlaku : kalo permintaan konsumen tinggi sedangkan stok barang sedikit, maka secara otomatis harga akan melambung tinggi.
Disinilah letak kekejaman pasar bebas. Mungkin melebihi kekejaman kapten Raymond Westerling ( penasaran khan, cari aja profile – nya di search engine. He.he ). Pasar bebas menyerahkan harga pada mekanisme pasar. Pasar bebas tidak pernah mau berkompromi dengan orang – orang yang berdaya beli rendah, sebuah istilah untuk memperhalus kemiskinan. Pasar Bebas, sebagai anak kandung Globalisasi memang menuntut kita untuk berlari cepat. Seringkali kita tersandung dengan dampak globalisasi dengan sentimen pasarnya. Pasar bebas dalam tataran global memang cenderung meminggirkan kelompok marjinal ( sudah kelompok tersingkir, eh makin tersingkir juga...reality is suck ). Pasar bebas adalah dampak paling signifikan dalam globalisasi. Maka, untuk menangkalnya, kita punya ahli – ahli ekonomi dan birokrat – birokrat yang seharusnya terjun ke lapangan dan mengamati pasar secara langsung. Operasi pasar kadang hanya sebatas ritualisme belaka. Hal ini tidak pernah ditindaklanjuti secara serius. Kita tidak mau dong, pasar terus menerus sentimen kepada kita..makanya, harus ada regulasi yang mengatur soal harga. Tindakan tegas memang pantas ditujukan kepada para spekulan yang mempermainkan harga seenak udel-nya sendiri. (udel=pusar) Buktinya masih banyak juga para penguasa pasar yang enggan bertoleransi alias urat sosialnya sudah putus. Mereka inilah yang perlu ditindak tegas, bukan cuma para penjual petasan saja. Jangan sampai penjual petasan marah, jangan - jangan bahan baku petasan diimpor diam - diam dari Iran berupa bubuk Uranium.he.he.he.

No comments: