George Gerbner, pencetus teori Kultivasi, melihat pengaruh kekerasan yang ditayangkan televisi bagi khalayaknya. Hasil penelitiannya menunjukkan efek kultivasi, atau penanaman realitas, pada penonton heavy viewers. Penonton yang tergolong pecandu berat televisi ini menganggap bahwa realitas televisi tak berbeda dengan realitas di dunia nyata. Artinya, mereka menganggap bahwa pemberitaan perang, kriminalitas, dan konflik para pesohor di televisi ialah realitas dunia yang sesungguhnya. Televisi tidak sekadar memberikan pengetahuan, atau melaporkan realitas peristiwa. Lebih dari itu, televisi berhasil menanamkan realitas bentukannya ke benak penonton. Mungkinkah efek media dibesar-besarkan Gerbner dengan Teori Kultivasinya? Sah-sah saja jika praktisi dan pemilik media massa mempertanyakan ini. Namun, dari sekian banyak teori tentang efek media, sedikit sekali yang mengabsahkan tayangan bertema kekerasan di media.
Bagaimana dengan pengaruh "kekerasan" dalam program televisi terhadap anak-anak di Indonesia? Media massa beberapa kali memunculkan pemberitaan seputar kriminalitas yang dilakukan oleh anak-anak di bawah umur. Pihak media memang bisa berkilah bahwa apa yang mereka tampilkan dalam tayangan kriminalitas berbeda jauh dengan VCD -televisi sebagai medium berita bukan VCD player atau VCD rental. Tapi, bukankah tidak sedikit pula adegan percintaan remeh temeh sejenis yang juga ditampilkan di media lewat program hiburan, informasi, atau film-film yang luput dari sensor media? Jika agresivitas seksual bisa diinspirasi oleh adegan yang tampak di layar kaca --dari manapun sumbernya-- bukan tidak mungkin jika tayangan informasi kriminalitas di televisi juga menginspirasi modus operandi untuk bertindak serupa!
Kecemasan yang berlebihankah ini? Boleh jadi. Asumsi yang mengambinghitamkan media massa sebagai sumber perilaku agresif kerap dikritik pula karena terlampau menyederhanakan atau menafikkan faktor-faktor lain yang tidak kalah potensial dalam memicu perilaku agresif. Misalnya faktor depresi dan pengalaman traumatik. Tapi, kalaupun peniruan modus operandi kriminalitas dianggap berlebihan, toh efek kriminalitas di televisi tetap saja perlu diwaspadai ketika muncul dalam bentuk desensitisasi kekerasan.
Desensitisasi kekerasan, atau penumpulan kepekaan terhadap kekerasan merupakan gejala yang umum terjadi ketika kekerasan tak lagi dianggap sebagai hal yang luar biasa. Maka, tatkala masyarakat diterpa oleh informasi kekerasan, dan menganggap realitas media tak beda dengan realitas nyata, perilaku kekerasan pun disahkan dalam kehidupan sehari-hari. Seperti itulah kiranya yang terjadi, ketika masyarakat ramai-ramai menghakimi pelaku kriminalitas. Memukuli maling sampai mati, membakar hidup-hidup orang yang dicurigai sebagai perampas ojek (yang ternyata bukan pelaku sesungguhnya!), mengarak dan menggunduli (belum termasuk penyiksaan fisik) anggota masyarakat yang dicurigai melakukan perselingkuhan, dan sebagainya.
Kalau dahulu banyak yang takut melihat pertumpahan darah, dengan adanya gejala desensitisasi kekerasan, maka darah dan kekerasan menjadi hal yang biasa. Anak-anak ramai-ramai menonton pertunjukan kekerasan ini, kadang malah turut berpartisipasi. Kita patut bertanya, pelajaran berharga apa kiranya yang bisa diperoleh dari pertunjukan kekerasan semacam itu?
Tuesday, 18 September 2007
Pendidikan Kekerasan Ala Monitor 14 inch
Posted by suarahimsa at 22:21
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
3 comments:
Kebetulan akhir2 ini saya lagi banyak membaca buku2 ttg media, khususnya televisi.
Ada ahli yang bilang bahwa kekuatan utama televisi adalah pada sisi realism-nya. Meskipun begitu ada pula yang kontra dan menganggap apa yang ada di tivi bisa jadi dilebih-lebihkan atau diserius-seriuskan, padahal realitasnya tidak seperti itu.
Televisi memang tidak akan habis untuk diperbincangkan.
Jangan cuma mengakses media, jadilah media itu sendiri, dan kuasai dunia, mari belajar dari Ted Turner atau Ishadi SK. Rawk our world!
Dari berbagai buku kacangan yang saya baca, disitu disebutkan kebanyakan para penguasa dunia yang cenderung diktator pasti selalu menguasai media sebagai alat pelanggeng kekuasaannya, artinya apa? artinya bahwa media disini memang mempunyai efek yang sangat besar... Jadi alangkah baiknya jika mulai sekarang kita tanamken di otak kita bahwa suatu saat kita akan menjadi salah satu penguasa media tersebut, jangan cuma di kuasai oleh media...garing banget yo Mo komen ku...luwehlah...utekku nyandake yo mung semono e....
Mari orgasme di depan televisi! Mari menyaksikan selingkuhnya selebriti, mari buang hajat di depan televisi, mari menyaksikan sinetron yang tayang tiap hari, mari nonton orang2 apatis yang mengisap ganja di televisi dengan shot big close up. Mari didik anak di depan televisi! Mari obral sex di televisi, mari jual obat kuat di televisi, mari jual obat penumbuh rambut di televisi, mari menangis di depan televisi bersama Oprah, mari mencari uang di Super Deal!
Mari nonton perang di televisi, mari membaca berita bersama Pritha Laura atau Fifi Aledya Yahya, mari belajar ideologi lewat televisi, mari bakar buku2 kiri dan ganti dengan televisi, mari belajar membuat film bersama keluarga Punjabi, mari produksi film horor dan menciptakan setan tanpa kolor!
Mari bikin anak bersama televisi, mari belajar korupsi dari televisi, mari melihat orang bunuh diri di televisi, mari liat artis sedang oral sex dan merekam dalam format 3GP!
Mari ganti ganja dengan televisi, mari melihat kemiskinan di televisi, mari jual agama di televisi, mari jual harga diri di televisi, mari jual bayi di televisi!
Mari makan bareng Om Bondan "Mak nyus", mari ngiler di depan televisi, mari belajar masak bersama Williem Wongso, mari masak dinosaurus bumbu pedas di televisi!
Mari menjadi manusia bersama televisi, mari menjadi orang urban di televisi, mari menjadi kere di televisi, mari berkencan bersama Maria Eva, mari bercumbu dengan Julia Perez!
Mari-mari-mari, mari mati bersama televisi!!!
Post a Comment