Sampeyan yang tinggal di kota besar di Indonesia, pasti sudah tidak asing lagi dengan institusi bisnis bernama Mall. Bangunan teatrikal itu seolah menjelma menjadi fasilitator bagi para konsumen untuk merealisasikan dirinya untuk memenuhi hasrat pemenuhan
Perlahan-lahan Mall menjelma menjadi sebuah agen difusi, menjadi sebuah ruang kelas, yang di dalamnya manusia abad ke-21(termasuk saya dan sampeyan), bebas mempelajari seni dan keterampilan untuk menghadapi peran baru mereka yang sentral sebagai konsumer masa depan. Mall tidak lagi menjadi sekedar tempat untuk transaksi berang dan jasa. Mall mempunyai fungsi sebagai cermin citra sebuah masyarakat. Maka belakangan ini, banyak bermunculan anak-anak Mall(termasuk saya dan sampeyan lagi.he.he), yang dulunya mereka dibesarkan dengan kesumpekan pola pendidikan nilai ala Soeharto melalui P4 dan Pendidikan Moral Pancasila untuk menyeragamkan identitas bangsa timur yang ramah tamah. Mereka kini tumbuh untuk mencari sebuah konformitas, di tengah-tengah tekanan dan tatanan identitas tertentu yang dihasilkan oleh konteks hidup sosial budaya publik. Mall menjadi tempat dimana setiap orang bisa mengaktualisasikan gaya hidupnya, tempat setiap orang mencari identitasnya.
Melalui Mall, seorang Anak Baru Gede bisa mendapatkan eksistensi berlebih dibandingkan teman sebayanya dengan membeli sebuah I-Pod. Pola semacam ini tidak muncul serta merta karena hidup kita sehari-hari sudah sangat diatur oleh sistem konsumsi. Apa yang kita beli, kita konsumsi sehari–hari, menjadi identitas untuk menyatakan pada orang lain siapakah kita ini. Semakin tinggi kemampuan konsumsi seseorang, semakin terhormatlah ia di depan orang lain. Konsumsi atas barang dan jasa serta penguasaan materi tertentu sudah tidak mempertimbangkan unsur utilitarian lagi. Konsumsi akan sebuah produk (katakanlah I-Pod) bisa menimbulkan citra dan makna tertertu, misalnya lebih gaul, lebih funky, lebih melek teknologi, lebih cool, lebih terhormat dan lain sebagainya. Pada tahap ini, nilai – nilai yang terkandung dalam diri manusia menjadi kosong. Nilai – nilai itu tergantikan seiring barang yang dibelinya itu.
Mall bisa juga menjadi tempat orang belajar demokratisasi gaya hidup. Orang bebas memilih barang-barang yang akan dibelinya. Tentu saja barang-barang yang bisa mencitrakan gaya hidup, sementara barang-barang itu didesain sedemikian rupa oleh produsen melalui credo kapitalisme global, sehingga seolah-olah bisa berteriak : ”Beli...Beli...Beli....agar kamu bisa berpartisipasi...” Disinilah letak demokrasi dalam sebuah konteks antidemokrasi. Mall merenggut objek dari dunia orisinalitas objek itu sendiri. Objek-objek yang terpampang manis di etalase seolah menjadi objek virtual dengan hadirnya pemaknaan akan sebuah gaya hidup modern-kosmopolit. Mall tidak hanya menciptakan produk dan kebutuhan, ia juga mengelompokkan masyarakat ke dalam identitas-identitas berdasarkan gaya hidupnya, seperti eksekutif muda, cewek modis, pria metroseksual, dan tentu saja anak-anak mall. Maka ungkapan Rene Descartes tentang eksistensi/keberadaan menjadi agak melenceng menjadi : Aku Beli I-Pod, Maka Aku Ada. Inilah eksistensi simulakrum, melebihi eksistensi yang sebenarnya.
4 comments:
tulisannya bagus..kritis tapi kok kayak HOMICIDE ya..hahaahahh
terus berkarya bro
wah, saya ini amatiran kok mas. namanya juga baru belajar nulis...kadang ya ngawur, ah yang penting nulis dulu aja lah..he.he.sampai mata pena berkarat, sampai darah mengering, dan menolak untuk terisi kembali..he.he
Have u read La Societe Consommation by JEan Baudrillard
buat dony alfan :
saya belum baca total, tapi saya baca Posrealitas, Yasraf Amir Piliang, terbitan Jalasutra. banyak ngupas tentang cultural studies.
Post a Comment