Tuesday, 18 September 2007

Cukup Seribu Rupiah Saja

Bagi saya dan sampeyan, uang sebesar seribu rupiah mungkin tak seberapa. Misalnya saja, ketika hendak buang air kecil, kita mengeluarkan uang seribu rupiah. Membayar parkir, kita kehilangan seribu rupiah. Bahkan kadang – kadang kita rela memberi seribu rupiah kepada pengamen dengan skill pas – pasan yang sedang membawakan lagunya Matta Band, yang kira – kira liriknya begini :
o...o....aku ketauan...
pacaran lagi....
dengan dirinya....
teman baikku....
and so called ”suck” he.he. Sudah tiga bulan terakhir ini, ketika saya menginjakkan kaki di kampus, saya selalu tergoda untuk mengeluarkan uang seribu rupiah untuk membeli koran. Wah, murah sekali….dengan seribu rupiah saja saya bisa mengetahui informasi aktual yang terjadi di berbagai dunia. Memang, konsep global village - nya pak Marshall McLuhan sangat relevan dalam peristiwa koran seribuan ini. Kita bisa menghadirkan realitas yang ada di dunia dalam genggaman kita. Koran yang ada di genggaman sayapun bukan koran ecek – ecek ato koran harian sore yang memang dijual murah pada keesokan harinya. Dengan seribu rupiah koran sekelas KOMPAS sudah berada di tangan. Namun, apa sensasi koran seribuan ini bagi pembacanya ?
Selama 14 tahun, saya besar dalam sebuah orde. Biar keren saya sebut The New Order sajalah.he.he. Saya juga menyaksikan ketika terjadi gerakan revolusioner bernama reformasi yang mengakibatkan orde itu tumbang. Saat ini saya dan sampeyan sudah berada dalam derasnya arus teknologi informasi yang kadang – kadang kebablasan. Arus informasi dari media massa setiap saat membanjiri otak kita. Padahal, perbincangan mengenai media massa, ketakanlah koran, pasti tidak pernah luput dari kepentingan ekonomis dan politis. Koran tidak benar – benar independen dalam menyampaikan informasi. Kita sebagai pembaca seringkali bersifat pasif dan menerima begitu saja informasi yang diberitakan dalam koran itu. Secara tidak kita sadari, kita menjadi sebuah komunitas silent majority.
Dalam masa orde baru dulu, pemberitaan dalam media massa tampak seragam. Beritanya juga itu – itu saja. Pokoknya sebagian besar media massa memberitakan tentang keadaan Indonesia yang aman – aman saja, sedang memasuki era tinggal landas bersama Repelita dan menjunjung tinggi nilai – nilai P4. Apalagi perpanjangan kekuatan ekonomi dan politik Orde Baru didukung sepenuhnya oleh Militer dan TVRI sebagi satu – satunya TV nasional. Pemberitaan yang dianggap Subversif langsung dipukul mundur. Dengan kekuatan itulah mengapa komunitas pembaca koran selalu bungkam melihat keadaan yang seolah – olah memang benar karena fakta tidak ditampilkan secara terang – terangan. Padahal kalo buka – bukaan khan lebih seksi.he.he.
Kini, setelah orde baru tumbang, kita bisa melihat berita dengan lebih seksi karena segala fakta diungkapkan secara terang – terangan. Ada sesuatu yang membuat saya tertarik. Dulu ketika dalam masa orde baru, orang muda bisa bangkit melawan otoritas dengan informasi yang serba tertutup. Kini dengan fakta yang terang – terangan kenapa orang muda ( termasuk saya ) tampak adem ayem saja ya ? Apakah kursi hiburan membuat kita lupa akan realitas yang kita hadapi ? Ah, tak taulah...yang penting bagi saya, membaca koran seribuan adalah sebuah bentuk perlawanan yang radikal terhadap sikap nyaman dan malas berpikir yang saya miliki akibat derasnya hiburan.

1 comment:

deFranco said...

Yup...saya seneng banget ada program KOMPAS 1000 perak dikampus kita, tapi kayaknya kasian juga yang jualan koran disekiling kampus kita itu lho...pasti omzet mereka turun drastis setelah ada koran seribuan ini...cukup 1000 rupiah, dunia digenggaman kita...