Tuesday, 30 October 2007

Apa yang anda pelajari dari ILMU KOMUNIKASI?


Dedicated to : Doni Putra Daerah & Joell Gunemanku

Dear my friends,
Belakangan ini saya kok sempat risih mendengar gosip bahwa jurusan yang kita ambil di kampus kita tercinta ini tidak memenuhi kualifikasi lapangan pekerjaan. Sumpah, saya benar - benar risih mendengarnya. Bagaimana dengan sampeyan ? Apakah risih juga seperti saya ? Lama - kelamaan, saya sempat meng-under estimate institusi tempat kita bernaung sekarang ini. Visi dan misinya kok menuju ke arah kapitalisme pendidikan, perkuliahan dijadikan barang dagangan tanpa mau ber-emansipasi dengan peserta didik dalam hal perbaikan kualitas dan mutu pengajaran. Seolah-olah mahasiswa menjadi manusia kelas dua di kampus. Strata sosial mahasiswa selalu di bawah dosen untuk ukuran intelektual. Ini cara berpikir zaman Orde Baru dulu, ketika orang yang lebih pintar(dosen) selalu benar. Kapan mahasiswa kedudukannya bisa equal dengan dosen dalam hal transfer pengetahuan? Orientasi saya untuk mendapatkan ilmu komunikasi massa yang handal akhir-akhir ini melempem, kayak krupuk yang toplesnya lupa ditutup. Huh..sebenarnya saya mau menyalahkan pihak-pihak yang menurut hemat saya, harus bertanggung jawab. Tapi apakah dengan sekedar menyalahkan, akan menyelesaikan masalah? Akhirnya saya berpikir, sekuat apapun argumen saya untuk minta pertanggungjawaban, saya ini cuma “manusia kelas dua” di kampus yang jurusannya tidak memenuhi kualifikasi.ha.ha.. Cukup sudah saya ngomel tentang keadaan kampus kita. Capek, ngga ada yang dengerin. Teman-teman, selama proses perkuliahan, apa yang teman2 dapatkan mengenai komunikasi ? Doktrin - doktrin dari dosen-dosen konvensional di kampus kita sudah sangat uzur dan tidak up to date. Lha wong mahasiswa itu khan bisa baca buku,bisa browsing di internet, bisa beli KOMPAS seribuan,bisa berinteraksi di blog, eeee… lha kok didikte tentang teori2 yang njlimet dan kadang belum tentu benar menurut para praktisi yang sudah mengalaminya di lapangan pekerjaan. Sangat lucu dan ironis. Kapan sistem pendidikan kita mulai melibatkan praktisi, jika tujuan akhirnya mau mencetak sarjana-sarjana yang handal dibidangnya. Ah, sudahlah…daripada kita budrek dan mumet, mari kita ngomongin dimensi-dimensi yang ada dalam ranah komunikasi itu sendiri. Hitung-hitung buat belajar. Hmm, kita memperbincangkan Handphone sajalah..sebagai salah satu gadget wajib dalam era teknologi dan informasi saat ini. Ketika saya membaca blognya mas Joell yang unik dan khas dengan identitas kelokalannya, saya tertarik dengan HP yang nampang di sana. Saking cintanya, mas joell ndak mau untuk mengganti HP-nya yang udah ngga up to date lagi menurut saya. Eh, tanpa saya sadari, sekarang-pun saya juga menggunakan HP yang ndak kalah ndeso-nya dengan HP milik mas Joell.he.he. Memang sih, sekarang ini kita sedang memasuki “zaman informasi” yang serba online dan bisa sangat sulit untuk berkomunikasi, jika kita tidak memegang HP. Hingga saat ini, lambang atau simbol zaman informasi adalah teknologi multimedia yang berkembang dengan pesat sejak ditemukannya internet. Dengan riset dan inovasi yang simultan, telepon genggam siap mengambil alih dan memasukkan Internet ke dalam imperium komunikasinya. Barangkali aspek yang paling berpengaruh dari mobilisasi adalah kemampuannya mengubah definisi zaman komunikasi, dan karenanya juga mengubah bayangan tentang masa depan yang dimulai sejak saat ini. Saya kok kepikiran, jangan-jangan, komunikasi melalui HP adalah komunikasi antara HP satu dan HP lainnya, bukan orang satu kepada orang lainnya. Alat yang saling “berkomunikasi” itu melakukan hubungan. Sekali lagi, alat-alat itulah yang mampu berkomunikasi dengan bahasa baru. Manusia sebagai pelaku komunikasi menjadi terasing ketika menggunakan HP sebagai alat komunikasi. Tampaknya HP masa depan bukanlah merupakan alat yang benar-benar berpengaruh dan menarik, tidak ada satupun dari hal-hal itu yang perlu diperdebatkan. Namun, karena HP akan menjadi alat yang begitu penting, maka bagaimana ide tentang berbagai fitur tambahan dalam sebuah HP akan menjadi hal yang penting untuk memudahkan manusia. Sekarang ngga perlu susah-susah ke warnet ato bawa2 laptop ke area hotspot, dengan E90, seri communicator terbaru keluaran NOKIA, kita bisa ngacak-ngacak dan berselancar ke berbagai jaringan favorit kita. Pada awalnya HP dihadirkan sebagai alat yang berfungsi memudahkan komunikasi antar individu, pada akhirnya revolusi teknologi informasi tanpa kabel ini justru menciptakan pergeseran-pergeseran bentuk dan makna dari aktivitas komunikasi itu sendiri. Pergeseran ini tidak hanya melampaui teknologi saja, tetapi juga memasuki pergeseran kultural. Sekarang ini kita memasuki masa dimana HP telah menjadi bagian dari gaya hidup. Gaya hidup bisa dilihat hanya dengan melihat HP apa yang digunakan seseorang, karena melalui HP seseorang bisa mengekspresikan dirinya. Berkomunikasi tidak hanya menjadi aktivitas yang menyenangkan, tetapi juga menguntungkan. Dengan modal dan tenaga yang terbatas, didukung oleh revolusi teknologi, sampeyan dapat melakukan komunikasi dimana saja, kapan saja dengan siapa saja dan untuk kepentingan apa saja. Ruang dan waktu menjadi sesuatu yang begitu lentur untuk ditembus, sekat - sekatnya dulu yang kokoh, kini hanya dengan memasukkan password, kita sudah bisa memasuki sebuah dunia dengan interaksi tanpa batas ruang dan waktu. Begitulah persepsi saya tentang HP dalam ranah komunikasi modern. Saya minta tanggapan dari sampeyan. Jangan lupa, walaupun kita termasuk mahasiswa yang tidak memenuhi kualifikasi, setidaknya kita cukup berkualitas dalam hal bikin posting. Ha.ha.ha. Hidup blogger

Sunday, 28 October 2007

Didikte Pasar



Di Indonesia, Nokia seri Communicator digemari pria dan wanita dan dijadikan status simbol oleh siapa saja, termasuk para lurah di berbagai daerah di Indonesia. Padahal, di pasaran Indonesia mulai banyak ponsel cerdas yang dijajakan dari berbagai merek ternama dengan fitur, teknologi, maupun desain yang tidak kalah menarik.

Komputer genggam yang dikenal dengan sebutan PDA phone, yang masuk ke Indonesia dengan berbagai macam merek pun masih sulit untuk bisa menyaingi seri Communicator ciptaan orang-orang Finlandia tersebut. Semua penggemar Communicator terpaku dan tergiur begitu Nokia mengumumkan seri E90-nya yang terbaru.

Perkembangan ponsel cerdas belakangan ini memang menjadi semakin menarik, di luar fenomena Nokia Communicator tentunya. Sudah lama merek-merek ternama dunia seperti Motorola dan Sony Ericsson memperkenalkan ponsel cerdas dengan berbagai kemampuan, rancang desain yang menarik, serta harga jual yang masuk dalam kategori ponsel high-end.

Kehadiran ponsel cerdas oleh berbagai perusahaan manufaktur ternama dunia selalu ditunggu oleh para penggemar gagdet. Entah karena hobi untuk setiap kali mengganti ponsel yang digunakannya atau untuk keperluan lain, semua orang antusias menantikannya.

Ketika Nokia memperkenalkan penerus produk seri Communicator-nya, misalnya, pekan lalu, semua orang pun memusatkan perhatiannya karena acara tersebut memperkenalkan ponsel cerdas terbarunya, seri E90. Semua perhatian tertuju, menantikan dan menyimak dengan benar apa yang dijadikan andalan pada produk terbaru yang akan dijual pertengahan bulan depan tersebut.

Yang menarik, pada acara perkenalan E90 kepada komunitas pengguna Nokia Communicator Indonesia, produk E90 ketika dilelang berhasil mencapai angka penjualan yang fantastis sampai Rp 45 juta. Ini adalah harga ponsel cerdas termahal di dunia dan lebih mahal dibanding iPhone buatan Apple yang juga dinantikan banyak orang.

Ponsel cerdas memang menjadi fenomena menarik. Banyak faktor yang ikut menentukan. Fitur dan teknologi merupakan satu faktor. Dan menjadi ciri alamiah, kita memang condong untuk mengagumi kemajuan teknologi, terutama miniaturisasi yang memungkinkan sebuah gadget menjadi lebih ringkas.

Di Indonesia ada faktor lain. Namanya gaya hidup. Hanya di Indonesia ponsel cerdas seri Communicator buatan Nokia yang memiliki penggemar paling besar di dunia. Sehingga tidak mengherankan, Nokia kemudian memutuskan untuk menjual Nokia E90 pertama kali di Indonesia sebelum masuk ke pasaran negara lain.

Gaya hidup memang bukan ciri khusus pengguna ponsel cerdas di Indonesia. Sampai sekarang memang tidak ada penjelasan yang memuaskan kenapa seri Communicator sejak pertama kali menarik animo banyak orang dan diperkirakan sudah ada sekitar 500.000 unit Communicator yang dijual di Indonesia sejak seri 9000.


Thursday, 25 October 2007

Kecemasan dari sebuah dialog pagi di TV



Krisis Membayang. Begitulah judul sebuah bedah editorial Media Indonesia yang saya saksikan tadi pagi ( 24 Oktober 2007 ) di Metro TV. Dalam acara itu ada mas Tommy Cokro yang guanteng dan Bung Laurens Tatu anggota dewan redaksi Media Indonesia. Masalah yang dibahas dalam dialog ini adalah sebuah kecemasan akan sebuah momok bernama krisis ekonomi. Saya dan sampeyan pasti masih ingat betul akan krisis moneter yang menghantam Indonesia pada tahun 1997-1998. Kayaknya, ketakutan – ketakutan itu akan muncul lagi. Tapi lucunya, menteri ekonomi kita, pak Budiono mengatakan bahwa keadaan ekonomi Indonesia tetap pada level yang stabil dan aman. Hmmm…kayaknya beliau terus menerus menghibur rakyat dengan ungkapan tersebut.

Tak bisa kita pungkiri, bahwa perekonomian kita terlibat dalam perekonomian global. Apa yang terjadi dalam perekonomian global tentu saja akan berdampak pada kondisi perekonomian nasional kita. Alasan klasik muncul lagi dalam perekonomian global : kenaikan harga minyak mentah dunia yang diprediksi akan mencapai 100 USD per barel. Walah – walah, lha wong harga minyak mentah yang sekarang saja sudah membuat rupiah rontok, apalagi mencapai 100 USD per barel. Tentu saja kenaikan harga minyak dunia ini akan membawa konsekuensi berupa meningkatnya laju inflasi dan melemahnya pertumbuhan ekonomi.

Karena sifatnya interaktif, acara dialog pagi itu melibatkan beberapa penelfon. Para penelfon itu rata-rata mengungkapkan kecemasan yang sama terhadap kemungkinan terulangnya krisis ekonomi. Ngga usah jauh-jauh, kemaren waktu BBM naik pada tahun 2005, banyak terjadi kasus yang sangat khas…mulai dari perusahaan yang gulung tikar, pemutusan hubungan kerja, penganguran bertambah, sulitnya lapangan pekerjaan, banyak sarjana menganggur, barang kebutuhan pokok melambung tinggi, kemiskinan bertambah, angka kriminalitas meningkat, dan bla.bla.bla..kayaknya dari dulu sampe sekarangpun kita masih saja dekat dengan masalah – masalah itu..ya beginilah nasib negara berkembang yang terlibat dalam Globalisasi yang katanya memakmurkan…non sense! yang ada hanya : negara yang kaya akan semakin dikayakan(semakin dibuat kaya) dan negara yang miskin akan dimiskinkan (semakin dibuat miskin).

Inilah persoalan besar yang sedang kita hadapi. Kita ngga mungkin bisa sembunyi dari krisis, kalo itu benar-benar terjadi. Kita hanya bisa menghindar dengan melakukan antisipasi dini dengan memperkuat ekonomi rakyat. Wah, lucu juga kalo masih saja memperbincangkan ekonomi rakyat di tengah terpaan sistem ekonomi kapitalis neo liberal, dimana terjadi persaingan sempurna dan mekanisme pasar menjadi kredo. Ngga bakalan ada toleransi bagi yang ketinggalan. Dari situasi inilah, World Bank dan IMF tampil menjadi penolong yang baik hati dengan bantuan ekonominya..he.he..

Gimana mau jadi penolong, lha wong Amerika Serikat yang anggota IMF ngurusi masalah kredit rumah saja masih kelimpungan. IMF tidak bisa berbicara banyak tentang akar krisis yang sedang mengancam ini. IMF hanya sekedar memberi rekomendasi tentang perlunya kehati-hatian menghadapi krisis yang tak terbayangkan sebelumnya. IMF tak mempunyai kemampuan yang memadai. Ini menjadi pelajaran bagi para ahli ekonomi kita ( yang kebanyakan lulusan University of California Berkeley ) untuk segera bertindak, bukan sekedar ngeyem-yemi/menghibur rakyat terus. Rakyat sekarang sudah pinter dan ngga bisa untuk sekedar dihibur saja.

Tuesday, 23 October 2007

Your Revolution Is A Joke


Sekarang ini saya coba menuangkan uneg-uneg, dengan ditemani playlist andalan yang terpampang rapi di software pemutar mp3 klasik. Hmm..Tadi saya menonton “Saksi Mata” di Global TV yang kira-kira tayang jam 19.30 ( Kamis, . Berita utamanya tentang bentrokan antar sesama anggota Pemuda Pancasila di Makassar. Bentrokan tersebut dipicu oleh perbedaan pendapat mengenao pembangunan Mall di lapangan Karebosi yang merupakan landmark kota Makassar. Kebetulan, saya mendapatkan suguhan visual yang menampilkan pengeroyokan seorang anggota Pemuda Pancasila oleh rekannya sendiri, karena menolak pembangunan Mall di lapangan yang menjadi ikon kota Makassar tersebut. Hampir tiap sore, tayangan-tayangan kekerasan kok semakin membanjiri stasiun TV kita. Tidak usah disebutkan dampaknya, sampeyan pasti juga langsung akan tau. Memang, bisnis pertelevisian kita kadang mengesampingkan kode etiknya, tapi apa boleh buat, Komisi Penyiaran Indonesia yang menjadi regulator-pun, dibuat mati kutu. TV seolah-olah membawa kekuatan magis yang bisa menghantarkan peristiwa kekerasan itu ke tengah-tengah ruang keluarga ketika kita, dan melebihi realitas sesungguhnya.

Kekerasan demi kekerasan dapat kita amati setiap hari melalui media massa. Kalo sampeyan memperhatikan, dalam sebuah perstiwa kekerasan pasti terdapat unsur-unsur yang membentuknya. Saya coba membuat sebuah skema kekrasan menurut versi saya. Kira -kira begini : sebab/motivasi --- pelaku --- tindakan fisik/non-fisik --- korban --- dampak fisik/non-fisik --- sebab/motivasi. Yup, seperti itu penggambarannya. Saya melihat bahwa setiap peristiwa kekerasan itu sebagai sebuah siklus dan akan terus memproduksi kekerasan-kekerasan berikutnya. Dalam hal ini, kita tidak akan bisa menghentikan sebuah kekerasan tanpa memotong siklusnya.Itu baru dari kasus kekerasan yang melibatkan dua pihak yang saling bertentangan. Ternyata, dimensi kekerasan itu sangat luas, apalagi kalau kita coba melihatnya dari perspektif negara ketiga, khusunya Amerika Latin. Banyak gerakan-gerakan revolusioner yang bersumber dari sini. Mulai dari Che, Paulo Freire, Dom Helder Camara, Hugo Chaves dll. Menurut Dom Helder, ketidakadilan adalah kemiskinan dan itulah kekerasan yang paling mendasar. Situsi inilah yang menyebabkan manusia jatuh ke dalam lembah sub-human yang melahirkan gerakan - gerakan pembangkangan dan pemberontakan.

Pembangkangan itu didorong oleh berbagai motif. Bagi kaum ekstrim kiri, perjuangan menggelar pemberontakan itu didorong oleh keinginan membebaskan kaum tertindas yang hanya bisa dilakukan dengan gerakan bersenjata, seperti yang dilakukan mas Che Guevara yang menjadi ikon popular di kalangan aktifis mahasiswa yang baru hangat-hangatnya belajar demo.( he.he.saya dulu juga seperti itu deng…) Gerakan ini mendewakan aksi-aksi agitasi yang tanpa itu, rakyat tertindas tidak akan terbebaskan.Ada juga yang tergerak oleh perasaan religius. Dengan semangat keagamaan yang menggebu-gebu kaum ekstrem kanan ini menggelar aksi turun ke jalan. Maka mengalirlah narasi pemberontakan dan raungan protes di jalan-jalan untuk kehendak revolusi yang ditafsirkan sebagai perang tanding melawan tentara bersenjata lengkap dengan atribut2 militernya. Ketika jalan-jalan yang umumnya hanya dipakai untuk mengangkut upeti ekonomi kepada kekuasaan dihalang-halangi, maka penguasa pun merasa berkewajiban mengambil tindakan tegas, dan itusudah pasti lewat kekerasan dan represi yang ngga ketulungan ganasnya. Sperti yang dilakukan pemerinta Junta Militer Myanmar terhadap para bhiksu yang turun ke jalan. Hmm..sebuah pembelajaran menarik bagi saya. Tampaknya sebuah track dari Funeral For A Friend yang berjudul “Your Revolution Is A Joke” menusuk telinga saya dan sangat tepat jika saya sandang, karena saya seolah sia-sia menulis posting yang sok revolusioner ini tanpa tahu siapa yang akan membacanya..he.he..

Hukuman Mati, Masih Relevankah?


Saya tertarik dengan posting mas Joell di gunemanku.blobspot.com yang membahas tentang hukuman mati bagi pelaku kriminal. Hmm..saya sempat berpikir, apakah kematian itu selalu vis a vis dengan kematian, dalam hal ini, tindakan yang menyebabkan kematian seseorang atau sekelompok orang ( pembunuhan, pembantaian, terorisme ) akan mengakibatkan pelaku tersebut dihukum mati. Ini berarti konsep hukum retribusi di abad pertengahan masing berlangsung sampai sekarang. Sudah menjadi adagium bersama bahwa kematian dibalas dengan kematian, kekerasan dibalas dengan kekerasan, seperti hukum rimba saja kedengarannya. Dan kita pun menganggap hukuman itu adil. Sudah umum diketahui bahwa hukuman gantung, guillotine (potong leher), dan hukuman cambuk di pusat kota menjadi pemandangan umum sampai akhir abad ke-19, termasuk di Eropa. Tidak hanya kalangan anak-anak miskin dan marginal yang bersorak-sorai menyaksikan pemandangan kematian tersebut. Thomas Cook & Co justru mengorganisasi sebuah tur di Paris pada akhir abad ke-19 yang menjadikan hukuman guillotine sebagai salah satu atraksi menarik. Hmm, kalo Pak Bondan Winarno ngetrend dengan Wisata Kuliner-nya maka Thomas Cook & Co ngetrend dengan “wisata proses membunuh manusia dengan menebas kepala sehingga terpisah dengan badan” hua.ha.ha, cukup ngeri bukan?

Setelah itu, banyak negara Eropa yang maju selangkah dengan melarang eksekusi publik serta hukuman mati. Sayangnya, hukuman mati terus berlanjut dipraktikkan di banyak negara sampai saat ini. Itu bukanlah hukuman mati seakan-akan dilarang karena rakyat biasa di negara-negara ini dipenuhi rasa antipati terhadap hukuman mati. Di Inggris, hukuman tersebut dilarang, terutama karena adanya kampanye antihukuman mati yang dilakukan Charles Dicken melalui harian The Times yang berakibat pada pelarangan eksekusi negara. Saat ini, telah umum diketahui bahwa teori keadilan retribusi "darah dibalas dengan darah" tidak berfungsi efektif. Namun, opini massa tetap mempercayai efektivitas sistem tersebut. Opini massa mencoba mencari metode hukuman yang lebih beradab dengan cara memberlakukan eksekusi yang tidak begitu menyiksa. Hal itu berujung pada penggunaan guillotine pada abad ke-18. Korban pertama guillotine adalah Nicolas-Jacques Pelletier yang dieksekusi pada 1792. Eksekusi tersebut dipuji berbagai media massa saat itu karena merupakan eksekusi yang cepat dan bersih. Ketika kepala Charles I dipancung, Andrew Marvell mengungkapkannya dalam bentuk puisi. Bahkan, mereka mungkin juga mendukung hukuman yang relatif tidak menyakitkan pada pelaku pembunuhan. Yang terlepas dari perhatian opini massa yang pro-hukuman mati adalah baik teori retribusi maupun rasa takut saat dieksekusi sama-sama tidak akan melemahkan hati dan determinasi sang pembunuh.

Yang lebih buruk, opini massa tidak peduli sama sekali terhadap kemungkinan nasib seseorang yang secara salah telah dihukum mati.
Dewasa ini, mayoritas orang akan cenderung memilih suntikan mati atau kursi listrik, serta ditembak dengan senapan daripada digantung atau dilempari batu. Mereka semakin takut melihat ceceran darah segar dan kental yang mengalir saat eksekusi berlangsung. Menutut saya, aparatus negara hendaknya memberikan penerangan pada masyarakat bahwa hukuman mati tidak akan memperkecil angka kriminalitas dan mendorong publik untuk berkontemplasi pada tragedi terburuk ketika seseorang yang ternyata tidak bersalah dihukum mati. Negara-negara yang tidak memberlakukan hukuman mati dan melarang hukuman itu sejak beberapa dekade (misalnya, di Kanada) ternyata memiliki angka kriminal pembunuhan yang jauh lebih rendah dibandingkan Amerika.

Sekali lagi, saya mengajak teman-teman untuk mengingat kembali peristiwa “penghukuman mati” ratusan ribu umat manusia di Indonesia. Dalam peristiwa tersebut,opini massa mendukung tidak hanya terjadinya hukuman mati, tetapi juga pembunuhan masal seperti yang terjadi pada masa G30S/PKI dan pembunuhan misterius (petrus) pada masa Orba.
Karakter simplistik dari opini massa jelas sangat berbahaya. Pola pikir simplistik itulah yang Seorang demokrat, di mana pun, hendaknya menyadari bahwa hukuman mati sering dimanfaatkan untuk menumpas lawan-lawan politik di bawah kondisi yang sangat tidak demokratis. Hal itu menunjukkan bahwa opini massa memiliki sejumlah keterbatasan dan perbedaan dengan opini publik. Opini publik merupakan usaha yang disengaja yang tidak sama dengan opini massa. Opini publik diciptakan di bawah kondisi spesifik, di mana informasi tersedia secara luas dan berbagai keputusan diambil secara transparan dengan memperhatikan permasalahan yang paling rentan di masyarakat.Karena itu, sudah waktunya opini publik mengoreksi opini massa dalam hal hukuman mati dengan cara debat terbuka serta transparan, di mana setiap warga negara dilindungi seandainya pengadilan bertindak salah.

Thursday, 4 October 2007

The Dandy Society


Teman-teman, kalo judul tulisan diatas diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia kira-kira akan berbunyi : masyarakat pesolek. Hal ini membuat saya tertarik, karena saat ini masyarakat kita mulai tumbuh menjadi masyarakat pesolek di tengah-tengah kesulitan memenuhi kebutuhan hidup. Ha.ha. kok bisa ya ? Apa sih yang nggak bisa dilakukan masyarakat kita ?
Masyarakat konsumen Indonesia mutakhir tampaknya tumbuh beriringan dengan sejarah globalisasi ekonomi dan transformasi kapitalisme konsumsi yang ditandai dengan menjamurnya pusat perbelanjaan bergaya yang disebut shopping mall, industri waktu luang, industri mode, industri kuliner, industri kecantikan bahkan sampai gosip pun jadi industri. Serbuan gaya hidup melalui iklan dan TV memang sangat cepat merubah perilaku masyarakat kita. Serbuan itu tanpa kita sadari telah sampai pada ruang-ruang kita yang paling pribadi sekalipun.
Globalisasi industri media dari luar negeri dengan modal besar mulai marak masuk ke tanah air sejak akhir 1990an. Serbuan majalah-majalah mode dan gaya hidup transnasional menawarkan gaya hidup yang sulit terjangkau bagi masyarakat dunia ketiga seperti masyarakat Indonesia kita ini. Majalah yang mempunyai segmen pembaca dari kalangan menengah atas ini menanamkan nilai, cita rasa dan gaya hidup yang glamour. Begitu pula dengan berkembangnya industri penerbitan yang diperuntukkan bagi orang muda. Majalah-majalah yang menjadi tuntunan mode kawula muda itu menjadi lahan yang sangat subur untuk persemaian gaya hidup. Target utama majalah-majalah itu adalah para ABG (Anak Baru Gede) yang identik dengan kegelisahan mencari identitas dan citra diri. Isi majalah itu tentu saja penampilan ikon-ikon yang mewakili gaya hidup kaum muda seperti perkembangan fashion, problema gaul, tips dan trik pacaran, referensi tempat untuk shopping, review band-band yang membawakan musik populer dan tentu saja gadge-gadget yang pantas dimiliki agar terkesan remaja hi-tech. Tapi yang pasti, penampilan ikon-ikon ini ikut membentuk budaya kawula muda (youth culture) yang berorientasi pada gaya hidup fun!
Dalam abad gaya hidup ini, penampilan adalah segalanya. Erving Goffman dalam The Presentation Of Self In Everyday Life (1959) mengemukakan bahwa kehidupan sosial terutama terdiri dari penampilan teatrikal yang diritualkan, yang kemudian lebih dikenal dengan pendekatan dramaturgi (dramaturgical approach). Kita bertindak seolah-olah di atas sebuah panggung. Bagi Goffman,berbagai penggunaan ruang, barang-barang, bahasa tubuh ditampilkan sebagai ritual interaksi sosial dan tampil untuk memfasilitasi kehidupan sehari-hari. Ketika gaya menjadi segala-galanya dan segala-galanya adalah gaya, maka perburuan penampilan dan citra diri juga akan masuk dalam permainan konsumsi. Itulah sebabnya mungkin orang sekarang perlu bersolek atau berias diri.
Tak usah dijelaskan lagi mengapa tidak sedikit pria dan wanita modern yang perlu tampil beda, modis, necis, perlente dan dandy. Kini gaya hidup demikian bukan lagi menjadi monopoli artis, selebritis dan model yang sengaja mempercantik diri untuk tampil di panggung hiburan. Tampaknya urusan bersolek tidak lagi menjadi milik wanita, tetapi kaum pria pun merasa perlu tampil dandy. Urusan tampang atau wajah kini menjadi persoalan serius dalam perbururuan kecantikan dan untuk selalu tampil menjadi yang tercantik atau tertampan, tidak hanya di panggung hiburan, tapi juga dalam hidup sehari-hari. Jadilah kita menjadi masyarakat pesolek (dandy society).

The Greatest Villain, ever…


Bagi sampeyan yang gemar baca komik, nonton film action, menggandrungi super hero, pasti di situ ada tokoh antagonis untuk memperkuat konflik agar alur cerita jadi menegangkan. Sebut saja Venom, villain dalam Spider-Man 3. Jason dalam serial Friday the 13th atau Si Mata Malaikat dalam komik lokal, yang menjadi musuh bebuyutan mas Barda Mandrawata dalam Si Buta Dari Gua Hantu. Sampeyan pasti sangat kesal dengan ulah villain-villain itu yang sering membuat jagoan kita kewalahan menghadapinya. Ada saja tipu muslihat, intrik, kelicikan, konspirasi dan hal-hal yang bersifat destruktif lainnya. Sampeyan pasti sangat kesal ketika Lex Luthor tahu kelemahan Superman. Dengan menggenggam batu Kryptonite, mas Superman bisa langsung lemes. Penjahat dalam film-film action juga sering menorehkan memori yang kuat agar kita membencinya. Sebut saja tokoh Sylar dalam serial Heroes yang sedang booming saat ini. Selain mempunyai superhero favorit, sampeyan pasti juga mempunyai seorang villain favorit. Villain favorit saya adalah George W. Bush dan Soeharto. Ngga usah saya sebutkan alasannya, sampeyan pasti bisa menafsirkan sendiri. He.he

Beberapa waktu yang lalu, saya nongkrong di wedangan milik teman saya yang hobi baca buku. Walaupun dia menjadi penjual wedang, eksistensinya di “kultur perlawanan” Solo sudah tak diragukan lagi. Tanpa angin, tanpa petir, dia lalu bertanya kepada saya, apakah saya mempunyai buku Confessions of An Economic Hit Man terbitan tahun 2004. Dalam buku itu ternyata ada tokoh yang bakal menjadi kandidat “the Greatest Villain, ever..tentu saja versi saya.

Nama tokoh itu adalah John Perkins, warga Amerika Serikat yang mengungkapkan jaringan corporatocracy. Inilah ilmu tentang mencari untung sebanyak- banyaknya dengan memeras habis negara yang mudah dikelabui, seperti Indonesia. Lewat bukunya, Confessions of An Economic Hit Man (2004), ia mengaku salah dan menyesali mengapa para pemimpin negaranya belum berubah. Ah, tak apa-apa karena di sini juga belum ada perubahan kok. Perkins adalah economic hit man (EHM) untuk sebuah perusahaan konsultan MAIN di Boston, AS. Cara kerja mereka mirip dengan mafia karena menggunakan segala cara (termasuk membunuh atau mempekerjakan) untuk mencapai tujuan politik dan ekonomi.

Ia menulis bahwa EHM bertanggung jawab atas terbunuhnya Presiden Panama Omar Torrijos dan Presiden Ekuador Jaime Roldos. Dua kepala negara di Amerika Latin ini mesti dilenyapkan karena menentang ilmu cari untung itu, yang dijalani Gedung Putih dan para eksekutif eksklusif. Tugas pertama Perkins membuat laporan fiktif agar lembaga- lembaga bantuan (Perkins menyebut IMF, Bank Dunia, dan USAID) mau mengeluarkan utang. Dana itu disalurkan ke proyek-proyek infrastruktur yang dikerjakan berbagai perusahaan top AS, seperti Bechtel dan Halliburton. Tugas kedua, Perkins harus membangkrutkan negeri penerima utang. Setelah tersandera utang setinggi gunung, barulah si negara penerima dijadikan kuda yang dikendalikan sang kusir.

Presiden negara pengutang akan ditekan supaya, misalnya, memberikan voting pro-AS di Dewan Keamanan PBB atau memberikan lokasi untuk pangkalan militer AS. Bisa juga Washington menekan agar negeri pengutang menjual ladang minyak atau kekayaan alam lainnya. Selama tiga bulan di tahun 1971 Perkins keliling Indonesia menyiapkan dongeng tentang pertumbuhan ekonomi dan pendapatan per kapita (GNP) kita. Angka-angka itu digelembungkan setinggi mungkin mendekati langit ketujuh.
Angka-angka catutan itu dilaporkan kepada Bank Dunia atau IMF. Para eksekutif di situ juga tukang-tukang ngibul yang serentak menganggukkan kepala sambil berdecak kagum, Bos Perkins bilang, Presiden AS Richard Nixon ingin Indonesia diperas sampai kering seperti kain pel habis dipakai melantai. Negeri ini ibarat real estat terbesar di dunia yang tak boleh jatuh ke tangan Uni Soviet atau China, demikian kira-kira kata bos Perkins, Charlie Illingworth, suatu kali di Bandung.

Corporatocracy antara elite politik dan bisnis AS itu disambut hangat para pejabat kita. Paling penting, rekening bank para pejabat itu tak boleh sampai tinggal keraknya doang seperti tungku penanak beras. Maka orang-orang Gedung Putih, Bechtel, Halliburton, lembaga-lembaga bantuan, MAIN, dan para pejabat itu saling tersenyum dan mengedipkan mata. Proyek “pembangkrutan” (bukan pembangunan) Indonesia pun dimulai.
Nah, persekutuan antara corporatocracy AS dan cleptocracy (penyakit klepto) yang diderita elite Orde Baru itu berjalan mesra selama puluhan tahun. Rakyat Indonesia bengong saja seperti obat nyamuk yang menemani orang lagi pacaran. Tujuan rahasia pembangunan proyek-proyek infrastruktur itu, keuntungan sebanyak-banyaknya untuk Bechtel, Halliburton, dan sejumlah perusahaan AS. Tujuan rahasia lainnya, memperkaya penguasa dan keluarganya di sini agar loyal kepada jaringan corporatocracy tersebut. Semakin banyak utang yang dipinjamkan ke Indonesia, semakin baik. Selama tiga bulan keliling Indonesia, Perkins menjadi EHM yang andal meskipun kadang kala terganggu hati nuraninya menyaksikan kemiskinan di sini.

Berkat pengalaman pertamanya di Indonesia, Perkins berkali-kali dipercaya melakukan tugasnya sebagai (economic hit man) di berbagai negara. Secara diam-diam dia menyiapkan buku Confessions yang dia tulis antara lain sebagai ungkapan minta maaf. Sampeyan sebaiknya membaca buku Perkins. Semoga ada penerbit di sini yang mau membeli hak penerbitan sekaligus menerjemahkannya supaya dibaca anak-anak dan cucu-cucu kita agar tak melupakan sejarahnya…Hmm, John Perkins memang benar-benar The Greatest Villain, ever…hell yeah!

Saturday, 29 September 2007

HEROISME SESAAT


Aktivis memang sebuah kata yang bombastis bila kita mengatakannya pada zaman pergerakan. Entah itu aktivis prodemokrasi, aktivis perempuan, aktivis HAM, aktivis lingkungan hidup maupun aktivis mahasiswa yang tergabung dalam aliansi-aliansi yang berjuang demi rakyat. Tapi apa kata dunia, ketika peran mahasiswa digantikan sosok rohaniwan yang turun ke jalan untuk melawan rezim yang menindas rakyat ? Hal ini mendapat momentumnya ketika terjadi represi besar-besaran yang dilakukan rezim junta militer di Myanmar. Para bhiksu turun ke jalan, karena mereka sudah merasa bahwa keadaan semakin memburuk ketika BBM dinaikkan 500 %. Lha terus kemana para mahasiswanya? Pada tahun 1988, ketika terjadi gerakan untuk perubahan sosial di Myanmar, mahasiswalah yang menjadi motor pergerakan dan memobilisasi massa dan akhirnya melahirkan tragedi yang menewaskan sekitar 3.000 orang karena bentrok dengan aparat militer. Tahun 2007, ketika terjadi ketidakadilan sosial di Myanmar, justru para Bhiksu yang menjadi motor pergerakan. Aksi ini adalah aksi damai tanpa kekerasan, dan sampai hari ini telah menelan korban 9 orang, termasuk satu orang wartawan dari Jepang.

Mahasiswa sebagai agent of social change semakin meredup keberadaannya, ketika mereka dihadapkan pada kenyamanan - kenyamanan teknologi multimedia seperti MTV, Friendster, Shopping ke Mall dan Dugem. Tapi di sini saya tidak gebyah uyah dan menyatakan mahasiswa masa kini seperti itu. Dua puluh tahun lalu, sekitar tahun 1980an sampai awal 1990an, banyak artikel yang meromantisir gerakan mahasiswa. Waktu itu banyak mahasiswa yang digebuki tentara dan dijebloskan ke penjara karena menggelar aksi demonstrasi. Gerakan mahasiswa menjadi primadona di ruang publik Orde Baru. Mereka menjadi sosok tunggal yang boleh dan mau menyuarakan kritik sosial dan keresahan masyarakat.

Dalam situasi ini, mahasiswa menjadi semacam pemadam kebakaran. Mereka bersemangat sekali dalam memadamkan api. Kadang mereka menjalankan fungsi parlemen untuk melakukan debat politik. Mereka juga bisa menjalankan peran partai politik, dengan berorganisasi, memobilisir massa, dan mengatasnamakan kepentingan rakyat. Mereka juga bisa mengambilalih peran media massa dengan membuat selebaran, menerbitkan buletin. Menurut saya, aksi itu tanggung dan kadang sia-sia? Rakyat sekarang sudah cukup pandai dan tidak mau namanya disebut-sebut sebagai pembenaran atas aksi-aksi yang anarkis. Lha wong rakyat sendiri bisa turun ke jalan secara langsung tanpa minta tolong mahasiswa. Iya to ?

Anehnya, walaupun peran yang dijalankan mahasiswa itu cenderung reaksioner, dan hanya aksi sejenak tetapi kok penuh romantisme ya ? Mungkin karena mereka sering dikejar tentara, dipukuli pakai tongkat, ditahan dan sering dijadikan sosok pahlawan dalam berita-berita media massa. Pemberitaan ini kadang membuat ego mereka melambung kebablasan. Sekarang, negeri ini telah berubah, walau tidak semua menguntungkan publik. Memang negara yang ideal itu selalu jauh dari capaian kita, setidaknya kita bisa menikmati perubahan karena jerih payah mahasiswa. Kalau dahulu pada tahun 1998, mereka berdemo di jalan, sekarang mereka sudah menikmati semilir angin perubahan. Jika ada pertanyaan : Apa kabar mahasiswa masa kini ? Saya akan menjawab, karena saya menjadi bagian dari mahasiswa masakini : ”Ngapain repot-repot turun ke jalan? Mending nulis di blog aja..., i’ll do it with my stlye!

Ketika kepuasaan Pembaca menjadi Credo


"Trends, situation, condition, and interpretations are news." (Neal, 1968)


Teman-teman, sebagai pembaca media massa kita ini menjadi pasar. Pembaca mempunyai arti yang sangat penting bagi sebuah koran dan majalah. Di samping menentukan pemasukan penjualan, ia juga mempengaruhi pemasukan iklan. Sebuah perusahaan tidak akan mau memasang iklannya di majalah atau surat kabar yang memiliki pembaca yang sedikit. Semua berita adalah informasi, tetapi tidak semua informasi adalah berita. Berita adalah informasi yang mengandung nilai berita yang telah diolah sesuai dengan kaidah - kaidah pada ilmu jurnalistik dan yang sudah disajikan kepada khalayak melalui media massa periodik baik cetak maupun elektronik. Realitas dalam masyarakat seperti peristiwa, pendapat, masalah hangat dan masalah unik akan menghasilkan fakta. Fakta tersebut disebut sebagai berita jika sudah disajikan kepada khalayak melalui media massa. Sumber informasi karya jurnalistik adalah peristiwa,pendapat yang mengandung nilai berita, masalah hangat ( current affairs ) dan masalah atau hal yang unik dan menarik yang ada dalam masyarakat. Berita adalah uraian fakta atau pendapat yang mengandung nilai berita. Sedangkan masalah hangat ( current affairs ) adalah penjelasan dari narasumber yang relevan tentang suatu masalah hangat yang muncul di tengah masyarakat. Disebut current affairs karena masalah yang menjadi topik pembicaraan tersebut diambil sebagai akibat adanya isu yang belum pasti baik sumber atau kebenarannya.
Berita hanya menyajikan fakta/pendapat yang mengandung nilai berita secara informatif faktual. Perbedaan sifat medium/sarana cetak,film, radio dan Televisi merupakan perbedaan mendasr yang membentuk cirikhas pada karya jurnalistik. Khusus untuk berita radio dan televisi harus diusahakan agar narasumber yang relevan dapat tersaji secara langsung dan orisinal agar tidak dijadikan uraian dalam bentuk pendapat.
Uraian fakta yang nilai beritanya kuat, yaitu yang nilai beritanya penting, sangat menarik, dan penting sekaligus menarik harus disajikan secepatnya kepada khalayak. Berita kuat dan berita mendalam bersifat timeconcern, yaitu penyajiannya sangat terikat pada waktu, dalam arti makin cepat disajikan makin baik, Sumber beritanya berasal dari peristiwa yang terjadi hari ini (news of the day) dan mengandung nilai berita. Berita, baik berita kuat, mendalam maupun berkala hanya menyajikan fakta atau pendapat secara informatif, faktual dan aktual. Apakah berita itu tersaji cepat atau lambat kepada khalayak,sangat terkandung nilai berita yang dikandungnya.

Berita radio jauh lebih praktis dan sederhana dalam penyajian secepatnya kepada khalayak karena hanya menyajikan suara saja. Tetapi untuk berita Televisi, selain menyajikan suara juga menyajikan gambar sehingga jauh lebih rumit. Akan tetapi, jaringan televisi CNN telah membuktikan bahwa hambatan kerumitan itu ternyata dapat diatasi dengan sarana pendukung elektronik ( kabel/serat optik, microwave/terestrial, uplink mini, field pick up dan SDM yang memiliki jiwa profesionalitas tinggi). Sejak 1 Juni 1980, jaringan Televisi CNN menyiarkan karya jurnalistik TV selama 24 jam setiap hari, baik berita maupun penjelasan masalah hangat ( current affairs), dengan sasaran khalayak seluruh dunia dengan motto " We're gonna on the air June 1, and we're gonna stay on until the end of the world. When that time comes, we'll cover it, play nearer my God to Thee, and sign off"( Whittemore,1990)

Motto itu telah memacu semangat kerja crew CNN sehingga hanya dalam waktu sepuluh tahun, CNN telah mampu menguasai masyarakat dunia. Secar eksklusif, CNN selalu menyajikan karya jurnalistik yang menarik dan relevan bagi khalayak dunia dalam format siaran berita televisi secara live. Peristiwa - peristiwa dan pendapat - pendapat yang terjadi di dunia, bahkan di ruang angkasa. Terhadap berita, CNN ( Ted Turner ) memperlakukannya " to do news like the world has never seen news before."
Teman-teman, Inilah informasi tentang berita yang berhasil aku dapat di perpus tadi siang. Mudah-mudahan dapat sampeyan jadikan referensi untuk menelaah berita dengan cermat. Semoga pemahaman saya tentang segi "menarik dan relevan dalam berita" ini tidak menjadi keengganan sampeyan untuk membaca koran.he.he.he keep your spirit for wake up and learn. Angkat gelas dan bersulang.

daftar pustaka
Wahyudi, JB. Dasar - Dasar Jurnalistik Radio dan Televisi, PT Gramedia Pustaka
Utama,Jakarta. 1992.

Thursday, 27 September 2007

AHIMSA for Social Change


"The weak can never forgive. Forgiveness is attribute of the strong"

-Mohandas K. Gandhi-

Akhir-akhir ini di Myanmar terjadi pergolakan menentang junta militer. Ribuan bhiksu turun ke jalan melakukan longmarch dan berdoa menentang pemerintahan junta militer yang menetapkan kebijakan kenaikan harga minyak 500 persen Agustus lalu. Para bhiksu bersepakat menolak derma dari orang-orang yang berhubungan dengan pejabat junta militer. Pada 19 Agustus, demonstrasi damai dimulai oleh beberapa aktivis namun hasilnya malah tindakan kelewat tegas dari aparat keamanan, bahkan 100 orang lebih ditahan. Aksi tidak berhenti , justru semakin menguat dengan dukungan dari ribuan bhiksu dan pemimpin oposisi Aung San Suu Kyi . Masyarakatpun mendukung para bhiksu yang dianggap masih mampu menyuarakan nasib mereka akibat pemerintahan junta militer yang menindas. Aksi-aksi yang digelar selama 10 hari terakhir melibatkan ribuan masyarakat yang turun ke jalan untuk melakukan longmarch dan berdoa di beberapa pagoda. Aksi protes itu juga telah meluas di tujuh provinsi di Myanmar.


Namun padai Rabu, 26 September kemarin represi dari aparat militer semakin meningkat pula. Setelah mengeluarkan larangan protes , aparat mulai melakukan tindakan-tindakan represif dengan menangkap, melepaskan gas air mata dan menembaki para demonstran dan bhiksu yang berdoa di pagoda Shwedagon dan Sule. Empat orang tewas dan lebih dari 100 orang cedera. Peristiwa ini mengingatkan banyak orang pada kejadian tahun 1988 di Myanmar , dimana militer menembaki para demonstran (mahasiswa dan bhiksu) secara membabi buta hingga menewaskan lebih dari 3000 orang.


Peristiwa ini mungkin baik sebagai sarana pembelajaran kita tentang gerakan aktif tanpa kekerasan. Bagi saya , peristiwa ini semakin menegaskan kenyataan bahwasanya kekerasan adalah SATU-SATUNYA cara rejim yang menindas melanggengkan kekuasaannya. Dengan kekerasan diharapkan mereka yang menentang menjadi takut dan diam. Dengan kekerasan diharapakan mereka setiap orang menjadi jera.Memang sedemikian sederhana logika kekerasan . Yang ditindas tidak akan melawan atau justru melawan dengan cara yang sama. Yang dengan begitu akan menjadi pembenaran bagi rezim penindas untuk melakukan kekerasan yang skalanya lebih besar. Di sinilah daya juang penggerak aktif tanpa kekerasan mendapatkan tempatnya.

Maka , sembari memprihatinkan dan berjuang memperbaiki situasi di negeri kita yang masih berlepotan dengan tindakan kekerasan,mari berdoa juga untuk saudara-saudara kita di Myanmar.

Salam


Wednesday, 26 September 2007

Utopia Sebuah Kultur Perlawanan


Kultur perlawanan adalah sesuatu yang menjadi sangat hip, karena ia percaya bahwa inilah alat terakhir bagi revolusi dalam sebuah masyarakat konsumer. Inilah ‘ideologi resmi’ yang menggerakkan banyak kultur perlawanan dimana-mana. Tapi sesungguhnya, ideologi semacam ini hanya menyembunyikan masalah yang demikian kompleks yang tak akan dapat selesai hanya dengan satu sapuan saja. Tak peduli seberapa besar semangat perlawanan terhadap status-quo yang dimiliki oleh kultur ini, ia masih menyembunyikan fakta bagaimana para pelakunya tak mampu menciptakan sebuah kondisi bagi mereka sendiri yang dapat mentransformasikan bentuk eksploitasi tradisional dalam masyarakat kapitalisme lanjut. Tidak jarang, para pelakunyalah yang berbalik mengkomodifikasikan kultur tersebut sendiri.

Problem terbesar dari industri kultur alternatif adalah ketiadaan ‘kriteria politis’ dimana kita dapat membedakannya dengan industri kultur lainnya. Dalam tataran paling dasar, semuanya memiliki satu agenda yang jelas: menghasilkan uang. Tapi ini juga bukan bermaksud mengabaikan tujuan-tujuan politis yang dimiliki oleh beberapa pihak seperti membangun sebuah kultur kontra-hegemoni yang dimunculkan dalam beberapa genre musik, yang menempatkan otoritas politik dan norma-norma kultural sebagai sesuatu yang patut dipertanyakan, yang apabila mungkin pada saatnya akan mendelegitimasikan status-quo. Dalam industri kultur, apapun kontradiksi yang terjadi, ia hanya akan menjadi sebuah dentingan ide segar, terlebih lagi di dalam sebuah masyarakat yang didominasi oleh prinsip jual-beli, dimana semakin individu terpisah dari komunitas sekitarnya menjadi sesuatu yang semakin baik. Masalahnya, misalnya dalam kultur perlawanan punk, walaupun pesan yang dibawa oleh musik tersebut sangatlah revolusioner, basis ekonominya sama sekali tidak. Untuk membuatnya lebih jelas, politik ekonomi yang dimiliki oleh banyak label rekaman—termasuk yang mengaku alternatif—sama sekali tidak berkaitan dengan ide yang dihasilkan oleh para artistnya. Ini adalah sesuatu yang selalu terjadi berulang kali dan menjadi perdebatan panjang di kalangan label, band, ataupun individu yang bergerak dalam kultur ini. Label-label rekaman independen yang kecil, menjual revolusi, tapi hanya hingga batas-batas tertentu, karena apabila mereka melangkah lebih jauh, ini masih menjadi sesuatu yang sulit untuk dilakukan.

Kebanyakan label-label independen masih bergantung pada kemauan baik para pengelolanya, yang jelas hanya mendapatkan uang jauh di bawah standar dan nyaris selalu bekerja overtime, yang memiliki kemauan untuk terus berkecimpung di dalamnya karena mereka memiliki visi politis yang besar, yang tampil secara implisit dalam tiap ‘produk’ rekaman yang mereka hasilkan. Hal ini masih menjadi sebuah langkah yang dapat dipahami, karena di Indonesia memang masih sangat sedikit ruang-ruang bagi mereka untuk berbagi perspektif ideologis dan politis. Yang membuat kultur perlawanan menjadi sebuah komoditi yang sangat berharga dimana para pengelola industri kultur alternatifnya bersedia mengorbankan waktu dan uangnya demi menghasilkan produk, adalah karena sangat sedikit kesempatan di tengah masyarakat Indonesia untuk mengekspresikan hasrat pemberontakan mereka serta memiliki audiens yang benar-benar memperhatikan mereka saat mereka melakukan hal tersebut. Banyak orang-orang radikal yang beraktifitas dalam label-label rekaman independen melakukan hal-hal di atas tadi karena mereka berpikir bagaimana caranya agar pesan mereka dapat diperdengarkan, karena mereka juga tahu benar bahwa tak ada orang lain lagi yang akan memperdengarkannya apabila bukan mereka sendiri yang melakukannya. Apa yang membuat mereka terus ada disana? Apakah hal ini adalah sekedar tentang bisnis yang membuat remaja, artist dua puluh hingga tigapuluhan, musisi dan pelaku kultur perlawanan terlibat dalam eksploitasi kerja yang tak pernah berakhir?

Aku Beli I-Pod, Maka Aku Ada


Sampeyan yang tinggal di kota besar di Indonesia, pasti sudah tidak asing lagi dengan institusi bisnis bernama Mall. Bangunan teatrikal itu seolah menjelma menjadi fasilitator bagi para konsumen untuk merealisasikan dirinya untuk memenuhi hasrat pemenuhan gaya hidup, bukan kebutuhan hidup lagi. Pada masyarakat urban kontemporer, dimana budaya pop yang kian tak terbendung memenuhi relung – relung kehidupan mereka, Mall hadir dengan kemolekannya, menawarkan berhala-berhala baru bernama Nike,Nokia, I-Pod, Georgio Armani, Victoria’s Secret,Levi’s dan bermacam-macam barang global lainnya.

Perlahan-lahan Mall menjelma menjadi sebuah agen difusi, menjadi sebuah ruang kelas, yang di dalamnya manusia abad ke-21(termasuk saya dan sampeyan), bebas mempelajari seni dan keterampilan untuk menghadapi peran baru mereka yang sentral sebagai konsumer masa depan. Mall tidak lagi menjadi sekedar tempat untuk transaksi berang dan jasa. Mall mempunyai fungsi sebagai cermin citra sebuah masyarakat. Maka belakangan ini, banyak bermunculan anak-anak Mall(termasuk saya dan sampeyan lagi.he.he), yang dulunya mereka dibesarkan dengan kesumpekan pola pendidikan nilai ala Soeharto melalui P4 dan Pendidikan Moral Pancasila untuk menyeragamkan identitas bangsa timur yang ramah tamah. Mereka kini tumbuh untuk mencari sebuah konformitas, di tengah-tengah tekanan dan tatanan identitas tertentu yang dihasilkan oleh konteks hidup sosial budaya publik. Mall menjadi tempat dimana setiap orang bisa mengaktualisasikan gaya hidupnya, tempat setiap orang mencari identitasnya.

Melalui Mall, seorang Anak Baru Gede bisa mendapatkan eksistensi berlebih dibandingkan teman sebayanya dengan membeli sebuah I-Pod. Pola semacam ini tidak muncul serta merta karena hidup kita sehari-hari sudah sangat diatur oleh sistem konsumsi. Apa yang kita beli, kita konsumsi sehari–hari, menjadi identitas untuk menyatakan pada orang lain siapakah kita ini. Semakin tinggi kemampuan konsumsi seseorang, semakin terhormatlah ia di depan orang lain. Konsumsi atas barang dan jasa serta penguasaan materi tertentu sudah tidak mempertimbangkan unsur utilitarian lagi. Konsumsi akan sebuah produk (katakanlah I-Pod) bisa menimbulkan citra dan makna tertertu, misalnya lebih gaul, lebih funky, lebih melek teknologi, lebih cool, lebih terhormat dan lain sebagainya. Pada tahap ini, nilai – nilai yang terkandung dalam diri manusia menjadi kosong. Nilai – nilai itu tergantikan seiring barang yang dibelinya itu.

Mall bisa juga menjadi tempat orang belajar demokratisasi gaya hidup. Orang bebas memilih barang-barang yang akan dibelinya. Tentu saja barang-barang yang bisa mencitrakan gaya hidup, sementara barang-barang itu didesain sedemikian rupa oleh produsen melalui credo kapitalisme global, sehingga seolah-olah bisa berteriak : ”Beli...Beli...Beli....agar kamu bisa berpartisipasi...” Disinilah letak demokrasi dalam sebuah konteks antidemokrasi. Mall merenggut objek dari dunia orisinalitas objek itu sendiri. Objek-objek yang terpampang manis di etalase seolah menjadi objek virtual dengan hadirnya pemaknaan akan sebuah gaya hidup modern-kosmopolit. Mall tidak hanya menciptakan produk dan kebutuhan, ia juga mengelompokkan masyarakat ke dalam identitas-identitas berdasarkan gaya hidupnya, seperti eksekutif muda, cewek modis, pria metroseksual, dan tentu saja anak-anak mall. Maka ungkapan Rene Descartes tentang eksistensi/keberadaan menjadi agak melenceng menjadi : Aku Beli I-Pod, Maka Aku Ada. Inilah eksistensi simulakrum, melebihi eksistensi yang sebenarnya.

Tuesday, 18 September 2007

Pendidikan Kekerasan Ala Monitor 14 inch

George Gerbner, pencetus teori Kultivasi, melihat pengaruh kekerasan yang ditayangkan televisi bagi khalayaknya. Hasil penelitiannya menunjukkan efek kultivasi, atau penanaman realitas, pada penonton heavy viewers. Penonton yang tergolong pecandu berat televisi ini menganggap bahwa realitas televisi tak berbeda dengan realitas di dunia nyata. Artinya, mereka menganggap bahwa pemberitaan perang, kriminalitas, dan konflik para pesohor di televisi ialah realitas dunia yang sesungguhnya. Televisi tidak sekadar memberikan pengetahuan, atau melaporkan realitas peristiwa. Lebih dari itu, televisi berhasil menanamkan realitas bentukannya ke benak penonton. Mungkinkah efek media dibesar-besarkan Gerbner dengan Teori Kultivasinya? Sah-sah saja jika praktisi dan pemilik media massa mempertanyakan ini. Namun, dari sekian banyak teori tentang efek media, sedikit sekali yang mengabsahkan tayangan bertema kekerasan di media.
Bagaimana dengan pengaruh "kekerasan" dalam program televisi terhadap anak-anak di Indonesia? Media massa beberapa kali memunculkan pemberitaan seputar kriminalitas yang dilakukan oleh anak-anak di bawah umur. Pihak media memang bisa berkilah bahwa apa yang mereka tampilkan dalam tayangan kriminalitas berbeda jauh dengan VCD -televisi sebagai medium berita bukan VCD player atau VCD rental. Tapi, bukankah tidak sedikit pula adegan percintaan remeh temeh sejenis yang juga ditampilkan di media lewat program hiburan, informasi, atau film-film yang luput dari sensor media? Jika agresivitas seksual bisa diinspirasi oleh adegan yang tampak di layar kaca --dari manapun sumbernya-- bukan tidak mungkin jika tayangan informasi kriminalitas di televisi juga menginspirasi modus operandi untuk bertindak serupa!
Kecemasan yang berlebihankah ini? Boleh jadi. Asumsi yang mengambinghitamkan media massa sebagai sumber perilaku agresif kerap dikritik pula karena terlampau menyederhanakan atau menafikkan faktor-faktor lain yang tidak kalah potensial dalam memicu perilaku agresif. Misalnya faktor depresi dan pengalaman traumatik. Tapi, kalaupun peniruan modus operandi kriminalitas dianggap berlebihan, toh efek kriminalitas di televisi tetap saja perlu diwaspadai ketika muncul dalam bentuk desensitisasi kekerasan.
Desensitisasi kekerasan, atau penumpulan kepekaan terhadap kekerasan merupakan gejala yang umum terjadi ketika kekerasan tak lagi dianggap sebagai hal yang luar biasa. Maka, tatkala masyarakat diterpa oleh informasi kekerasan, dan menganggap realitas media tak beda dengan realitas nyata, perilaku kekerasan pun disahkan dalam kehidupan sehari-hari. Seperti itulah kiranya yang terjadi, ketika masyarakat ramai-ramai menghakimi pelaku kriminalitas. Memukuli maling sampai mati, membakar hidup-hidup orang yang dicurigai sebagai perampas ojek (yang ternyata bukan pelaku sesungguhnya!), mengarak dan menggunduli (belum termasuk penyiksaan fisik) anggota masyarakat yang dicurigai melakukan perselingkuhan, dan sebagainya.
Kalau dahulu banyak yang takut melihat pertumpahan darah, dengan adanya gejala desensitisasi kekerasan, maka darah dan kekerasan menjadi hal yang biasa. Anak-anak ramai-ramai menonton pertunjukan kekerasan ini, kadang malah turut berpartisipasi. Kita patut bertanya, pelajaran berharga apa kiranya yang bisa diperoleh dari pertunjukan kekerasan semacam itu?

(Bukan) Dosa Arsitek

Hmmm...tulisan ini tampaknya seperti sebuah pelimpahan kesalahan atas fenomena yang sanagat ngetrend saat ini : pemanasan global. Arsitek adalah salah satu profesi yang menjadi cita – cita sejak kecil, disamping menjadi pilot dan dokter ( he.he. sangat mainstream ya...). Melalui tangan dan pemikiran para arsitek itulah, berbagai macam bangunan tercipta. Ato kalo kita pengen melihat bentuk mini dari sebuah bangunan yang akan dirancang, mereka akan membuat maketnya. Arsitek bukan hanya berkutat dalam bidang rancang-bangun bangunan fisik semata, arsitek juga bisa merancang kota, mengukir permukaan wajah kota dan akhirnya bisa mengubah wajah kota itu. Nah, arsitek semacam ini biasanya kuliah di jurusan planologi ato sistem rancang-bangun kota. Jika sebuah kota tidak disediakan fasilitas khusus bagi pejalan kaki dan pengendara sepeda, itu kesalahan siapa ? apakah kesalahan arsitek ?
Kota yang sangat polusif akan membuat warga tidak nyaman. Pekerjaan yang dilakukannya pun menjadi tidak optimal. Sayangnya, ini merupakan cermin dari kota– kota besar yang ada di Indonesia. Sejumlah warga yang ingin mereduksi emisi karbon dioksida mencoba melakukan terobosan dengan mencoba naik sepeda sebagai sarana transportasi. Akan tetapi niatan baik komunitas Bike To Work yang berbasis di Jakarta ini belum mendapat tanggapan maksimal dari masyarakat. Mereka bahkan harus menghirup udara kotor ketika mengayuh sepeda menyusuri jalan-jalan Jakarta. Gebrakan mereka yang cukup revolusioner ini baru akan berpengaruh ketika mendapat tanggapan secara massif dan ada fasilitas pendukung berupa areal khusus bagi pengguna sepeda.
Kembali ke arsitek lagi. Cukupkah dengan menyalahkan arsitek, kita bisa merasa tak bersalah atas pemanasan global ini ? Memang benar, arsitek dan birokrat yang menyebabkan warga kota menggunakan kendaraan bermotor untuk menempuh jarak pendek karena tidak ada trotoar ato jalur khusus untuk sepeda. Arsiteklah yang membuat orang malas berjalan kaki ato naik sepeda. Tangan arsitek jugalah yang membuat kota besar seperti Jakarta kehilangan ruang terbuka. Taman – taman kota tidak lagi optimal menyerap polutan. Tangan arsitek memanaskan kota karena menggunakan beton dan aspal untuk perkerasan jalan, panas tidak terserap dengan baik dan memantul lagi ke udara. Kenaikan suhu kota menyebabkan orang memakai AC yang juga merupakan kontrinutor emisi karbon di udara bebas. Arsitek, mau tidak mau memang ikut berpartisipasi dalam memanaskan bumi.
Ah...cukup sudah kita menyalahkan arsitek saja. Kita juga terlibat dan wajib berpikir kritis, bagaimana caranya mengurangi emisi karbon di udara. Karena bumi rumah kita bersama. Bumi kita sama – sama panas. Isu global warming memang benar – benar mengglobal. Ketika saya baca KOMPAS ( Jumat, 14 september 2007 ), saya tertarik dengan sebuah artikel yang menyebutkan bahwa pemenang Nobel Ekonomi, Profesor Joseph Stiglitz pernah menantang para arsitek untuk menyikapi isu pemanasan global dengan mendesain gedung hemat energi, dengan memanfaatkan sinar matahari sebagai peneranagan, tanpa listrik. Selain itu, rumah carbon-sink juga pantas untuk dipopulerkan. Rumah carbon-sink adalah rumah yang menahan karbon agar seminimal mungkin dilepaskan ke udara. Ide kembali ke alam, seperti mendirikan rumah dari bambu. Carbon sink merupakan terobosan baru yang harus dikembangkan oleh arsitek dan pebisnis properti untuk mengurangi suhu bumi yang terus meningkat ini. Jadi Arsitek tidak benar – benar bersalah kok..he.he..

(Kenapa)Pemulung Dilarang Masuk

Sampeyan pasti pernah membaca tulisan ”Pemulung Dilarang Masuk” di depan gang – gang perumahan di sekitar tempat tinggal sampeyan. Apa yang terlintas di benak sampeyan ketika anda menemui seorang pemulung? Saya sering menganggap bahwa pemulung itu adalah orang yang kotor. Baik kotor pekerjaannya bahkan kotor tingkah lakunya. Saya sebut kotor pekerjaannya karena berhubungan dengan sampah. Sisa–sisa barang yang kita konsumsi, termasuk plastik dan kertas, tentu akan kita buang dalam tempat sampah. Bagi pemulung sampah ini memiliki nilai jual. Mereka rela mengaisnya dari tempat sampah lalu dikumpulkan untuk dijual kembali kepada pengepul. Alasan kedua, saya menyebut pemulung kotor tingkah lakunya, karena pakaian mereka compang camping, bergelut dengan sampah bahkan kadang mereka sering mengambil barang yang tidak seharusnya mereka ambil, dikarenakan barang tersebut belum berada dalam tempat sampah. Maka wajar saja, kalo ada beberapa pemulung yang tertimpa bogem mentah dari satpam perumahan elit karena dianggap mengambil barang yang bukan menjadi haknya, karena barang tersebut belum berada dalam tempat sampah. Tindakan preventif terhadap gangguan pemulung, biasanya diekspresikan dalam plang atau papan yang berada di mulut – mulut gang.
Kalo kita cermati bersama, dulu zaman orde baru, pernah ada gerakan yang bernama gerakan bersih lingkungan. Bahkan beberapa kota mempunyai julukan yang menunjukkan eksistensi kota tersebut dalam gerakan bersih lingkungan. Misalnya : Solo Berseri, Yogya Berhati Nyaman, Klaten Bersinar, Sukoharjo Makmur, Boyolali Tersenyum, Wonogiri Sukses dan lain sebagainya. Yang paling saya ingat adalah slogan kota Solo : Solo Berseri (Bersih,Sehat,Rapi,Indah). Konsep bersih lalu dipakai pemerintah untuk mengorganisasi kampanye dan memperindah lingkungan. Salah satu momentumnya adalah ketika sebuah kota sudah mendapatkan penghargaan berupa Adipura, maka kota itu dianggap berhasil dalam mengorganisir kebersihan lingkungannya.
Konsep bersih tidak hanya mengubah penampilan fisik saja, tetapi juga menciptakan satu penampilan baru yang terlihat seragam dan tertata rapi. Segala sesuatu yang tidak cocok akan segera dieleminasi. Tindakan itu dapat kita lihat melalui : penertiban PKL, penggusuran daerah kumuh, pemulung dilarang memasuki lingkungan perumahan. Dalam kasus tersebut orang miskin dijadikan sasaran pembersihan karena lingkungan yang kotor, dianggap masih bodoh dan belum maju. Oleh karena itu, layak dibersihkan agar bisa menjadi bagian dari negara Indonesia Modern. Pemulung seringkali ”dituduh” sebagai pembuat ketidaknyamanan lingkungan sosial. ”Tuduhan” itu termanifestasikan dalam plang bertuliskan PEMULUNG DILARANG MASUK.
Ironis memang, ketika kita berbicara mengenai pencurian, kadang orang-orang yang mempunyai masalah dengan pencurian uang negara (baca : koruptor) bebas melenggang ke luar negeri. Apalagi yang terkait masalah BLBI, kini menjadi konglomerat di negara tetangga kita dan seolah kebal terhadap hukum. Mengapa plang di mulut – mulut gang itu tulisannya tidak diganti dengan KORUPTOR DILARANG MASUK? Hmmm saya rasa lebih pantas demikian, karena tingkah laku para koruptor memang jauh menjijikkan daripada pemulung yang setiap hari bergelut dengan sampah. Seharusnya ada semacam penyadaran publik, bahwa yang menjadi sampah masyarakat itu bukanlah pemulung, melainkan para koruptor itu.....Bagaimanapun juga, profesi sebagi pemulung jauh lebih bermartabat daripada koruptor.

Dor..Dor..Dor..Tar..Tar..Tar..

Kira – kira begitu kalo bunyi petasan dituliskan dalam kata–kata.he.he. Ramadhan memang identik dengan petasan dan kembang api. Ramadhan tanpa petasan kayaknya kurang afdol. Tetapi, belakangan ini penjual petasan dan kembang api sering kena razia dari aparat keamanan. Alasannya, membunyikan petasan dapat mengganggu keamanan dan membahayakan. Sering terjadi kasus kecelakaan yang konyol gara-gara membunyikan petasan. Petasan bukan hanya soal bahaya dan kegiatan merugikan masyarakat. Bagi sebagian orang, petasan bisa menjadi sumber rejeki untuk mempersiapkan kebutuhan-kebutuhan menjelang lebaran. Apalagi saat ini, perekonomian negara kita sedang labil. Labilnya perekonomian ditandai dengan kenaikan harga-harga kebutuhan pokok selama bulan puasa ini. Berjualan petasan dianggap sebagai lahan yang menjanjikan. Selalu ada alternatif untuk bertahan hidup walaupun psikologis kita sering ditimpa kepanikan, terutama di bulan puasa seperti ini. Walaupun para pedagang petasan dilarang berjualan, tetap saja ada yang nekat. Alasan yang klasik dan bakal kita dengar sepanjang masa adalah : demi mencukupi kebutuhan hidup.
Keadaan ini kayaknya menjadi perulangan dari tahun ke tahun. Perasaan panik karena tidak bisa mencukupi kebutuhan hidup sehari – hari manjadi semacam lirik mendayu – dayu lagu melayu atau musik pop ala Betharia Sonata. He.he. kepanikan ini dipicu oleh ulah spekulan yang seringkali melakukan penimbunan stok barang. Dalam kasus ini, orang yang kaya semakin tertawa sedangkan orang miskin semakin menjerit. Persis seperti vokalis band – band Screamo seperti Alexis On Fire, Underoath dan Emery.he.he. Meskipun ada anjuran dan pernyataan jangan main borong sendiri dan ungkapan “jangan khawatir, stok masih ada” tidak cukup menghibur. Dalam peristiwa kelangkaan barang – barang kebutuhan pokok ini, hukum pasar berlaku : kalo permintaan konsumen tinggi sedangkan stok barang sedikit, maka secara otomatis harga akan melambung tinggi.
Disinilah letak kekejaman pasar bebas. Mungkin melebihi kekejaman kapten Raymond Westerling ( penasaran khan, cari aja profile – nya di search engine. He.he ). Pasar bebas menyerahkan harga pada mekanisme pasar. Pasar bebas tidak pernah mau berkompromi dengan orang – orang yang berdaya beli rendah, sebuah istilah untuk memperhalus kemiskinan. Pasar Bebas, sebagai anak kandung Globalisasi memang menuntut kita untuk berlari cepat. Seringkali kita tersandung dengan dampak globalisasi dengan sentimen pasarnya. Pasar bebas dalam tataran global memang cenderung meminggirkan kelompok marjinal ( sudah kelompok tersingkir, eh makin tersingkir juga...reality is suck ). Pasar bebas adalah dampak paling signifikan dalam globalisasi. Maka, untuk menangkalnya, kita punya ahli – ahli ekonomi dan birokrat – birokrat yang seharusnya terjun ke lapangan dan mengamati pasar secara langsung. Operasi pasar kadang hanya sebatas ritualisme belaka. Hal ini tidak pernah ditindaklanjuti secara serius. Kita tidak mau dong, pasar terus menerus sentimen kepada kita..makanya, harus ada regulasi yang mengatur soal harga. Tindakan tegas memang pantas ditujukan kepada para spekulan yang mempermainkan harga seenak udel-nya sendiri. (udel=pusar) Buktinya masih banyak juga para penguasa pasar yang enggan bertoleransi alias urat sosialnya sudah putus. Mereka inilah yang perlu ditindak tegas, bukan cuma para penjual petasan saja. Jangan sampai penjual petasan marah, jangan - jangan bahan baku petasan diimpor diam - diam dari Iran berupa bubuk Uranium.he.he.he.

Cukup Seribu Rupiah Saja

Bagi saya dan sampeyan, uang sebesar seribu rupiah mungkin tak seberapa. Misalnya saja, ketika hendak buang air kecil, kita mengeluarkan uang seribu rupiah. Membayar parkir, kita kehilangan seribu rupiah. Bahkan kadang – kadang kita rela memberi seribu rupiah kepada pengamen dengan skill pas – pasan yang sedang membawakan lagunya Matta Band, yang kira – kira liriknya begini :
o...o....aku ketauan...
pacaran lagi....
dengan dirinya....
teman baikku....
and so called ”suck” he.he. Sudah tiga bulan terakhir ini, ketika saya menginjakkan kaki di kampus, saya selalu tergoda untuk mengeluarkan uang seribu rupiah untuk membeli koran. Wah, murah sekali….dengan seribu rupiah saja saya bisa mengetahui informasi aktual yang terjadi di berbagai dunia. Memang, konsep global village - nya pak Marshall McLuhan sangat relevan dalam peristiwa koran seribuan ini. Kita bisa menghadirkan realitas yang ada di dunia dalam genggaman kita. Koran yang ada di genggaman sayapun bukan koran ecek – ecek ato koran harian sore yang memang dijual murah pada keesokan harinya. Dengan seribu rupiah koran sekelas KOMPAS sudah berada di tangan. Namun, apa sensasi koran seribuan ini bagi pembacanya ?
Selama 14 tahun, saya besar dalam sebuah orde. Biar keren saya sebut The New Order sajalah.he.he. Saya juga menyaksikan ketika terjadi gerakan revolusioner bernama reformasi yang mengakibatkan orde itu tumbang. Saat ini saya dan sampeyan sudah berada dalam derasnya arus teknologi informasi yang kadang – kadang kebablasan. Arus informasi dari media massa setiap saat membanjiri otak kita. Padahal, perbincangan mengenai media massa, ketakanlah koran, pasti tidak pernah luput dari kepentingan ekonomis dan politis. Koran tidak benar – benar independen dalam menyampaikan informasi. Kita sebagai pembaca seringkali bersifat pasif dan menerima begitu saja informasi yang diberitakan dalam koran itu. Secara tidak kita sadari, kita menjadi sebuah komunitas silent majority.
Dalam masa orde baru dulu, pemberitaan dalam media massa tampak seragam. Beritanya juga itu – itu saja. Pokoknya sebagian besar media massa memberitakan tentang keadaan Indonesia yang aman – aman saja, sedang memasuki era tinggal landas bersama Repelita dan menjunjung tinggi nilai – nilai P4. Apalagi perpanjangan kekuatan ekonomi dan politik Orde Baru didukung sepenuhnya oleh Militer dan TVRI sebagi satu – satunya TV nasional. Pemberitaan yang dianggap Subversif langsung dipukul mundur. Dengan kekuatan itulah mengapa komunitas pembaca koran selalu bungkam melihat keadaan yang seolah – olah memang benar karena fakta tidak ditampilkan secara terang – terangan. Padahal kalo buka – bukaan khan lebih seksi.he.he.
Kini, setelah orde baru tumbang, kita bisa melihat berita dengan lebih seksi karena segala fakta diungkapkan secara terang – terangan. Ada sesuatu yang membuat saya tertarik. Dulu ketika dalam masa orde baru, orang muda bisa bangkit melawan otoritas dengan informasi yang serba tertutup. Kini dengan fakta yang terang – terangan kenapa orang muda ( termasuk saya ) tampak adem ayem saja ya ? Apakah kursi hiburan membuat kita lupa akan realitas yang kita hadapi ? Ah, tak taulah...yang penting bagi saya, membaca koran seribuan adalah sebuah bentuk perlawanan yang radikal terhadap sikap nyaman dan malas berpikir yang saya miliki akibat derasnya hiburan.

Yang Nebang Pohon = Katro

Sampeyan pasti bertanya – tanya, apa maksud judul tulisan ndak penting ini. Tulisan ini saya lihat terpampang di salah spanduk yang dipasang di taman kota di bilangan Pondok Indah, Jakarta Selatan, tentu saja melalui berita sore di TV(Suara Anda, Metro TV, jam 18.30, Selasa 18 September 2007 ) Yup, kadang saya benci TV tetapi ngga bisa benar – benar benci. He.he. Yang nebang pohon = Katro. Tulisan di spanduk ini merupakan bentuk perlawanan warga atas kebijakan pemerintah kota Jakarta yang akan membangun jalur busway di jalur hijau. Bayangkan saja, butuh berapa tahun untuk melihat pohon yang menjadi filter udara kota Jakarta itu jika ditebang. Lha wong pohon itu umurnya mungkin sama dengan umur saya. Alasan yang kadang tidak logis menurut saya, bahwa dengan adanya jalur busway akan mengurangi kemacetan lalu lintas di Jakarta. Sampeyan coba cermati iklan – iklan sepeda motor dan mobil di media massa yang merayu kita agar membeli produk kendaraan tersebut. Apakah hal ini tidak akan memicu masyarakat untruk terus – menerus menggunakan kendaraan pribadi untuk bepergian dan melakukan mobilitas ? Berapapun koridor busway yang akan dibangun, tetap tidak bisa mengurangi kemacetan lalu lintas di Jakarta. Lha wong konsumsi mobil pribadi aja terus meningkat, bukannya berkurang. Sama saja to ?
Ungkapan katro sebenarnya kalo kita tujukan buat diri kita tampaknya relevan. Bukan cuma kepada pejabat pemerintah yang membuat kebijakan. Bumi kita ini semakin panas saja. Setiap jantung kehidupan dimulai, di situ ada mobilitas, yang tentu saja akan ada residu dari mobilitas itu berupa CO2. Bayangkan, berapa banyak orang di dunia ini bernafas dan mengeluarkan residu berupa korbon dioksida. Belum lagi, sampeyan lihat berapa puluh kendaraan bermotor yang berada di daerah jangkauan mata anda setiap harinya yang menghasilkan karbon monoksida. Residu atau polutan itu akan terakumulasi di awan yang menyebabkan panas matahari terjebak. Inilah yang disebut efek rumah kaca ato istilah kerennya glass house effect, trus mengakibatkan global warming. Nah, kalo pohon – pohon di jalur hijau itu ditebang maka sampeyan sudah tau konsekuensi yang akan kita rasakan bersama – sama. Hal ini semakin memperparah kondisi paru – paru dunia yang semakin keropos karena ulah manusia. Lha wong setiap menit aja jumlah pohon yang hilang dari muka bumi ini hampir sama dengan lapangan golf kok… Huah, panasnya minta ampun. Dengan begini, kosmetik yang mengandung tabir surya akan laris manis seperti kacang goreng. Begitu juga dengan dokter spesialis kulit dan kelamin (SpKK), yang akan kebanjiran pasien karena kulitnya terkena radiasi sinar UV.
Industri sebenarnya memberikian kontribusi positif dalam kehidupan manusia, tetapi kalau kata industri ditambahi embel – embes isasi menjadi industrialisasi maka akan lain lagi ceritanya. Industrialisasi memang tidak memanusiakan manusia, apalagi terhadap alam. Bayangkan saja, demo buruh hampir menjadi berita wajib di media massa. Hal ini menunjukkan bahwa bukan alam saja yang dieksploitasi secara besar – besaran. Di mata kaum industrialis, semua barang dan benda menjadi komoditas, baik teknologi, gaya hidup, musik, fashion, bahkan rasa takut dan kekerasan pun menjadi barang dagangan yang layak dijual. Lha wong manusia yang punya rasa sakit dan akal pikiran saja tereksploitasi apalagi alam ? Sekali lagi, selamat datang ke ranah katrokologi. Saya, Sampeyan, Para Pejabat, Industrialis sudah patut menyandang predikat Katro dalam menyikapi alam yang semakin rusak ini. Hidup Mas Thukul.he.he.

Tuesday, 11 September 2007

Enough!


After six years...
Yup, hari ini kita memperingati
6 tahun serangan teroris yang
menumbangkan menara kembar WTC,
simbol kapitalisme mutakhir
serta kegagahan Amerika di
kancah perekonomian global.
Serangan itu telah memporak -
porandakan Amerika sebagai watch
dog dan polisi dunia. Setelah
peristiwa itu, jargon terorisme
kembali memperoleh momentumnya
dan dideklarasikan menjadi
common enemy dalam berbagai
sendi kehidupan masyarakat
dunia. Bertolak dari peristiwa
itu, Amerika seolah memperoleh
pembenaran untuk melakukan
invasi milter besar - besaran ke
Afghanistan yang disinyalir
menjadi sarang teroris. Pasca
tragedi 9/11, muncul 2 tokoh
yang merepresentasikan
kepentingan masing - masing
pihak, boleh saya sebut, Islam
vs baRAT, yang direpresentasikan
oleh Bush bin Laden.he.he.he
dengan alasan apapun, tindakan
arogansi militer AS itu, tidak
dapat dibenarkan dari kacamata
apapun. Yang jelas, dari dua
pertentangan itu telah
mencederai kesucian kemanusiaan.
Hak hidup manusia yang berasal
dari Tuhan, seolah - olah
dirampas dengan paksa. Ah, kita
terlalu pusing dengan isme -
isme yang muncul dari peristiwa
monumental bagi tragedi
kemanusiaan itu. Kini, selain
Afghanistan, AS juga mengklaim
bahwa tindakannya sebagai polisi
dunia tidak boleh diganggu
gugat. Irak telah luluh lantak
dengan artileri dan peluru
kendali AS atas nama perebutan
minyak dunia. Oh,
no....selanjutnya siapa lagi
yang menjadi sasaran,
Ahmadinedjad-kah ? Hugo
Chaves-kah? Evo Morales- kah ?
atau negeri tirai bambu yang
sedang menggeliat dengan mantap,
China. Ah, kita bisa apa, berdoa
? aktif dalam gerakan anti
perang ? ato mengisi kemerdekaan
dengan belajar ? Ah, boro -
boro, memikirkan masalah
internal di negara kita saja,
sudah pusing tujuh keliling,
apalagi memikirkan "kejahatan"
AS. Akhirnya, ungkapan Gus Pur
di republik mimpi menjadi
relevan, Gitu Aja Kok Repot....

Tuesday, 31 July 2007




Sampeyan mungkin sudah berkali – kali mendengar kata terorisme. Saya sendiripun juga masih kesulitan meraba – raba ideologi ini karena terlalu banyak versi dan mengklaim paling benar diantara yang lain. Saya rasa, kita terlalu banyak disibukkan, diributkan, dan dibikin habis waktu oleh urusan ideologi. Sudah saatnya kita betul-betul bekerja, melek mata dan melihat apa yang kita butuhkan untuk kemajuan umat manusia di bumi persada ini. Jejak terorisme telah jauh dari sekadar tindakan kriminal. Bisa disebut sebagai Extra Ordinary Crime. Jika kejahatan selama ini kemunculannya dipicu oleh modus tertentu dan merupakan kasus per kasus yang berdiri sendiri, paling luas dalam bentuk pembunuhan massal karena politik, perang suku, pembunuhan berantai atau mafia, terorisme makin tidak jelas alasannya. Tak heran terorisme diyakini sebagai bangkitnya unreasonable man-woman. Tidak ada lagi tujuan semata-mata hanya membunuh warga Barat seperti dalam kasus WTC 11 September 2001 silam, tetapi warga Indonesia-pun bisa menjadi korban seperti dalam kasus Bali Blast .Herannya yang melakukan saudara sekulit sawo matang. Sekarang, kita bisa mengatakan, “Bagaimana bisa melawan Amerika dengan cara membunuh orang di Bali?” Di sinilah kita tampaknya perlu belajar dari Jepang yang bisa mengungguli Amerika tanpa mengeluarkan sepucuk pistol pun. Lihat juga ekonomi Cina saat ini. Bahkan, lihat pulalah Vietnam yang mulai menguat.Pelaku atau otak di balik aksi-aksi destruktif tersebut selalu mencari pembenaran agama atas tindak amanusiawi mereka. Pertanyannya: benarkah agama menyediakan landasan teologis untuk menjustifikasi aksi-aksi teroristik itu?
Bagi teroris, diyakini segala tindakan untuk pembaruan diyakini berasal dari Tuhan, meski kita juga bisa mengatakan mereka terobsesi dengan “tuhan-tuhan“ yang diciptakan sendiri, yang dengan demikian mudah untuk membuat surga yang baru pula. Pilar penopang peradaban baru ala terorisme yang pertama ialah keyakinan bahwa mereka di jalan Tuhan, yang sebetulnya dari kacamata nilai-nilai agama yang luhur mereka mengidap kelainan iman. Karena lingkupnya keyakinan, terorisme sangat mudah membonceng agama yang juga bertumpu pada soal keyakinan. Tidak ada alasan lain untuk meledakkan sesuatu kecuali pola pikir yang ekstrem. akibat pola pikir yang ekstrem ini, maka cara mengkomunikasikan seseatupun harus dengan cara yang ekstrem, dan itu sangat efektif. Dengan aksi-aksi seperti itu, orang yang tadinya nobody menjadi somebody dan merasa dirinya sangat penting.Di Aljazair misalnya. Gerakan politik di sana seringkali menggunakan sejumlah aksi kekerasan, di antaranya bom bunuh diri demi memenangkan pemilu.
Di Palestina, kelompok-kelompok seperti Hamas juga menggunakan kekerasan bahkan aksi kemartiran sebagai bagian dari strategi perjuangannya. Jadi sesungguhnya ini fenomena politik. Bagaimana dengan bom bunuh diri altruistis, atau yang dianggap sebagai pengorbanan untuk orang banyak? Aksi bunuh diri yang bisa dibenarkan itu hanya pernah saya lihat dalam sebuah film yang dibintangi Bruce Willis, Armageddon. Di situ dihayalkan bahwa ada benda luar angkasa yang harus diledakkan di atas langit, karena kalau tidak, bumi akan hancur. Tentu ini hanya hayalan. Setelah diundi, Bruce Willis terpilih sebagai orang yang harus meledakkan. Dia mati, dunia selamat, dan manfaatnya nyata bagi semua orang. Nah, kalau ada kasus seperti itu, saya kira boleh saja.

LOST IN AMERICA

Lost in America : Kok Bisa Ya ? Waktu mau nulis, saya tidak ada ide, lalu iseng menyalakan PC dan menjalankan program Winamp selanjutnya membuka file – file MP3 yang sangat jarang saya putar. Secara tak sengaja, saya menemukan folder Mr. Big. Sekarang saya sedang mendengarkan Lost In America- nya Mr. Big. Saya tertarik dengan judul lagu ini. Apa yang membuat Mr. Big sampai hilang di negara yang teknologi informasinya super canggih ? Pada tahun 1969 , Neil Armstrong saja sudah berhasil menapakkan kaki di bulan sesaat setelah lepas landas dari Cape Canaveral, Florida. Di Amrik, sistem penunjuk jalan sudah menggunakan Global Positioning System yang bisa diakses dari monitor flat di dashbaord mobil sembari menyetir, papan – papan penunjuk jalan terpampang dengan sangat jelas, sampi ada rutenya segala seperti route 66 yang terkenal itu. Come on..., tentu bukan makna ” hilang ” secara eksplisit, tetapi makna hilang secara implisit. ” Hilang ” di sini akan sangat relevan jika kita sangkutkan dengan globalisasi.

Globalisasi adalah hilangnya konsep ruang dan waktu, hilangnya batas – batas geografis suatu negara. Orang bisa mengetahui apapun dengan menonton TV secara live pada saat sebuah peristiwa terjadi dan secara serempak bisa disaksikan di berbagai belahan dunia. Beberapa menit setelah peristiwa robohnya twin towers, simbol kapitalisme Amerika pada 11 September 2001 silam, seluruh TV di dunia menayangkan adegan penabrakan gedung WTC oleh pilot kamikaze superkeren itu. Pemirsa TV di belahan dunia manapun diajak berempati, berbelasungkawa, dan secara bersama – sama menyatakan perang global melawan terorisme. Globalisasi menjadi sesuatu yang hip, semenjak Ferdinand Magelland berkeliling dunia pada awal abad ke – 16. Dewasa ini, banyak ilmuwan sosial yang melakukan studi pada ranah ekonomi, politik, budaya dan teknologi terkait dengan globalisasi. Di samping itu, kaum posmodernisme melalui interpretasi tentang globalisasi lebih memfokuskan tentang kemunculan budaya popular tentang konsumsi dan gaya hidup. Lalu apa yang membuat mas – mas yang tergabung dalam kelompok musik Mr. Big itu hilang ? Sama sekali saya tidak menginterpretasikan makna hilang di sini menurut liriknya. Saya hanya mau menginterpretasikan judulnya saja, Lost in America. Menurut saya, yang hilang adalah identitas kita.

Dalam globalisasi tidak ada konsep ini dunia kamu, ini dunia saya, yang ada hanya ini dunia kita. Maka siapapun bisa hilang di Amerika, karena ada banyak Amerika - - Amerika lain di luar sana. Peristiwa ini dialami oleh Max Parelman, seorang mahasiswa Amerika, ketika ia bepergian melalui daerah – daerah terpencil di Cina pada tahun 1997. Ketika cuaca bersalju menghempaskannya di Sichuan Barat, 15 ribu mil dari Beijing, ia bertemu serombongan orang Tibet yang hendak menuju ke ibu kota Tibet, Lasha. Orang – orang Tibet itu, kata Perelman, tidak pernah bepergian jauh dari desa asalnya. Bahkan sangat terheran – heran dengan kamera yang dibawanya. Ketika rombongan itu istirahat dan makan bersama, tiba – tiba salah satu dari rombongan itu bertanya pada Parelman, Bagaimana kabar Michael Jordan ? Akhirnya saya pun bingung, ini Amerika yang mana sih ? Dunia kita adalah sebuah dunia yang juga merupakan keseluruhan dunia..


THE BURNING LEGIONS FROM VIETNAM

Sampeyan pasti sudah tidak asing lagi dengan band kontroversial yang cover albumnya tervisualkan di atas. Yup. Gambar di atas adalah cover album pertama Rage Against The Machine yang juga bertitel Rage Against The Machine. Sampeyan pasti juga sudah tahu melalui artikel2 di zine yang menyebutkan bahwa RATM adalah band yang penuh kontroversi karena movement – movement yang diperjuangkannya, mulai dari Mumia Abu-Jamal sampai Zapatista. Bahkan Sub Commandante Marcos pemimpin EZLN, sering diidentikkan dengan sang vokalis Zach De La Rocha. Kalo sampeyan ingat, di Lollapalooza pun, mereka juga membuat sensasi dengan berdiri telanjang di atas panggung dengan menuliskan huruf PMRC di dada empat personel RATM. Aksi ini ditujukan kepada badan sensor milik pemerintah Amerika yang membatasi ekspresi musisi karena liriknya dianggap eksplisit. Kalau mendengarkan RATM, sampeyan pasti langsung teringat dengan sosok Che Guevara yang dengan perkasa mengangkat senjata melawan rezim Batista. Mengapa harus Che ? Itu pertanyaan yang selalu muncul dalam pikiran saya ketika melihat banyak anak muda demam Che mulai dari kaos, stiker, poster, pin, dan buku – buku yang diterbitkan semuanya tentang Che. Saya yakin, demam ini tak luput dari pengaruh media massa Amerika yang mengubah esensi perjuangannya menjadi salah satu ikon budaya pop.

Selain tentang Che saya juga mempunyai pertanyaan menyelidik, siapa yang menjadi model dalam artwork itu ? Apakah foto seorang Bhiksu yang terbakar itu direkayasa ? Saya melihat ada pesan yang ingin disampaikan oleh Bhisu itu untuk membakar dirinya. Kalau sampeyan kenal Mahatma Gandhi , pasti anda juga kenal dengan salah satu ajarannya yang disebut Ahimsa. Ahimsa berasal dari bahasa sankrit yang berarti tanpa kekerasan. Hakekat dari perjuangan tanpa kekerasan adalah cinta. Dengan adanya cinta dan kerelaan berkorban, maka ego dan daya hancur yang dimiliki manusia bisa diredam. Tindakan tanpa kekerasan di antara konflik yang brutal memang terkesan absurd dan klise karena pada dasarnya manusia akan mempertahankan diri, bahkan dengan kekerasan jika mengalami tindakan yang mengancam hidupnya. Perjuangan tanpa kekerasan mendapatkan momentumnya ketika terjadi perang Vietnam yang terjadi pada tahun 1960 – 1970. Perang Vietnam adalah perang ideologi antara komunis dan anti komunis.Vietnam Utara berjuang untuk ideologi komunis dan Vietnam Selatan berjuang untuk ideologi kapitalis. Selama perang tersebut, banyak rakyat Vietnam yang sebagian besar petani dan anak – anak hehilangan nyawanya. Sebagai bentuk protes terhadap perang yang menghilangkan nilai – nilai kemanusiaan itu, muncul banyak aksi yang berdasarkan cinta. Kelihatan absurd dan klise, tapi aksi – aksi ini benar – benar terjadi.

Banyak aksi yang muncul secara spontan. Salah satunya adalah kejadian pada tahun 1963 di Phan Dhic Phung yang merupakan aksi seorang Bhiksu yang duduk dengan tenang dalam posisi teratai, lalu melumuri badannya dengan bensin lalu membakar diri. Bhiksu itu bernama Thic Quang Duc. Dengan membakar dirunya sendiri, ia berhasil menyadarkan dunia akan penderitaan perang yang dialami rakyat Vietnam. Dengan kerelaan diri untuk menghadapi penderitaan ekstrem, Bhiksu itu menyulut api ke dalam hati setiap orang dan berusaha membuat orang lain sadar akan penderitaan perang. Anehnya, aksi bakar diri ini mendapat simpati bagi orang lain. Thic Quang Duc bukan satu – satunya bhiksu yang membakar dirinya untuk menyampaikan pesan kepada dunia. Membakar diri memang bukanlah cara atau strategi untuk bertindak. Bila orang ingin membakar dirinya, setiap pemimpin Budhis mencegahnya. Tetapi banyak bhiksu, bhiksuni dan orang awam terinspirasi oleh aksi bakar diri untuk menyebarkan pesan perdamaian.

Saya dan sampeyan mungkin sulit memahami aksi bakar diri ini. Media massa di barat menyebut aksi ini sebagai aksi bunuh diri, tapi itu bukan sebuah bunuh diri, bahkan sebuah protes. Ini bukan aksi politis. Ini aksi cinta untuk mencintai kehidupan. Apa yang ditulis oleh para bhiksu ini dalam surat yang mereka tinggalkan sebelum menyulut dirinya dengan api, merupakan aksi untuk menggerakkan hati para penindas dan meminta perhatian dunia akan penderitaan rakyat vietnam. Bhiksu, bhiksuni dan orang awam yang membakar diri ini berusaha untuk menyampaikan pesan bahwa dengan penderitaan yang berat, mereka mau menanggung penderitaan rakyat Vietnam. Tapi mengapa mereka harus membakar diri ? Dalam Budhisme, penghancuran diri ini merupakan pelanggran yang berat. Tapi orang – orang ini membakar dirinya bukan untuk lari dan menghindar dari penderitaan hidup dalam situasi perang. Orang – orang ini mengharapkan dengan tabah suatu perubahan di masa yang akan datang. Mereka membakar diri untuk mencari pertolongan masyarakat dunia. Saya amat yakin, bahwa mereka membakar diri bukan untuk menumbangkan para penindas , tetapi hanya mendorong para penindas itu untuk mengubah kebijakan politiknya. Musuh mereka bukan manusia, tetapi kebencian, keserakahan, dendam, penindasan dan sifat – sifat destruktif lainnya yang ada dalam diri orang lain. Amitaba, Budha Bless U.